Categories
Featured Liputan

Merayakan Jejak Rantau Pelaut Bugis-Makassar di Australia

Syahdan, di awal abad 18 dalam sebuah musim berburu teripang akhir tahun yang terik oleh pantulan sinar matahari di permukaan laut, sekelompok nelayan berkulit sawo matang telah meminta ijin kepada keluarga di rumah. Dalam petualangan yang berulang, semoga mereka pulang membawa tangkapan yang berlimpah kali ini. Sebab angin monsun akan mendorong layar perahu lebih jauh dari pandangan mata, menghilang ke arah selatan hingga pada akhirnya tiba di suatu daratan kering, pantai bertebing Kimberley di bagian barat Australia yang familiar mereka sebut Kayu Jawa dan di sepanjang garis pantai yang membentang di Arnhem Land – lebih mudah dilafalkan dengan lidah Makassar sebagai Marege`. Oleh para praktisi akademik, dokumentasi yang memuat mengenai informasi tentang pelaut Bugis-Makassar ini sudah sering diulas dan dibahas salam berbagai kesempatan.

Macassans at Victoria, Port Essington, 1845, by HS Melville, published in The Queen, 8 February 1862 (source: national museum Australia)

Perburuan laut mungkin bermakna sederhana bagi para pelaut Bugis-Makassar yang pemberani itu: banyak tangkapan berarti banyak rezeki. Sebab orang-orang Tionghoa sangat gemar menyantap teripang sehingga nilainya melonjak tinggi. Jika diperkirakan, kegiatan berburu teripang terjadi pada saat pelabuhan Makassar telah sibuk melayani rute perdagangan antar benua. Tapi, kunjungan mereka rupanya meninggalkan pengaruh yang cukup signifikan bagi komunitas Aborigin yang sejatinya telah menempati daratan Australia sebagai penduduk asli. Bayangkan saja, dengan kemampuan olah bahasa tubuh seadanya, kedua suku berbeda kutub ini telah mencoba berkomunikasi satu sama lain. Di mata sejarah, pelaut Bugis-Makassar telah dikelompokkan sebagai perantau dari “dunia luar” yang pertama kali berhasil melakukan kontak dengan kelompok Aborigin sebelum kedatangan kapal bangsa Eropa bertahun-tahun kemudian. Dengan kondisi tersebut, gaya hidup mereka pun bercampur baur secara perlahan. Kata-kata serapan, budaya, bahkan aspek religi turut mewarnai proses akulturasi antara pelaut Bugis-Makassar dan suku Aborigin yang tinggal di area pesisir Marege` (Clark & May, 2013).

Makasar Prau, 1966, bark painting by Birrikitji Gumana, Yirrkala, 96 x 46cm. National Museum of Australia. © Buku-Larrnggay Mulka Art Centre (source: national museum Australia)

Lazimnya, para pelaut akan mendirikan satu perkemahan sederhana di tepi pantai. Dengan berbekal alat-alat sederhana yang digunakan untuk memasak dan kebutuhan sehari-hari, mereka mulai mengumpulkan hasil tangkapan laut menggunakan harpun selama berminggu-minggu. Adapun bukti peninggalan yang berhasil ditemukan oleh para arkeolog sekaligus mencakup perlengkapan melaut seperti kano, jala, mata pancing, atau barang-barang metal. Dari beberapa sumber disebutkan, orang-orang Aborigin yang tertarik dengan atmosfir kehidupan pendatang ini pun mendekat ke wilayah perkemahan dan akhirnya turut dalam aktifitas berburu teripang. Meskipun terkadang ada satu dua masalah komunikasi yang terjadi akibat salah paham, akan tetapi hubungan kedua bangsa tersebut dapat berjalan cukup lama, sebelum pada akhirnya bisnis ini semakin menurun akibat naiknya harga pajak dan pelarangan berburu tanpa ijin bagi nelayan-nelayan non-Australia dari pemerintah Inggris yang telah berkuasa di bagian selatan Australia di abad 19. Bahkan, sempat dituliskan bahwa beberapa orang Aborigin diperkenankan ikut dalam pelayaran kembali ke Makassar sehingga mereka pun ikut tinggal disana. Akan tetapi, disebabkan oleh kurang rapinya sistem arsip sejarah di Makassar, mungkin susah untuk kembali mencari tahu generasi Aborigin yang masih eksis di Indonesia hingga kini. 

Sebagai keturunan Bugis-Makassar, ada perasaan unik saat membaca naskah-naskah sejarah mengenai informasi ini yang dipampang hampir di setiap lokasi bersejarah mengenai Australia. Terbayanglah seperti apa ekspresi dan dialog yang mungkin terjadi saat pelaut Bugis-Makassar melihat suku Aborigin untuk pertama kalinya, begitu pula sebaliknya. Tanpa harus terjadi konfrontasi fisik dan peperangan berdarah, toh mereka akhirnya bisa kompak dalam urusan berburu teripang. Berbagi api, berbagi makanan, berbagi panci. Apakah orang-orang Aborigin sempat mencicipi burasa` dan abon ikan? Apakah pelaut-pelaut itu menyanyikan anging mamiri sambil merokok untuk mengingat rumah sebelum bulan April tahun berikutnya tiba? 

 

bersambung,..  

Clark, Marshall, Clark, Marshall Alexander, & May, Sally K. (2013). Macassan history and heritage : Journeys, encounters and influences. Canberra, Australian Capital Territory: ANU E Press.

MacKnight, C. C. (1976). The Voyage to Marege’: Macassan Trepangers in Northern Australia. Melbourne, Victoria Australia: Melbourne Univ Pr.

Categories
Featured I UPS! La Galigo Lontara Project

World Heritage Day Makassar 2015

Categories
101 La Galigo Featured

CITA-CITA GELAP GULITA

ada satu jalan yang panjang hampir tak bercabang

tempatku berguru ilmu baru

tempatku melepas rindu dengan pesisir yang baru

mata adalah indera paling aktif saat aku mulai bersetubuh dengan atmosfirnya

 

aku datang sebagai teh kering siap seduh

aku bimbang mencari tempat menyatu

kemudian mereka datang membawa pemanis, air panas, dan cangkir-cangkir kegembiraan

separuh malam habis terlahap wajah-wajah yang perlahan melepas beban-bebanku

 

aku berani meletakkan kata baru di kamus bahasaku

untuk mereka

jika ada kata kata yang lebih tinggi diatas bijaksana

kuartikan sebagai hal langka

 

ada keluh tentang janji rupanya

janji tak pernah tumbuh subur kecuali jagungnya

janji tak pernah merekah kecuali bibir-bibir bidadarinya

janji tak pernah bersahabat kecuali mereka yang selalu berkerabat, sangat-sangat dekat

 

sudah sekian musim

mereka lelah dan memilih diam kembali

meneruskan imaji dalam kepala tentang keterbatasan menuju kesudahan

dan hidup normal dalam anggapan

 

airmata tidak betah bersemayam lama-lama; mendesak keluar agar ikut merasa

kepada nama-nama yang sepantasnya untuk mereka

sebuah tanah begitu hidup tak disadari betapa kaya

yang seharusnya membuka mata sambil melangkah kesana

 

adakah jalan mengairi hati-hati kering yang ditunjuk? di dalam ruang sejuk

atau paling tidak lembaplah matanya

 

 

Lemolemo, 28 Februari 2015

Andi Muhammad Hikmatyar Ibrahim, dipanggil Tyar. Senang berwisata kuliner dan berpetualang sambil menulis. Telah jatuh cinta pada puisi serta prosa sejak duduk di bangku SMP dan mulai belajar secara otodidak. Penggemar hampir segala jenis musik. Penabuh drum dari salah satu band lokal Makassar. tyaribrahim.tumblr.com adalah halaman yang paling setia memeluk segala isi kepalanya