Narasi Muhammadiyah dalam Film Sang Pencerah

Mukhlas Setiyawan
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Konten dari Pengguna
1 Januari 2021 19:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mukhlas Setiyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mukhlas Setiyawan, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Sumber : Kompasiana
Narasi merupakan unsur penting dalam film. Setiap cerita apapun bentuknya dan seberapapun pendeknya pasti mengandung unsur narasi. Bahwa tanpa narasi, sebuah cerita dalam film tidak akan pernah ada. Ketika seorang sutradara mengurutkan peristiwa dalam narasi film tentunya bukan sesuatu yang begitu saja, melainkan berupa struktur alur yang terencana. Urutannya mengandung suatu logika tertentu yang berkaitan dengan makna cerita film. Dengan demikian narasi menjadi elemen penting yang membantu pemahaman keseluruhan cerita sebuah film.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak hal, film dapat dikatakan sebagai narasi kehidupan. Apa yang ada dalam kehidupan digambarkan secara berurutan dalam film. Sebagai sebuah seni menata berbagai peristiwa ke dalam suatu alur yang mampu merepresentasikan realitas. Namun karena film merupakan gubahan sutradara, maka urutan - urutan peristiwia itu tentunya sudah dibubuhi pesan atau niatan tertentu sutradara.
Sang Pencerah adalah film hasil karya sutradara Hanung Bramantyo. Hal ini berarti sebagai sebuah cerita, film ini tentunya memiliki pesan atau niatan tertentu sutradara. Dikarenakan film merupakan suatu media narasi visual, maka tentunya pesan dan makna tersebut dapat ditemukan melalui urutan peristiwa visualnya.
Film Sang Pencerah mengisahkan tokoh K.H Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Islam Muhammadiyah di Indonesia. Kisah ini dilatar belakangi kondisi masyarakat Yogyakarta yang miskin, sengsara, dan kacau akibat penjajahan Belanda dan penguasa lokal yang tamak. Kesengsaraan hidup yang luar biasa menyebabkan mereka terjebak dalam praktik - praktik takhayul, mistik, dan perilaku lain yang tidak rasional. Mereka pun mempraktikkan agama dengan cara - cara di luar keagamaan itu sendiri. Dalam situasi itulah Ahmad Dahlan, yang nama kecilnya Muhammad Darwisy, dilahirkan. Dari sini, narasi film kemudian bergerak menyoroti perkembangan perilaku Dahlan yang menyimpang dari kebiasaan.
ADVERTISEMENT
Pada usia 15 tahun, Darwisy meminta izin orang tuanya diberangkatkan ke Mekkah untuk mendalami agama Islam. Di sana ia mendapat nama sebagai Ahmad Dahlan. Sekembalinya dari Mekkah, cara pandangnya terhadap agama menjadi sangat berbeda dengan masyarakat lingkungannya yang begitu fanatik dengan ajaran Imam Masjid Besar Kauman : Kyai Cholil Kama ludiningrat. Akibatnya, terjadi ketegangan dan berbagai konflik. Dahlan, misalnya, berkhotbah mengkritik praktik - praktik takhayul, mistik, klenik, ritual sesajian, sampai dengan kebiasaan tahlilan. Semua ini ia anggap tidak rasional, bahkan musyrik. Dahlan juga mengusulkan pergeseran arah kiblat berdasarkan kompas, mengajarkan agama dengan lantunan biola, berpakaian jas/blankon, serta mengubah ruang belajar lesehan pesantren menjadi ruang kelas dengan meja dan kursi. Cara pandang Dahlan dan perilakunya sedemikian segera dianggap menyimpang.
ADVERTISEMENT
Dahlan dianggap sebagai kyai kafir. Kerusuhan demi kerusuhan pun terjadi, hingga Langgar Kidoel tempat Dahlan shalat dan mengajarkan agama kepada santri - santri muda pun dihancurkan massa sekampung yang berpihak pada kebiasaan lama. Namun, Dahlan tidak mundur. Langgar Kidoel dibangun kembali, dan ia terus saja berjuang. Lambat laun, sebagian masyarakat mulai mendukung Ahmad Dahlan. Dahlan kemudian bergabung dengan Budi Utomo, dan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah memiliki banyak pengikutnya. Di samping menyiarkan Islam, organisasi ini juga menangani bidang pendidikan, kesehatan, dan bidang - bidang sosial lain, dalam rangka membawa umat ke sebuah situasi pencerahan.