METROPOP

Jangan Main-main dengan Djenar

“Harus ada yang angkat bicara. Sudah waktunya tidak diam.”

Foto: Hasan Alhabshy/detikcom

Selasa, 3 Mei 2016

Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja—dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Djenar Maesa Ayu begitu terpesona membaca cerpen berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku” yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma tersebut. Ia merasa tidak ada yang mampu menerjemahkan cinta sejitu cerpen Seno itu.

Dengan penuh gairah, ia lantas menyalinnya, menulis ulang dan mengirimkannya kepada pria yang dicintainya, Edy Wijaya. “Saya kirim pada suami (sekarang sudah bercerai). Dia bilang, gue enggak ngerti. Sialan!” kata Djenar.

Bagaimana agar nama saya diingat, saya kirim dua kali sehari untuk membombardir agar ingat ada nama Djenar Maesa Ayu yang terus mengirim cerpen."

Meski sang suami mengaku tidak paham, cerpen itu mengubah Djenar. Perempuan kelahiran 14 Januari 1973 ini tidak mau lagi “hanya” menjadi ibu rumah tangga, seperti yang dia jalani sehari-hari saat itu. Ibu dua anak ini mulai menulis.

Djenar lahir dari keluarga seniman. Sang ayah, Sjumandjaja, adalah seorang penulis dan sutradara terkemuka Indonesia. Ibunya, Toety Kirana, adalah aktris 1970-an.

Nay, panggilan Djenar saat kecil, suka membaca buku sastra dan menonton film. Namun semua kebiasaan itu lenyap ketika Djenar beranjak remaja. Saat remaja, Djenar hidup bebas. Sejak umur 12 tahun, ia menenggak bir dan merokok.

“Begitu remaja, saya lupa (kebiasaan membaca). Saya asyik pacaran dan lain-lain,” cerita Djenar.

Tapi “Sepotong Senja” sangat berpengaruh pada Djenar. Ia tidak hanya menyalin cerpen itu, tapi juga mulai menulis cerpennya sendiri dan mencari Seno, si pengarang “Sepotong Senja”. Kepada Seno, Djenar mengirimkan cerpen yang ditulisnya dan memberinya nomor telepon.

“Saya telepon, dia (Seno) bilang saya punya potensi untuk menjadi penulis,” cerita Djenar. Dalam hati, Djenar tidak percaya. Ia membatin, ini cuma buat menyenangkan saya saja enggak, sih?

Seno Gumira Ajidarma
Foto: Rengga Sancaya/detikcom

Namun kemudian Djenar ditawari ikut kelas penulisan yang diampu Seno. Dia pun keranjingan menulis. Dalam sehari ia bisa menulis hingga tiga cerpen. Tulisan itu lantas dia kirimkan ke koran nasional. Djenar mulai mempunyai mimpi menjadi penulis. Ternyata cerpennya ditolak. Tidak cuma sekali, tapi terus-menerus sampai 3 tahun seperti itu.

Djenar pun mempertanyakan penilaian Seno. Tapi sang sastrawan selalu bilang tulisan Djenar bagus. “Dia bilang, ‘Bukan cuma kamu saja, Djenar. Saya juga masih sering ditolak,’” kata Djenar.

Djenar nyaris tidak percaya cerpen buatan sastrawan sekaliber Seno masih ditolak koran nasional. Namun, ketika ia bertemu dengan penulis senior lainnya, seperti Budi Darma dan Sutardji Calzoum Bachri, Djenar mendapat kesaksian serupa. Ia pun dinasihati agar tidak putus asa. Djenar disuruh membuat kalimat pembuka atau lead yang menarik. Selebihnya, ia diminta bersikap profesional, misalnya tidak melakukan kesalahan eja dan menulis dalam font yang tidak menyusahkan redaktur sastra.

Djenar Maesa Ayu
Foto: dok. pribadi

“Bagaimana agar nama saya diingat, saya kirim dua kali sehari untuk membombardir agar ingat ada nama Djenar Maesa Ayu yang terus mengirim cerpen,” ujarnya.

Baru pada 1999, cerpen Djenar akhirnya di muat di harian Kompas. “Itu rasanya seperti mimpi, kayak mau pingsan. Itu indahnya luar biasa, tidak peduli honornya,” Djenar mengenang.

Setelah cerpen Djenar banyak muncul di Kompas, PT Gramedia Pustaka Utama mendatangi Djenar untuk menerbitkan bukunya. Hingga sekarang Djenar sudah menerbitkan enam buku kumpulan cerpen, yakni Mereka Bilang Saya Monyet!, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-laki, T(w)itit, serta SAIA, juga sebuah novel berjudul Nayla.

Buku Djenar banyak mengangkat tema feminisme. Dalam cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), misalnya, Djenar mengangkat tema seorang istri yang dilecehkan oleh suaminya karena tubuhnya tidak lagi menarik. Sang suami menyebut tubuh istrinya sebagai seonggok daging tak segar dipenuhi gajih yang tak akan mudah hilang dengan latihan senam maupun fitness setiap hari sekalipun. Terapi akupunktur yang dijalani sang istri untuk menghilangkan kerut-merut di wajahnya juga akan sia-sia belaka.

Dengan alasan tubuh istrinya tidak lagi menarik, sang suami pun selingkuh. Si istri, yang sebelumnya melakukan apa saja demi kebahagiaan suaminya, termasuk tidak pernah memprotes omongan-omongan sang suami yang merendahkannya, akhirnya mengambil langkah yang berani.

“Saya menulis soal perempuan karena isu itu penting,” ujar Djenar kepada detikX.

Masalah perempuan perlu diangkat karena masih banyak terjadi tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan. Namun, jangankan menuntut keadilan, berbicara untuk sekadar didengarkan saja, para perempuan yang menjadi korban itu tidak berani. “Harus ada yang angkat bicara. Sudah waktunya tidak diam.”

Apa pun yang terjadi, saya akan tetap berkarya sesuai dengan apa yang saya inginkan, bukan sesuai dengan apa yang orang harapkan.”

Djenar Maesa Ayu

Djenar tahu, dengan mengangkat tema feminisme, apalagi dengan bahasa yang vulgar karena menyebut istilah seks yang selama ini dianggap tabu, ia mesti menghadapi risiko. Moralitas Djenar sering dihakimi. Karyanya oleh penyair Taufiq Ismail disebut sebagai sastra selangkangan. Namun semua itu tidak akan menghentikan Djenar untuk tetap menulis tema feminisme.

“Apa pun yang terjadi, saya akan tetap berkarya sesuai dengan apa yang saya inginkan, bukan sesuai dengan apa yang orang harapkan.”

Djenar merasa ia tidak perlu membantah ataupun membela diri terhadap stereotipe atas karyanya. “Pada akhirnya karya tidak hanya bisa dibaca, tapi juga mampu membaca pikiran pembacanya. Tidak ada yang perlu dibela. Hanya kita sendiri yang tahu kebenaran diri kita.”

(Dari kiri ke kanan) sastrawan Agus Noor, Djenar Maesa Ayu, Triyanto Triwikromo, dan Putu Fajar Arcana
Foto: Iin Yumiyanti.detikX

Tentang terlalu vulgarnya bahasa yang dia pakai, Djenar mengaku mendudukkan bahasa sebagai alat komunikasi, yang fungsinya mempermudah, bukan mempersulit, komunikasi. Jika ia merasa harus memakai bahasa lugas, Djenar akan menggunakannya.

Djenar merasa, penghakiman terhadap dirinya merupakan salah satu bentuk diskriminasi. Selama ini banyak sastrawan laki-laki yang juga menulis vulgar, tapi jarang yang mendapat gugatan secara moralitas. “Ketika perempuan melakukan itu, bukan karyanya lagi yang dibahas, melainkan moralitasnya sebagai perempuan.”

Lepas dari kontroversi itu atau justru mungkin karena kontroversi itu, semua buku Djenar selalu masuk dalam deretan daftar buku best seller dan mendapat sejumlah penghargaan. Buku Mereka Bilang, Saya Monyet! telah cetak ulang sebanyak delapan kali dan masuk dalam nominasi 10 besar buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003.

Buku Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) bahkan, hanya dalam waktu dua hari setelah diluncurkan pada Februari 2005, langsung cetak ulang. Kumpulan cerpen ini juga meraih penghargaan 5 besar Khatulistiwa Literary Award 2004.

Dikenal sebagai penulis, darah seni yang mengalir di tubuh Djenar terus menuntut untuk mengembangkan diri. Akhirnya ia pun terjun ke dunia film, seperti ayah dan ibunya. Djenar mengubah cerpennya, Mereka Bilang Saya Monyet!, menjadi skenario film dan menyutradarainya sendiri.

Selanjutnya Djenar menyutradarai SAIA dan Nay. Kini Djenar sedang merampungkan Hush, film yang dia sutradarai bersama sutradara Singapura, Kan Lume. Film itu akan tayang akhir tahun ini. “Tidak akan tayang di bioskop, karena tidak akan lolos sensor,” ujar Djenar.


Reporter/Penulis: Iin Yumiyanti
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Metropop mengupas kehidupan sosial, seni, dan budaya masyarakat perkotaan.