Kontroversi Hukum Responsif Dan Hukum Positif Dalam Putusan Sengketa Pemilu 2024

News Satu, Jakarta, Kamis 18 April 2024- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) Pemilu 2024 menimbulkan kekhawatiran di kalangan berbagai pihak, tidak hanya oleh pasangan calon yang bersengketa, tetapi juga oleh seluruh rakyat Indonesia.

Keputusan MK dalam sengketa tersebut bukan hanya menentukan siapa yang akan menjadi presiden mendatang, tetapi juga memunculkan perdebatan antara dua pendekatan hukum yang seakan bertentangan: Hukum Responsif dan Hukum Positif.

Pihak yang menggugat Paslon 01 dan 03 mendasarkan argumennya pada Hukum Responsif, yang menekankan perlunya pengadilan MK dalam menyelesaikan sengketa proses, sementara pihak KPU mengacu pada Hukum Positif, yang menetapkan Bawaslu sebagai kewenangan penyelesaian sengketa proses.

“Gugatan Paslon 01 tidak sepenuhnya sesuai dengan Hukum Responsif, karena tuntutan seperti diskualifikasi dan pemungutan suara ulang tidak konsisten dengan pendekatan ini,” kata Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Madura (YLBH-Madura), Kurniadi, Kamis (18/4/2024).

Lanjut Kurniadi yang dijuluki Raja Hantu ini, menyatakan bahwa jika Paslon 02 dinilai tidak memenuhi syarat administrasi, petitum gugatannya seharusnya menuntut batalnya perolehan suara Paslon 02. Lebih lanjut.

Kurniadi menegaskan bahwa kekeliruan KPU seharusnya tidak berdampak pada pemungutan suara ulang, melainkan harus mengesahkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak kedua setelah Prabowo-Gibran, yaitu Anies-Muhaimin.

“Pemungutan suara ulang bukanlah keputusan yang tepat dan adil karena merugikan peserta Pilpres dan membebani keuangan negara,” tegasnya.

Berita ini memperlihatkan perdebatan antara Hukum Responsif dan Hukum Positif dalam konteks sengketa pemilihan presiden, serta pandangan Kurniadi terkait potensi implikasi dari putusan MK terhadap pemilihan presiden mendatang. (rls/*)

Komentar