Problematika Delik Korupsi dalam KUHP

Mimbar Mahasiswa

Problematika Delik Korupsi dalam KUHP

GRAY ANUGRAH SEMBIRING - detikNews
Senin, 21 Agu 2023 15:00 WIB
Poster
Ilustrasi: Edi Wahyono
Jakarta -

Politik hukum dan semangat pemberantasan korupsi sangat mudah dibaca dengan produk hukum yang dihasilkan. Rumusan pasal yang dibuat tim perumus bisa ditafsirkan secara lebih luas terkait komitmen memberantas korupsi. Paling hangat, dimasukkannya delik korupsi dalam KUHP yang dianggap tidak memberangus permasalahan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pegiat antikorupsi bahkan menyurati Presiden agar delik korupsi tidak dimasukkan ke dalam KUHP. Dimasukkannya delik korupsi ke dalam KUHP dikhawatirkan akan menghilangkan kekhususan tindak pidana korupsi, mengingat korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Delik korupsi dalam KUHP juga dikhawatirkan akan menimbulkan efek jera yang minim karena mereduksi sifat khusus tindak pidana korupsi.

Kekhawatiran tersebut sebenarnya bukan tanpa alasan, melainkan karena ada kecenderungan lemahnya komitmen dan kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi. Dalam rilis Transparency International Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun drastis dari skor 38 ke 34. Hal ini sejalan dengan merosotnya peringkat Indonesia dari 96 pada 2021 menjadi 110 pada 2022 setara dengan Bosnia, Gambia, dan Malawi.

Salah satu indikator penurunan poin IPK dan peringkat Indonesia karena masih buruknya penegakan hukum antikorupsi yang terbukti belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi serta korupsi politik dalam benturan kepentingan yang menghasilkan kebijakan yang tidak menunjukkan semangat pemberantasan korupsi. Padahal, Presiden Jokowi pada Hari Antikorupsi Sedunia mengatakan, korupsi adalah pangkal dari berbagai tantangan dan masalah pembangunan.

Pernyataan Presiden dalam Hari Antikorupsi agaknya tidak lebih hanya sekadar seremonial belaka tanpa dibarengi kebijakan yang pro pemberantasan korupsi. Lantas, dengan deretan masalah korupsi yang melanda negeri, apakah memasukkan delik korupsi dalam KUHP akan menjadi solusi atau hanya akan menambah kontroversi?

Landasan Teori

Dalam tataran teoritik, wacana perdebatan delik korupsi bersentuhan dengan dua asas paling fundamental dalam dogmatika hukum pidana. Pertama, lex specialis derogat legi generali (hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum). Kedua, lex posterior derogat legi priori (hukum yang terbaru mengesampingkan hukum lama).

Sebelumnya, tindak pidana korupsi (tipikor) selama ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam Undang-Undang Tipikor, diatur 30 perbuatan yang dikualifikasikan sebagai korupsi yang dikelompokkan menjadi tujuh bentuk tindak pidana korupsi. Ketujuh bentuk tersebut yaitu perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, suap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, gratifikasi, perbuatan curang, dan benturan kepentingan dalam pengadaan.

Dari 30 perbuatan korupsi, lima pasal krusial direformulasikan ke dalam KUHP. Kelima pasal tersebut meliputi Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13 yang mengatur tentang kerugian keuangan negara dan suap. Hal ini membawa implikasi pasal-pasal tipikor tersebut mengacu kepada Pasal 603, 604, 605 dan 606 KUHP, sebagaimana tercantum pada Bab XXXVII tentang Ketentuan Penutup pasal 622 ayat (4).

Undang-undang tersebut secara terang menjelaskan tentang perubahan acuan pasal, maka saat KUHP sudah berdaya laku segala ketentuan tentang lima pasal tipikor mengacu kepada KUHP. Dalam titik ini, aturan hukum yang baru mengesampingkan hukum lama. Namun, ada pertanyaan menarik, apakah dengan diberlakukannya KUHP pasal-pasal terdampak UU Tipikor masih berlaku --mengingat UU Tipikor merupakan Lex Specialis?

Secara normatif, lima pasal UU Tipikor yang diadopsi di KUHP otomatis secara mutatis mutandis mengikuti ketentuan KUHP. Artinya, rumusan lima pasal tersebut tidak lagi berpedoman kepada UU Tipikor. Hal ini secara jelas tertulis pada ketentuan penutup Pasal 622 ayat (1) huruf l yang secara eksplisit menyatakan setelah KUHP berlaku, segala ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Perubahan inilah tentunya yang berdampak kepada langkah pemberantasan korupsi ke depan mengingat lima pasal tersebut merupakan pasal yang paling sering dipakai aparat penegak hukum.

Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2022, 510 dari 579 kasus korupsi, penegak hukum paling sering menggunakan pasal mengenai kerugian keuangan negara. Artinya, sekitar 88% tersangka korupsi selalu dijerat oleh Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.

Dengan banyaknya aparat penegak hukum yang menggunakan pasal tersebut, maka penegakan hukum kasus korupsi ke depan pasti juga akan menggunakan pasal yang relatif sama. Namun, ada beberapa perbedaan apabila dilakukan perbandingan antara Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dengan Pasal 603 dan 604 KUHP yang akan menjadi acuan aparat penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.

Problematik

Pertama, Pasal 603 KUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menurunkan ancaman pidana badan yang semula 4 tahun menjadi 2 tahun. Pidana denda juga dipangkas dari Rp 200 juta menjadi Rp 10 juta. Perubahan juga terlihat pada Pasal 604 KUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 3 UU Tipikor. Lama pidana badan memang meningkat dari setahun menjadi 2 tahun. Namun perlu diingat, hal ini juga irasional karena subjek hukum yang diatur dalam pasal ini adalah pejabat atau penyelenggara negara. Seharusnya, ancaman pidana pasal tersebut lebih berat karena pejabat tersebut telah menyalahgunakan kewenangan/mandat publik kepadanya.

Penurunan ancaman pidana ini tentunya akan membuat koruptor semakin jauh dari efek jera. Mengingat, dengan ancaman pidana yang lebih tinggi saja dalam kasus konkret vonis terhadap koruptor relatif rendah. Berdasarkan catatan tren vonis ICW sepanjang 2022, dari 2.056 putusan dengan 2.249 terdakwa, rata-rata pidana penjara terdakwa korupsi pada 2022 adalah 3 tahun 4 bulan.

Lagi pula, dalam naskah akademik UU KUHP tidak ada jawaban ilmiah yang menjelaskan secara detail alasan penurunan ancaman pidana tersebut. Penurunan ancaman pidana yang tidak berimbang dengan kasus korupsi yang semakin masif merupakan bentuk konkret kurang seriusnya komitmen legislator dan pemerintah dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi.

Kedua, dalam KUHP tidak mengatur mengenai pidana tambahan berupa uang pengganti. Padahal uang pengganti adalah aspek yang sangat penting dalam pemberantasan korupsi yang tidak hanya fokus untuk membuat jera koruptor tetapi juga sebagai upaya memulihkan keuangan negara. Dalam catatan ICW (2022), kerugian negara mencapai Rp 48,786 triliun namun uang pengganti hanya sebesar Rp 3,821 triliun. Tentunya dengan ketiadaan uang pengganti, pemulihan kerugian negara akan semakin jauh panggang dari api. Selain itu, RUU Perampasan Aset yang sangat penting perannya dalam memulihkan kerugian negara sampai saat ini belum menjadi RUU Prioritas.

Ketiga, rumusan definisi kerugian keuangan negara yang tercantum pada penjelasan Pasal 603 bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menegaskan bahwa aparat penegak hukum tidak hanya berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK.

Jika mengikuti definisi keuangan negara di UU KUHP, akan berdampak pada jangka waktu penanganan kasus karena berdasarkan pengalaman, audit BPK membutuhkan banyak waktu sehingga berpotensi menghambat penetapan tersangka.

Berdasarkan argumentasi di atas, delik korupsi dalam KUHP masih memiliki beberapa catatan. Adanya anggapan bahwa korupsi bukan lagi merupakan kejahatan luar biasa tidak hanya sekerdil memasukkannya ke dalam KUHP, tetapi juga pada orientasi pemidanaan yang semakin menjauhkan terpidana dari efek jera dan ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.

Perlu diingat, landasan historis UU Tipikor dibuat dalam suasana batin reformasi yang menginginkan korupsi dicabut sampai akarnya. Sehingga perlu upaya lebih untuk memberantasnya; bukan dengan memasukkan delik korupsi dalam KUHP, tetapi dengan merevisi UU Tipikor dan mengesahkan RUU Perampasan Aset.

Gray Anugrah Sembiring mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Klub Studi Sosio-Legal FH USU

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Simak juga 'Saat Soal UU KUHP, Guru Besar Unnes Minta Penegak Hukum Diberi Pelatihan':

ADVERTISEMENT

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)