Ekspedisi Pinisi Bakti Nusa Mengenalkan Kembali Kejayaan Kemaritiman

Konten Media Partner
4 April 2019 8:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kapal pelayaran yang digunakan saat melakukan Ekspedisi. Dok Ugi Sugiarto
zoom-in-whitePerbesar
Kapal pelayaran yang digunakan saat melakukan Ekspedisi. Dok Ugi Sugiarto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lentera Maluku. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Indonesia memiliki sejarah panjang dan besar dalam kemaritiman. Temuan naskah-naskah dari beberapa penulis sejarah, menyebutkan bahwa beberapa kerajaan di Indonesia masuk berlabuh bahkan memonopoli pelayaran ke beberapa bangsa, seperti Australia, China, India, Arab sampai ke Afrika, tak terkecuali kerajaan Sriwijaya yang masyur dengan banyak armadanya, tercatat sebagai penguasa Selat Malaka dan Selat Sunda.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya Robert Dick-Reid, 2008, mengatakan tentang catatan sejarah China bahwa Sriwijaya merupakan rantai pemerintahan yang terorganisasi yang memberi bangsa Indonesia dominasi yang absolut atas wilayah selat Malaka dan selat Sunda selama lebih dari ribuan tahun. Menguasai banyak titik pelayaran, dalam hal ini, perdagangan di Pahang, Trengganu, Langkasuka, Kelantan, Kuala Berang, Ligor, Teluk Brandon, dan Sunda. Kekuasaan yang tidak pernah ada sebelumnya itu berkat kondisi geografis yang memungkinkan kerajaan-kerajaan yang berbasis di Wilayah Sumatera Selatan untuk mengontrol semua pelayaran dan perdagangan dari China dan kepulaun Indonesia menuju India, Srilangka dan Afrika serta Madagaskar.
Kerajaan Majapahit pada masa kejayaannya, tercatat sebagai kerajaan yang bercorak kemaritiman yang Berjaya, bukan hanya dalam bidang perekonomian tetapi juga dalam hal pertahanan laut, melalui armadanya yang kuat dan mempunyai kapal lebih dari 2800 kapal, termasuk terbanyak di dunia pada masa itu. (Nugroho, 2011).
ADVERTISEMENT
Begitu pun studi sejarah mengemukakan kajian arkeologinya bahwa banyak ditemukan tapak arkeolog kebaharian jaman pra sejarah di Indonesia, yakni arkeologi perahu kuno dan arkeologi bawah air yang ditemukan di Papua, Sulawesi dan Kalimantan. Sehingga bangsa ini tidak akan terlepas dari kemaritiman.
Bagaimana dengan Kapal Pinisi dalam kemaritiman?
Kapal Pinisi sendiri mengambil bagian penting dari sejarah kemaritiman Indonesia dimulai dari abad ke-15. Tercatat di beberapa tulisan penjelajah-penjelajah Eropa, pinisi banyak melakukan pelayaran dan perdagangan, seperti pelayarannya yang sampai ke China dan Australia. Di Australia, kapal ini memiliki sejarah menawan dengan suku Aborigin, dimana pelaut-pelaut dari Sulawesi yang menggunakan pinisi mencari teripang sampai ke Australia dan melakukan hubungan transaksi yang baik dengan suku asli Australia itu. Sedangkan di Banda Neira, Kapal Pinisi terkenal sebagai kapal yang dipakai para bajak laut untuk menghadang transaksi rempah cengkeh pala VOC pada masa itu.
ADVERTISEMENT
Tahun 1986 kapal pinisi menjadi kapal kebanggaan nusantara setelah ekspedisi pelayaran yang dilakukan kapten Gita Ardjakusuma ke Vancouver, Canada melewati Samudra Pasifik. Sebuah ekspedisi pelayaran yang bisa dikatakan 'mission imposible' mengingat setelah abad ke-18, setelah ditemukannya mesin uap, pelayaran menggunakan kapal layar sejauh itu tidak pernah dilakukan lagi. Setelahnya, kapal pinisi menjadi buah bibir bahkan gambarnya menghiasi uang kertas seratus rupiah. Dunia pun heran kala itu, "apakah mungkin?"
Pinisi, kapal dengan dua tiang dan tujuh layar, dibuat hanya oleh orang-orang Bulukumba Sulawesi Selatan turun temurun lintas generasi. Pada 7 Desember 2017, Pinisi: Seni Pembuatan Perahu di Sulawesi Selatan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia oleh UNESCO (United Nations, Educational, Scientific, and Cultural Organization), badan PBB yang menangani kerja sama dunia bidang pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Namun semakin hari masyarakat semakin melupakan sejarah bangsanya. Materi pelajaran sejarah di sekolah hanya banyak diingat oleh mereka pelajar sebatas nama, lokasi dan tahun peristiwanyanya saja. Padahal seharusnya banyak mengambil pelajaran dari nilai-niali dan makna masa lalu yang mempunyai dampak besar pada sosial, ekonomi, politik, dan budaya di masyarakat. Bahkan masyarakat pesisirnya sendiri banyak tidak mengemban makna sejarah nenek moyangnya sendiri yang kuat dan mempunyai sejarah dan peradaban leluhur yang hebat.
Melihat gap ini, Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) bersama dengan Yayasan Makassar Skallia melakukan ekspedisi pelayaran dengan kapal pinisi dengan nama Ekspedisi Pinisi Bakti Nusa. Ekspedisi ini berlayar dari Makassar ke arah timur dan barat dengan menyinggahi 74 titik labuh dan direncanakan titik ke-74 finish di Jakarta 17 Agustus 2019 bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-74.
ADVERTISEMENT
Abdi Suhufan selaku kordinator ekspedisi ini mengatakan bahwa misi dari pelayaran ini adalah merajut nusantara dengan kapal pinisi.
"Tentu banyak, misinya, mengenalkan kembali kejayaan pinisi hingga masa kini, merangkum temuan-temuan di pulau-pulau kecil atau terluar, dan sebagainya," Paparnya kepada tim EPBN saat berkunjung ke Saumlaki, Jum'at (29/3).
Ekspedisi Pinisi Bakti Nusa sendiri tengah sampai di rute timur dan telah sampai di titik ke-34, yakni Saumlaki Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Selanjutnya akan melanjutkan rutenya ke arah Maluku Barat Daya dan Nusa Tenggara sebelum melanjutkan ke rute barat dari Kalimantan-Sumatera-Jawa yang dijadwalkan mulai melakukan rute barat pada Mei 2019.
Kegiatan joy sailing, kelas inspirasi dan edukasi kebaharian untuk anak-anak. Dok Ugi Sugiarto
Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam pelayarannya di tiap titik singgahnya adalah melakukan edukasi kebaharian dan kelas inspirasi di atas kapal, pemutaran film kemaritiman, melakukan riset darat yakni menggali informasi dan mendokumentasikan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan potensi daerah titik singgah, melakukan riset laut dengan melakukan monitoring terumbu karang, melakukan aksi lingkungan dan bantuan sosial.
ADVERTISEMENT
Diakui Abdi Latief salah seorang relawan dokumentator dalam ekspedisi ini, mengungkapkan bahwa selain ekspedisi ini memberikan edukasi kebaharian kepada anak sekolah atau masyarakat, banyak juga yang berhasil digali terkait kondisi setiap titik singgah, terutama kondisi pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
"Banyak budaya, adat istiadatnya yang berhasil kami dokumentasikan. Banyak potensi-potensi daerah. Namun permasalahannya hampir sama untuk pulau-pulau yang terletak jauh dari ibukota kabupaten, yaitu kondisi kurang baik dalam hal pendidikan, kesehatan, dan telekomunikasi," ungkap Abdi.
Penulis: Ugi Sugiarto ( Pendiri komunitas Melihat ke Timur) || Editor : Redaksi