Internasional

Mengunjungi Gua Hira, Tempat Pertama Turunnya Al-Qur’an

Sel, 2 Agustus 2022 | 18:51 WIB

Makkah, NU Online
Gua Hira yang lokasinya di Timur Masjidil Haram menjadi tempat yang sangat monumental sebagai lokasi turunnya ayat pertama Al-Qur’an. Lokasi ini masuk dalam daftar favorit para jamaah haji dari seluruh dunia, sekalipun untuk mencapai gua yang berada di atas Jabal Nur, butuh usaha keras mengingat tangganya yang curam.


Sebelum kedatangan Islam, gua Hira bukanlah tempat yang dikenal. Gua ini menjadi tempat untuk bertahannus atau berkontemplasi Nabi Muhammad sebelum kerasulannya. Jaraknya sekitar 4 kilometer dari Masjidil Haram. Dalam bertahannus, Nabi Muhammad menjalaninya selama berhari-hari. Karena itu, ia membawa perbekalan sejumlah yang diperlukan selama di sana.


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dalam shahih Bukhari, dikisahkan, Malaikat Jibril datang menemui Nabi Muhammad di Gua Hira.


Jibril berkata: “Bacalah!”


Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”.


Nabi menjelaskan: Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: “Bacalah!”


Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”.


Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: “Bacalah!”.


Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”.


Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi Iqra bismi rabbikal ladzii khalaq. Khalaqal insaana min 'alaq. Iqra wa rabbukal akram. Alladzii 'allama bil qalam. Hingga: 'allamal insaana maa lam ya'lam.


Setelah mengalami hal tersebut, badan Nabi Muhammad menggigil. Ia pulang dan meminta istrinya, Khadijah untuk menyelimutinya. "Selimutilah aku, selimutilah aku." Hingga perasaan takutnya pun hilang.


"Wahai Khadijah, apa yang terjadi denganku? Sungguh aku merasa khawatir atas diriku sendiri." Akhirnya Beliau menuturkan kejadian yang dialaminya. Khadijah berkata: "Tidak, bergembiralah engkau."


Itulah sepenggal dialog antara Malaikat Jibril, Nabi Muhammad, dan istrinya, Khadijah. Kisah di Gua Hira yang menjadi momen turunnya Al-Qur’an pada 17 Ramadhan ini menjadi titik penting peradaban Islam.


Menziarahi tempat di mana ayat Al-Qur’an pertama kali diturunkan sedikit banyak dapat meningkatkan pemahaman kita bagaimana perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan Islam.


Berbeda dengan beberapa situs bersejarah lainnya dari zaman Rasulullah yang sudah sepenuhnya berubah kondisinya, seperti masjid-masjid yang dahulu menjadi bagian dari perjuangan Nabi Muhammad. Lokasi dan nama masjid masih di tempat semula, namun bangunan masjid sudah benar-benar bangunan kekinian.


Jabal Nur dan Gua Hira yang ada di atasnya, kondisinya tak banyak berubah. Sudah ada anak tangga yang lumayan membantu, namun tetap dibutuhkan kekuatan fisik yang prima untuk naik mengingat tingkat kecuramannya yang tinggi. Jika tidak berhati-hati, dapat terpeleset dan jatuh. Di bagian atas, sudah dilengkapi pagar pengaman dari besi untuk mencegah terjadinya kecelakaan.

 

Berkunjung ke Gua Hira


Dari awal, Jabal Nur sudah masuk agenda tempat yang akan diziarahi oleh Tim Media Center Haji (MCH) 2022. Sebelumnya, kami sudah mencari info apa saja yang perlu disiapkan. Ada dua pilihan waktu yang paling pas, yaitu pagi sebelum subuh dan petang menjelang Maghrib. Namun atas saran beberapa orang yang sudah pernah ke sana, pilihan berangkat pagi lebih bagus. Berangkat sebelum subuh, dan shalat subuh di sana, lalu mencari momen matahari terbit. Dan setelah itu turun.


Senin, dini hari pukul 03.30 WAS kami berangkat berempat. Yang lain tidak bisa ikut karena baru saja menuntaskan umrah sunah malam tersebut. Lokasinya tak jauh dari tempat kami menginap, sekitar 2,5 kilometer sehingga hanya butuh waktu beberapa menit menuju lokasi.


Begitu turun dari mobil, tanjakan curam langsung terasa. Jalan menuju Jabal Nur merupakan jalan pemukiman. Kiri dan kanan dipenuhi dengan rumah-rumah penduduk. Suasana masih gelap dan hanya ada sedikit penerangan. Dari titik pemberangkatan, sudah dibutuhkan tenaga ekstra untuk melangkah. Di tengah kegelapan, jalan bercabang dua. Kami pun bingung memilih yang mana. Ketika berinisiatif menggunakan Google Map, ternyata juga tidak ada petunjuk arah Gua Hira. Akhirnya kami pun memutuskan mengambil jalan yang di kiri, yang kelihatannya lebih lapang.


Setelah beberapa ratus meter, kami mendapati beberapa mukimin Indonesia yang sedang istirahat di sebuah warung untuk minum. Mereka baru turun gunung. Kami pun mengobrol sebentar untuk memastikan arah yang kami tuju benar. Ternyata dua jalan yang bercabang menuju arah yang sama.


Dari warung tersebut, terdapat sebuah pagar berpintu gerbang besi seadanya. Memasuki area tersebut, langkah kaki ke atas lebih nyaman dibandingkan dengan di jalan raya karena ada undakan-undakan untuk pijakan kaki. Jika capek, di beberapa bagian terdapat bebatuan yang dapat dijadikan sebagai tempat duduk atau bersandar.


Kondisinya masih gelap dan sangat sepi. Sudah tak lagi seperti sebelumnya ketika banyak jamaah haji masih di kota Makkah yang mana banyak dari mereka juga pergi ke Gua Hira. Namun tempat untuk melangkah dan berpijak masih dapat dilihat dengan baik. Suhu udara juga cukup ideal, tidak panas atau dingin, seperti di pegunungan Indonesia ketika malam hari.  


Semakin ke atas jarak pandang semakin luas. Dari situ lampu-lampu dari pemukiman atau dari jalan terlihat indah. Sesekali terlihat mobil yang lewat di jalan. Semuanya terlihat kecil. Zamzam Tower yang merupakan landmark kota Makkah dengan ikon lampu berwarna hijau terlihat dengan jelas. Kami pun berusaha mengabadikan momen tersebut.


Akhirnya perjalanan sampai ke puncak gunung setelah menempuh waktu sekitar 1 jam. Bagian paling atas cukup luas. Di beberapa sisi di pagar dari batu atau besi sebagai pengaman. Terdapat ruang yang cukup luas untuk lesehan bagi 10-15 orang. Sudah ada beberapa orang Indonesia yang sampai di atas.


Untuk mencapai lokasi Gua Hira, dari puncak mesti turun, namun tak begitu jauh. Posisinya juga curam sehingga mesti hati-hati sekalipun sudah ada pembatas dari besi yang bisa digunakan sebagai pegangan. Area masuk gua melalui lorong sempit, bahkan di satu sisi, harus memiringkan badan supaya bisa lewat. Setelah itu, ada sebuah ruang terbuka dan di depannya terdapat sebuah gua kecil yang menjorok ke dalam. Di sana sudah ada sejumlah orang.


Jika digunakan untuk merenung atau berkontemplasi sendirian, tempat dengan panjang 4 meter dan lebar 1,5 meter tersebut nyaman. Ruang terbuka menyebabkan sirkulasi udara lancar, bebatuan yang menjadi atap dapat menghalangi terik sinar matahari. Kami pun bergantian shalat subuh berjamaah. Satu imam dan satu makmum karena lokasi yang sempit.


Setelah itu, kami menjelajahi berbagai sudut Jabal Nur sembari menikmati pergantian hari. Tak lupa foto untuk kenangan dari berbagai sudut terbaik diambil. Sayangnya momen matahari terbit yang ditunggu-tunggu tidak muncul karena terhalang oleh awan. Pelan-pelan pemandangan di bawah yang sebelumnya gelap menjadi terang. Satu per satu lampu mati dan akhirnya semuanya disinari oleh matahari.


Semakin terang, semakin banyak pengunjung berdatangan. Tak memandang usia dari anak-anak yang pergi bersama orang tuanya, hingga kakek-kakek yang sudah menggunakan tongkat. Semua ingin menapaktilasi perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan Islam sebagai agama penuh rahmat.


Pewarta: Achmad Mukafi Niam
Editor: Muhammad Faizin