Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ondel-ondel dan Pertarungan Belief Masyarakat Betawi

Kompas.com - 16/07/2019, 07:00 WIB
Nibras Nada Nailufar,
Heru Margianto

Tim Redaksi


KOMPAS.comOndel-ondel awalnya adalah representasi belief masyarakat Betawi akan kekuatan maha besar di luar manusia. Ia simbol pertahanan, penolak bala dari kekuatan jahat yang tak terlihat.

Kini, belief itu luntur, tak tersisa. Ia tak lebih seonggok boneka kayu raksasa yang digoyang-goyang di jalanan demi menambal perut yang keroncongan. Urusan perut adalah juga belief.

Dalam sejarahnya yang panjang, ondel-ondel menyisakan cerita tentang pertarungan belief masyarakat yang berjuang mencari makna hidup dari masa ke masa.

Antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ayu Nova Lissandhi yang pernah meneliti soal ondel-ondel bercerita, sejak kepopulerannya di kehidupan masyarakat Jakarta, ondel-ondel selalu jadi rebutan dan tarik-menarik. Bahkan di kelompok Betawi sendiri.

Pada mulanya, ondel-ondel berfungsi sebagai tradisi ritual masyarakat Betawi. Keberadaan ondel-ondel erat kaitannya dengan animisme atau kepercayaan terhadap roh dan benda-benda suci.

Baca juga: Ondel-ondel, Ikon Betawi yang Terpaksa Ngibing dan Ngamen buat Bertahan

Ondel-ondel digunakan untuk menolak bala atau menolak kesialan dan roh jahat. Biasanya, ondel-ondel tampil di perkawinan, khitanan, terutama ketika masyarakat sedang kesusahan.

“Ondel-ondel merupakan bagian dari tradisi dan ada beberapa ritual yang dilakukan oleh pendukungnya mulai dari proses pembuatan hingga saat dilakukan arakan,” kata Ayu kepada Kompas.com, Minggu (14/7/2019).

Ada yang meyakini ondel-ondel terpengaruh budaya China. Ondel-ondel dinilai mirip dengan barongsai. Selain itu, ada juga yang menyebut ondel-ondel warisan hindu dan buddha sebab mirip dengan barong landung dari Bali.

Islam vs praktik mistis

Masalah muncul ketika ada perbedaan pandangan di tengah masyarakat Betawi. Ada betawi tengah yang dikenal sebagai kalangan elit terpelajar dengan pegangan terhadap agama Islam yang kuat dan mengacu pada kebudayaan Arab. Kemudian ada Betawi pinggir yang masih memegang tradisi nenek moyang.

Betawi tengah menolak praktik mistis ondel-ondel karena bertentangan dengan Islam.

“Penolakan itu dari Betawi tengah yang memang didominasi oleh kultur Arab,” ujar Ayu.

Baca juga: Ondel-ondel Jalanan, Boneka Betawi yang Kehilangan Sakralitasnya

Dalam penelitiannya, Ayu mengatakan banyak seniman ondel-ondel yang kemudian dilema. Ondel-ondel dianggap sebagai sesembahan yang tidak sesuai dengan ajaran guru mengaji mereka.

Seniman yang tergolong kelompok Betawi pinggir ini pun menjadikan ondel-ondel sebagai medium kesenian.

Parade ondel-ondel memeriahkan acara Explore Ondel-Ondel di Pantai Lagoon, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (23/6/2018). Acara ini digelar dalam rangkaian HUT ke-491 Jakarta.KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO Parade ondel-ondel memeriahkan acara Explore Ondel-Ondel di Pantai Lagoon, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (23/6/2018). Acara ini digelar dalam rangkaian HUT ke-491 Jakarta.

 

Ondel-ondel dijadikan hiburan di acara-acara warga, tanpa memasukkan ritual yang sakral. Ondel-ondel dinikmati sebagai hiburan rakyat dengan tanjidor dan gambang kromong.

“Dahulu banyak pengeluaran yang basisnya tradisi, misalnya pada saat ondel-ondel dikeluarkan ada tradisi ‘nyuguh’ sekarang tidak lagi karena unsur kepraktisan dan sudah tidak ada lagi yang mewarisi pengetahuan tentang bagaimana seni tersebut dilakukan,” kata Ayu.

Lagu Benyamin Sueb

Kata ondel-ondel sendiri baru populer di era 70-an ketika lagu “Ngarak ondel-ondel” ciptaan Joko dari Surabaya dipopulerkan oleh Benyamin Sueb.

Kata ondel-ondel diduga berasal dari “gondel-gondel”, gerakan yang dibuat saat mengarak ondel-ondel.

Benyamin yang tergolong Betawi tengah, berperan besar dalam mendefinisikan ondel-ondel yang kita kenal sekarang.

“Betawi tengah meski jumlahnya lebih sedikit tapi dominasinya dalam hegemoni kebudayaan besar. Mereka lebih punya akses bahkan dalam penentuan identitas kebetawian, seperti Lembaga Kebudayaan Betawi,” ujar Ayu.

Pada era yang sama, tampilan ondel-ondel juga berubah karena keinginan Gubernur Ali Sadikin.

Bang Ali meminta agar ondel-ondel yang tadinya bermuka seram, dibuat lebih halus dan ramah agar mudah diterima masyarakat. Ia ingin ondel-ondel dijadikan identitas betawi.

Kenapa awalnya ondel-ondel berwajah seram? Baca: Cerita di Balik Wajah Ondel-ondel yang Seram dan Mata di Hati...

“Tampilan ondel-ondel sekarang menjadi tampilan bagaimana terbukanya orang Betawi yang jenaka, yang diwakili ibarat abang none versi boneka. Yang tadinya seram jadi cantik,” kata Ayu.

Berbagai negosiasi dan kompromi yang menggeser fungsi ondel-ondel ini, kata Ayu, bakal terus terjadi.

Fenomena ondel-ondel ngamen dengan kaset dan speaker yang kita lihat saat ini pun merupakan kompromi dari kelompok Betawi yang punya kebutuhan ekonomi untuk dipenuhi.

Kebutuhan perut adalah belief paling terkini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kronologi Penemuan Jasad Bayi di KBB Tanah Abang

Kronologi Penemuan Jasad Bayi di KBB Tanah Abang

Megapolitan
Andalan Timnas Indonesia, 2 Polisi Lalu Lintas Polda Metro Jaya Berlaga di Semifinal Piala Asia U-23

Andalan Timnas Indonesia, 2 Polisi Lalu Lintas Polda Metro Jaya Berlaga di Semifinal Piala Asia U-23

Megapolitan
KPU: Syarat Partai Usung Cagub-Cawagub di Pilkada DKI 2024 Minimal 22 Kursi di DPRD

KPU: Syarat Partai Usung Cagub-Cawagub di Pilkada DKI 2024 Minimal 22 Kursi di DPRD

Megapolitan
Polisi: Keluarga Tolak Otopsi Jasad Brigadir RAT karena Murni Bunuh Diri

Polisi: Keluarga Tolak Otopsi Jasad Brigadir RAT karena Murni Bunuh Diri

Megapolitan
Pemprov DKI Bakal Periksa Tempat Penjualan Hewan Kurban Jelang Idul Adha 2024

Pemprov DKI Bakal Periksa Tempat Penjualan Hewan Kurban Jelang Idul Adha 2024

Megapolitan
48.000 Buruh Jabodetabek Bakal Turun ke Jalan Saat 'May Day'

48.000 Buruh Jabodetabek Bakal Turun ke Jalan Saat "May Day"

Megapolitan
Nasib Tragis Kuli Bangunan di Kramatjati, Tewas Seketika Usai Tertimpa Tembok Rumah yang Direnovasi

Nasib Tragis Kuli Bangunan di Kramatjati, Tewas Seketika Usai Tertimpa Tembok Rumah yang Direnovasi

Megapolitan
Penampakan Permukiman Warga Cipayung Depok yang Terendam Air dan Sampah Selama 4 Bulan

Penampakan Permukiman Warga Cipayung Depok yang Terendam Air dan Sampah Selama 4 Bulan

Megapolitan
Sampah Alat Kontrasepsi Berserak di RTH Grogol Petamburan, Camat Instruksikan Penertiban

Sampah Alat Kontrasepsi Berserak di RTH Grogol Petamburan, Camat Instruksikan Penertiban

Megapolitan
Bayi Dibuang Orangtuanya ke KBB Tanah Abang, Sebelumnya Diaborsi di Hotel

Bayi Dibuang Orangtuanya ke KBB Tanah Abang, Sebelumnya Diaborsi di Hotel

Megapolitan
Akhir Perjalanan Ibu Pengemis Viral yang Paksa Orang Sedekah, Kini Telah Diamankan dan Terindikasi ODGJ

Akhir Perjalanan Ibu Pengemis Viral yang Paksa Orang Sedekah, Kini Telah Diamankan dan Terindikasi ODGJ

Megapolitan
Cerita Roby, Rela Nabung 1,5 Tahun demi Bisa Beli 'Outfit' Mahal untuk Mejeng di Kota Tua

Cerita Roby, Rela Nabung 1,5 Tahun demi Bisa Beli "Outfit" Mahal untuk Mejeng di Kota Tua

Megapolitan
Dua Anak yang Dibawa Kabur Pengasuhnya di Jakarta Utara Sudah Ditemukan di Bekasi

Dua Anak yang Dibawa Kabur Pengasuhnya di Jakarta Utara Sudah Ditemukan di Bekasi

Megapolitan
2 Anak Warga Jakarta Utara Dibawa Kabur Pengasuhnya

2 Anak Warga Jakarta Utara Dibawa Kabur Pengasuhnya

Megapolitan
Tak Ada Partai yang Bisa Usung Sendiri Cagub-Cawagub pada Pilkada DKI 2024

Tak Ada Partai yang Bisa Usung Sendiri Cagub-Cawagub pada Pilkada DKI 2024

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com