Kisah 3 Bulan Mencekam Sebelum Krakatau Meletus pada 1883

Kisah 3 Bulan Mencekam Sebelum Krakatau Meletus pada 1883

Bahtiar Rifa'i - detikNews
Selasa, 08 Jan 2019 10:47 WIB
Ilustrasi Gunung Krakatau sebelum meletus hebat pada 1883 (Foto: BBC Indonesia)
Serang - Malam petugas kontrolir Belanda Willem Beyerinck di Ketimbang terganggu akibat getaran keras di bawah kakinya. Hari itu, 13 Mei 1883, getaran gempa misterius tiba-tiba dirasakan terus-menerus. Ia kaget lalu mengirimkan telegram rahasia ke atasannya di Residen Lampung.

Beberapa hari sebelumnya, tengah malam pada Kamis 10 Mei, seorang penjaga mercusuar di Selat Sunda, waktu itu disebut First Point, juga melaporkan adanya getaran keras. Fondasi mercusuar seakan berpindah dan laut memutih seakan membeku.


Telegram kontrolir Beyerinck ini jadi laporan pertama seorang pegawai Hindia Belanda bagaimana Krakatau akan mengguncang dunia akibat letusan hebat di Agustus 1883.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi selain kontrolir Beyerinck, rupanya 10 kapal yang berlayar di Selat Sunda jadi saksi mata fase awal Krakatau meletus. Sepanjang tiga bulan pertama itu, digambarkan sebagai lepasnya rantai gerbang neraka oleh Simon Winchester dalam buku Krakatoa, The Day the World Exploded: August 27, 1883 dan diterjemahkan oleh Serambi pada 2006.

Salah satunya kapal Elisabeth dari Jerman yang dikomandoi Hollman yang singgah di Anyer. Dari anjungannya ia memandang Krakatau yang waktu itu memiliki tinggi 2.625 mdpl. Ia mengatakan, awan kumulus putih naik cepat ke langit dan nyaris vertikal dengan ketinggian 11.000 meter.

Mulai tahun 1927 muncul Gunung Anak KrakatauMulai tahun 1927 muncul Gunung Anak Krakatau. Gunung berapi ini juga cukup aktif (Foto: dok. detikcom)


"Di situ ia mulai menyebar seperti sebuah payung, sehingga tak lama kemudian hanya sebagian dari langit biru itu yang tampak di cakrawala. Sekitar pukul empat sore angin mulai bertiup dari arah selatan tenggara, membawa debu halus sampai seluruh kapal tertutup lapisan debu kelabu yang halus dan merata," tulis Simon Winchester sebagaimana dikutip detikcom.

Bukan hanya kapal Elisabet, beberapa kapal yang berada di Selat Sunda banyak melaporkan fenomena awal Krakatau meletus. Ada laporan kapal Actaea dari Inggris yang 80 mil (128,7 km) jauhnya di sebelah barat Krakatau yang tertutup debu halus.

Juga kapal pembawa pos Belanda bernama Zeeland yang jaraknya hanya 5 mil (8 km) lebih dekat dari lokasi letusan. Sang nakhoda kapal ini, Kapten MacKenzie bahkan mendengar suara letusan bergulung-gulung yang memekakkan telinga seperti rentetan suara meriam. Kompas di kapalnya hanya berputar karena arus magnetis yang tak menentu arah.


Di Batavia, JP van der Stok seorang Direktur Observatori Meterologis dan Magnetik juga dikagetkan oleh jarum dan pena di atas alat deklinometer magnetik bergetar dan mengetuk-ketuk dengan hebat. Getaran dan gelegar berduyun-duyun mirip meriam kemudian diidentifikasi sebagai letusan gunung berapi. Warga Batavia panik, mereka was-was atas suara ledakan terus-menerus itu.

Atas kepanikan itu, Gubernur Jenderal memerintahkan Kepala Residen Lampung Mr Altheer untuk menyelidiki penyebab suara ledakan gunung berapi. Dibantu kontrolir Beyerinck ia kemudian berangkat menuju titik terdekat Krakatau.

Tapi untuk sampai sana, keduanya membutuhkan waktu 4 jam sebelum melihat garis pantai Krakatau. Di sepanjang perjalanan melewati Sebesi dan Sebuku mereka diguyur ombak besar penuh batu apung dan pohon hangus. Nafas mereka pun sesak karena guyuran hujan abu.


Kondisi Gunung Anak Krakatau usai erupsi hingga menyebabkan terjadinya tsunami di pesisir Banten dan LampungKondisi Gunung Anak Krakatau usai erupsi hingga menyebabkan terjadinya tsunami di pesisir Banten dan Lampung (Foto: Planet Labs)

Pandangan keduanya kemudian terbelalak begitu melihat garis pantai Krakatau. Puncak gunungnya berkobar mengeluarkan api dan asap. Dentuman seperti suara meriam tak berhenti dan menjadi semakin kuat menambah suasana ngeri dan mencekam. Keduanya kemudian pulang ke Ketimbang untuk segera melaporkan pesan melalui mesin telegraf ke Gubernur Jenderal.

"Api yang berkobar-kobar, semburan api, batu-batu mengapung yang disapu ombak, hujan abu tanpa henti. Suara yang tak diragukan lagi adalah sebuah letusan yang sangat mencekam dan mengerikan...," tulisnya.


Dan tak lama kemudian, informasi awal meledaknya Krakatau tersebar ke dunia barat. The Times pada Kamis 24 Mei 1883 di halaman 12 menulis sebuah pengumuman letusan vulkanik Krakatau di bawah sebuah berita kriminal di London. Di situ tertulis:

"Letusan Vulkanik. Telegram Lloydd's Agent di Batavia, tertanggal 23 Mei: "Letusan Vulkanik kuat, Pulau Krakatowa, Selat Sunda." katanya.


Tapi, letusan yang terlanjur mendunia ini rupanya bukan yang terakhir. Pada 24 Juni juga ada laporan Krakatau meletus kembali. Sampai akhirnnya, pada 11 Agustus, ada seorang kapten Belanda bernama HJG Ferzenaar jadi orang yang terakhir menapaki Krakatau untuk keperluan topografi militer. Ia tercatat sebagai orang terakhir sebelum Krakatau hancur akibat ledakan mahadahsyat pada di 27 Agustus pukul 10.02 pagi.

"Dua minggu dan satu hari kemudian, sebagian besar dari pulau yang baru saja ia gambar itu mendadak meledak. Miliaran ton batuan menjadi uap dan menghilang di permukaan bumi untuk selamanya," tulisnya. (bri/jbr)