Dolorosa Sinaga Membekukan Gerak

id Dolorosa

Dolorosa Sinaga Membekukan Gerak

Pemahat Dolorosa Sinaga

Patung fiber berwarna emas itu memberi imaji bahwa sosok Gus Dur dengan wajah tertawa, sedang rebahan dan menepuk-nepuk paha.
Tepat di dekat pintu masuk ruang pendopo rumah pemahat Dolorosa Sinaga, terdapat Patung Gus Dur, berukuran sedikit lebih kecil dari manusia normal.

Patung Gus Dur tersebut dalam posisi tubuh rebahan miring mirip patung Budha Tidur, namun kepala menengadah bertumpu tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mengambang di atas tubuh. 

Patung fiber berwarna emas itu memberi imaji bahwa sosok Gus Dur dengan wajah tertawa, sedang rebahan dan menepuk-nepuk paha.

Itulah kekuatan karya-karya Dolorosa Sinaga, menciptakan patung dengan "gerak yang membeku" atau biasa disebut "static in motions", misalnya, gerak tubuh seorang penari, olahragawan, bahkan mimik seseorang.

Di ruang tamu Somalaing Art Studio yang hanya memiliki dua sisi dinding, sisi lain terbuka menghadap taman, terlihat beberapa karya patung tokoh-tokoh, yaitu Dalai Lama dan Budha, serta Wiji Thukul yang sedang membaca puisi dan patung-patung lain, semua dalam gerak beku.

Dolorosa sangat bangga ketika menceritakan bahwa Somalaing Art Studio itu dibangun dengan uang yang diperoleh dari hasil menjual patung-patung ciptaannya.

"Gus Dur, Wiji Thukul, Dalai Lama dan Buddha berada di sini untuk menjaga agar spirit mereka tentang kemanusiaan tetap hidup setidaknya di tempat ini," kata Dolorosa, pendiri Somalaing Art Studio yang terletak di Pinang Ranti, Jakarta Timur, itu.

Tidak banyak perempuan memilih profesi menjadi pemahat, bahkan mereka yang cukup terkenal di Indonesia jumlahnya tidak menghabiskan 10 jari bila dihitung.

Dolorosa menghitung dia adalah generasi ketiga setelah pendahulunya, Rita Widagdo, perempuan Jerman yang lahir di kota Rotweil pada 1938 dengan nama gadis Rita Wizemann, kemudian menjadi warga negara Indonesia setelah menikah dengan Prof. Widagdo.

Rita lulus dari sekolah seni Sttatliche Akademie del Bildenden Kunste di kota Stuttgart, selanjutnya dikenal membawa seni patung modern dengan karya-karya abstrak yang banyak terpajang di Kota Jakarta, serta menjadi pengajar di fakultas seni dan desain ITB Bandung.

Setelah era Rita ada beberapa perempuan pematung yang namanya cukup dikenal, yakni Ariantine Karnaya, Edith Ratna dan Hildawati.

Anatomi dan Medium
Kekuatan karya Dolorosa adalah penguasaannya pada anatomi tubuh manusia, obyek yang disukainya dan pada medium kerja yang terus dikembangkankannya.

Dia mengaku bisa membuat patung dari bahan-bahan yang mungkin tidak pernah dipikirkan orang awam, misalnya kertas, kertas timah, lembar plastik dan kain. Baginya lembar-lembar tipis itu mempunyai karakter luwes yang bisa membantunya mengekspresikan gerak untuk dibekukan sesuai keinginan.

Sebuah patung karyanya yang berjudul "Penari Sufi" misalnya, sekalipun bentuknya abstrak seperti kebanyakan patungnya yang lain, tetapi dapat memperlihatkan ciri khas tarian Sufi yang  biasa dibawakan kaum pria, yaitu gerak memutar dengan jubah lebar yang menggembung dalam pusaran gerak.

Dolorosa yang  menikah dengan seorang seniman Arjuna Hutagalung, suka sekali membuat patung penari yang menampilkan gerak dinamis setiap tarian dan menunjukkan kebolehannya dalam anatomi, gerak otot dan reaksinya pada tubuh.

"Dulu saya belajar anatomi sampai seperti mau muntah, setiap hari. Tetapi tubuh selalu memberi inspirasi karena geraknya selalu membawa pesan," kata perempuan yang mendapat gelar pascasarjana dari di St. Martin's School of Art di London melalui beasiswa dari British Council itu.

Di tempat itu setiap hari dia dan siswa lain mempelajari anatomi dan perubahan bentuk tubuh manusia melalui setiap gerak dari model telanjang, mereka juga berlatih mengamati gerak penari balet dan olahragawan.

Pemakaian model telanjang itu diterapkan oleh Dolo sampai saat ini untuk pelajaran anatomi, meskipun sempat ada orang tua mahasiswa yang memprotes sampai menarik anaknya keluar dari IKJ.

"Saya bertanggung jawab atas kelas tersebut yang tujuannya adalah memberi ilmu, mahasiswa juga saya arahkan untuk belajar, bukan yang lain, malahan mereka harus berterimakasih serta respek pada perempuan dan laki-laki yang menjadi model karena membuat mereka berkesempatan belajar," kata Dolo.

Dolo adalah termasuk empat perempuan pertama yang belajar seni patung di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang kemudian berubah nama menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada tahun 1971 dan lulu pada 1977.

"Lama lulusnya karena saya sering pergi jalan-jalan," kata perempuan yang lahir pada 31 Oktober 1952 di Sibolga, Sumatra Utara.

Semasa kuliah dia melakukan perjalanan menjelajah beberapa pelosok negeri dari Nias di Sumatra, Toraja di Sulawesi Selatan, Jawa Timur di Trowulan dan Madura serta ke Bali yang diakuinya banyak memberi inspirasi dalam berkarya.

Dalam perjalanan karir selanjutnya Dolo sempat mempelajari seni patung dari negara-negara lain, melalui berbagai kursus singkat, magang, menghadiri lokakarya dan seminar yaitu di Kornarija -Lubliyana di Yugoslavia, San Fransisco Art Institute dan Universitas Merryland, Amerika Serikat. Dia juga pernah mendapat undangan dari USAID untuk berkeliling galeri dan museum di sembilan negara bagian AS.

Banyak pesan disampaikan dalam karya-karya Dolorosa yang lebih sering terlihat beraliran surealisme, misalnya patung berjudul "Me and My Book" dengan posisi perempuan duduk memangku buku dalam posisi terbuka, kakinya dibuat memanjang jauh ke depan, seperti menggambarkan jangkauan yang jauh memanjang tiada henti ketika seseorang membaca buku.

Untuk bereksprimen dengan bahan-bahan, Dolorosa yang juga banyak membuat karya dari perunggu mengatakan bahwa dia selalu merasa mendapat tantangan yang berbeda dari setiap media sesuai karakter media tersebut.

Logam-logam dengan kilauannya merupakan medium yang banyak dipakai oleh Dolo, misalnya dalam karya serialnya berjudul "Ibu dan Anak", patung-patung "Perempuan Duduk Menatap Langit", "Dancer with Joy" juga ungkapan cinta dm karya "Love", rekaman sejarah mengenai serial bencana tsunami Aceh.

Media perunggu dikuasai Dolo yang pernah belajar secara khusus di Piero's Art Foundry di Berkeley dan juga mempelajari media styrofoam di Ringling Scool of Art, Florida, AS.

Dolorosa menyatakan pada suatu saat dia sering berdiskusi dengan seorang pria bernama Sabar, pematung, Jawa Timur yang banyak membuat replika patung-patung pada masa kerajaan Majapahit.

"Dia mempunyai pengalaman otodidak saya punya pengetahuan akademis, kemudian juga belajar menggunakan bahan pengganti yang murah," kata Dolo mengenai Sabar dari Desa Bejijong, Trowulan di Kota Mojokerto.

Dolo mendapat bantuan dana dari Ford Fondation untuk merestorasi pengecoran perunggu tertua di kawasan Trowulan, yang kemudian menjadi bagian dari hidup dan karya perunggunya.

Sabar menggunakan teknik kuno cire perdue yaitu teknik mencetak logam (cor) dengan memakai cetakan lilin tetapi untuk membuat karya yang bisa dijual murah, maka dia mengganti lilin dengan bahan tanah liat yang biasa digunakan untuk membuat batu bata. Bahan keramik untuk membuat patung juga diganti dengan genteng yang ditumbuk.

Juru kunci Museum Trowulan itu menjadi asisten seorang warga Prancis, Maclaine Pont, yang mendirikan Museum Trowulan bersama Bupati Mojokerto, ketika Pont membuat patung Yesus, kemudian belajar teknik cor untuk membuat replika bentuk candi dan tokoh-tokoh kerajaan Majapahit.

Bagi Dolorosa, medium apa saja memberi tantangan berbeda. "Seperti medium kain, sekali gerak diangkat ke atas, kemudian diikuti gravitasinya dan dibentuk dengan cepat, hasilnya bagus sekali," katanya memperagakan gerak dimaksud untuk menghasilkan lipatan-lipatan kain jatuh.

Kertas aluminium yang biasa digunakan untuk membungkus makanan adalah media yang nyaris tidak mempunyai massa dan bisa membentuk lekuk-lekuk beku, tergantung tangan yang mencipta.

Bukan Cita-cita
Menjadi seniman tidak pernah menjadi cita-cita Dolorosa yang pada saat kecil mengaku tomboi dan suka memanjat pohon, duduk di atas gerbang pagar rumah. 

Perilaku maskulin itu menurut Dolo terjadi karena sejak di dalam kandungan kedua orang tuanya berharap mendapat anak laki-laki karena dua kakaknya juga perempuan.

Dia mulai tertarik menggambar ketika seorang teman SMP-nya sering "doodling" di kelas, dan gambarnya sosok-sosok pria dan wanita.

"Kok bisa ya orang menggambar seperti itu, pikir saya begitu," kata Dolo yang kemudian memutuskan untuk belajar seni rupa ketika tamat dari SMA di Jakarta.

Ayahnya seorang birokrat yang kemudian menjadi pebisnis dan pendiri perusahaan asuransi Bumi Asih Jaya menentang niatnya tersebut dan meminta Dolo untuk mendaftar ke Sekolah Tinggi Teologia (STT) di Jakarta.

Dolo menurut. Dia mendaftar di STT tetapi gagal diterima karena pada materi membuat esai singkat dalam ujian masuk dia dengan jujur mengemukakan pendapatnya bahwa "seseorang tidak perlu harus masuk STT untuk bisa masuk surga."

Dia pun mendaftar ke LPKJ (cikal bakal IKJ) dengan ancaman dari ayahnya yang hanya bersedia memberinya uang kuliah untuk tahun pertama.

"Tahun kedua dan seterusnya saya dapat beasiswa dan bisa cari duit dengan membantu magang pada pekerjaan seni," kata Dolo sambil menggulung tembakau, lalu disulut dan diisapnya dalam-dalam dengan mata menerawang.

Dia mengenang masa remaja dengan kebadungannya, misalnya malam-malam mendorong keluar mobil ayahnya untuk dipakai ngeluyur, nongkrong sampai pagi yang pernah dilewatinya dan mungkin pernah membuat orang tuanya khawatir.

Di fakultas seni rupa, akhirnya Dolo lebih menyukai seni trimatra dibanding lukisan yang hanya datar karena, menurutnya, seni patung membuat penikmatnya harus bergerak dan melihat semua sudut dari bentuk tiga dimensi itu untuk menemukan detil-detil yang semuanya memberi pesan dan makna.

Seni pahat yang digelutinya lebih dari separuh usianya itu akhirnya memberinya imbalan, berupa prestasi-prestasi antara lain "Kriya Wanodya" dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan tahun 1994, Anugerah Adirupa Citaraya 2004, menjadi dekan di fakultas seni IKJ tahun 2001, menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta pada 1998 dan banyak lainnya.

Sikap kritis Dolo pada ketimpangan sosial, kebobrokan politik dan kebenciannya pada tentara tumbuh oleh pengalaman batin sejak muda, mempengaruhi karya-karyanya yang sarat pesan kemanusiaan.
"Ayah saya akhirnya mengakui karya saya dengan meminta saya memajang patung-patung di kantornya dan semasa hidup beliau juga sering menginap di rumah saya (sekaligus galeri dan studio)," kata Dolorosa Sinaga yang akan terus mencipta untuk menyampaikan pesan.

Baginya seni patung bukan hanya dapat memperindah kota tetapi bisa mewujudkan karakter kota bahkan karakter bangsa, seperi yang sudah dibuktikan oleh Presiden Soekarno ketika menentukan pilihan patung-patung penghias Kota Jakarta.

"Tugu Selamat Datang sangat tepat menggambarkan sifat bangsa Indonesia yang terbuka menyambut tamu," katanya memberi contoh.

Karyanya pun menjadi koleksi banyak orang dan dipajang di berbagai tempat seperti Kedutaan Besar Belanda, Bank Indonesia, Komnas Perempuan, perusahaan asuransi Kyoei, Jepang dan Bumi Asih Jaya di berbagai kota, Galeri Foto Jurnalistik Antara, Bursa Efek Jakarta, Sol Art Italia, Queson University, Filipina, di Vietnam dan tempat-tempat lain di Jakarta.