Dimensi Transenden, Mengenal Tuhan: Positivisasi di Tengah Kenegatifan

Muhammad Dzikriyyan
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
31 Juli 2023 14:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Dzikriyyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kaligrafi Lafaz Allah (Sumber: Dokumentasi Penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Kaligrafi Lafaz Allah (Sumber: Dokumentasi Penulis)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pertanyaan yang memusingkan, kenapa dunia dan seisinya ada? Manusia diciptakan tidak lain untuk beribadah kepada Allah. Namun, mengapa Allah memiliki itikad untuk menciptakan manusia? Apakah Allah butuh sesuatu untuk meyembah-Nya. Jawabannya tentu tidak, karena mustahil Dzat Yang Maha Kuasa membutuhkan sesuatu.
ADVERTISEMENT
Allah adalah Tuhan. Dan, Tuhan adalah mussabibul asbab atau sebab dari segala sebab. Mengapa dunia ini ada? Tidak lain karena Tuhan itu ada. Tuhan sebagai sebab dan dunia adalah akibat dari adanya Tuhan, demikian teori kausalitasnya. Keberadaan Allah sebagai sesuatu Transenden memicu terciptanya segala sesuatu.
Bagaimana kita mengenal Tuhan? Tidak lain dengan cara melihat ciptaan-Nya. Mengapa dunia begitu sempurna di mata manusia. Karena dunia ini adalah manifestasi dari ke-Maha-an Tuhan. Sudah semestinya juga indah.
Tanpa disadari manusia memiliki kecenderungan untuk mendekat kepada apa apa saja yang berkaitan dengan penciptanya, karena asal manusia adalah dari-Nya. Namun Tuhan dan kekuasaan-Nya tak terhingga lebih estetika dari dunia.
Oleh karena itu hendaklah jangan mengejar dunia. Tetapi bersyukurlah ketika di dunia, karena di dunia manusia bisa melihat seberkas ejawantah keindahan Tuhan. Sedangkan di kehidupan pasca dunia, belum tentu ia bisa melihat keestetikaan itu.
ADVERTISEMENT
Ketika manusia melakukan keburukan, pada kondisi ini ia hanya sedang tidak harmonis dengan Tuhannya. Bahkan Fir’aun yang dianggap musuh Allah dan orang paling jahat sekalipun, Allah masih menghendaki kebaikan padanya.
ilustrasi berdoa. Foto: Billion Photos/Shutterstock
Nabi Musa diperintahkan untuk mengajak Fir’aun kembali ke jalan fitrah. Fir’aun tidak langsung dicabut nyawanya ketika ia berbuat buruk. Namun Allah masih menunggunya kembali. Bayangkan, begitu cintanya Allah kepada ciptaan-Nya.
Mengapa Tuhan melakukan hal demikian, karena manusia adalah bagian dari ke-Maha-an Tuhan. Menurut Al Ghazali manusia adalah bayangan Tuhan di muka bumi. Secara fitrah, manusia tidak bisa dipisahkan dari Allah, karena Allah adalah sebab (musabbibul asbab) dan manusia adalah akibat. Manusia ada karena Tuhan ada.
Pada hakikatnya manusia memiliki nilai-nilai ilahiyyah, namun mengalami ekstrasi kepada kondisi materialistik (basyr). Sehingga terdapat tantangan berupa hawa nafsu yang merupakan ciri khas materialistik. Sedangkan malaikat tidak memiliki hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu ketika manusia mampu mengendalikan hawa nafsu, maka nilai-nilai ilahiyyah-nya akan mencuat. Sebab esensi manusia adalah kebaikan. Pada saat itu malaikat dan jin diperintahkan untuk bersujud kepada Nabi Adam sebagai bentuk kepatuhan dan afirmasi bahwa manusia merupakan kesempuraan makhluk Allah.
Bagaimana manusia dapat mengenal Tuhan? Kenali diri sendiri, kenali ciptaan-Nya. Rules-nya adalah Allah Maha Baik. Allah tidak mungkin menciptakan sesuatu yang menjadi antonim dari ke-Maha-anNya, dan manusia adalah ciptaan Allah. Jadi pada dasarnya, manusia itu baik.
Saat manusia memahami korelasi antara Tuhan, dunia, dan manusia. Ketika maksiat terpampang di depan matanya, ia berkontemplasi sejenak bahwa Tuhan masih mengizinkan manusia itu bernapas, berarti Tuhan masih menghendaki kebaikan padanya.
Menjadi cahaya di tengah gelap (Sumber: dokumentasi pribadi)
Secara tersirat tanggung jawab etika dan moral menjadi kewajiban manusia untuk melakukan hal yang serupa dengan Nabi Musa, sekurang-kurangnya melalui empati. Apa unsur terkecil dari empati? Yaitu doa.
ADVERTISEMENT
Ketika manusia semakin mengenal Tuhan. Maka akan semakin jelas disparitas kebaikan dan keburukan dalam paradigmanya. Uniknya, semakin mengenal Tuhan, semakin mampu manusia melihat titik temu antara kebaikan dan keburukan. Sehingga ia mampu bersikap bijaksana dan membagikan energi positif kepada manusia lain.
Manusia yang berada pada titik koordinat negatif, butuh manusia lain untuk menariknya ke titik koordinat positif. Terkadang manusia positif perlu memakai jubah negatif untuk berkamuflase. Salah satu cara mempositifkan negatif adalah dengan mengalikan sesama negatif. Sederhananya positivisasi di tengah kenegatifan.
Mengapa demikian, alasan terbaiknya adalah Tuhan Maha Baik, maka ciptaan-Nya juga baik. Dunia berikut seisinya merupakan bayangan Tuhan. Ketika kamu mengenal dunia maka kamu mengenal Tuhan.
QS. Al Baqarah : 115 (Sumber : dokumentasi pribadi)