Halo Sahabat Javanologi! Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam kepercayaan dan sastra Jawa, Wayang kulit diciptakan oleh Sunan Kali Jaga yang merupakan keturunan Bangsawan Ponorogo Arya Wiraraja yang juga sebagai Wali Songo. Yang dimana Sunan Kalijaga melihat masyarakat Jawa yang menggemari pertunjukan Wayang Beber, dalam Islam melukis diatas kertas dianggap Haram, Maka Sunan Kalijaga memodifikasi bahan karakter Wayang yang semula dibuat dari Daluang (kertas Ponoragan) diganti menjadi Kulit Kambing, selain itu digunakan sebagai Syiar agama Islam jalur Budaya.

   Wayang berasal dari kata “Ma Hyang” yang artinya menuju kepada roh spiritualdewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna “bayangan”, hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.

 Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji, maupun kisah Rohani dari agama Islam, Kristen, Hindu, Budha.

   Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Wayang kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.

   Wayang Madya adalah salah satu jenis seni pertunjukkan wayang yang telah lama tenggelam. Sekalipun tidak pernah populer di Surakarta, seperti dikemukakan Pigeaud (Pigeaud, 1967), tetapi pernah dipentaskan di Istana Mangkunegaran di abad 19 dengan mengambil lakon Jayabaya (Claire Holt, 1967). Bentuk Wayang Madya adalah paduan Wayang kulit (Purwa) dengan Wayang Gedhog. Bagian atas sampai tengah mengambil bentuk wayang Purwa, sedangkan bagian tengah ke bawah mengambil bentuk Wayang Gedhog (Sayid, 1981). Sumber bahan Wayang Madya pun menjadi jembatan yang menghubungkan bahan kedua tradisi wayang tersebut. Jika Wayang Purwa mengambil cerita dewa-dewa sampai keluarga Pandawa dan Wayang Gedhog mengambil cerita Panji dari Jenggala dengan putri Kediri (Uhlenbeck, 1964), maka Wayang Madya mengambil cerita para cucu Pandawa sampai menjelang PanJI (Brandon, 1970). Dapat pula cerita sejak peristiwa wafatnya Prabu Yudayana sampai masa Prabu Jayalengkara naik tahta tahun 765 C -1052 C (863 M 1130 M) (Kats, 1924).

   Wayang madya adalah Wayang kulit yang diciptakan oleh Mangkunegara IV sebagai penyambung cerita Wayang Purwa dengan Wayang Gedog. Cerita Wayang madya merupakan peralihan cerita Purwa ke cerita Panji. Salah satu cerita Wayang Madya yang terkenal adalah cerita Anglingdarma. Wayang madya tidak sempat berkembang di luar lingkungan Pura Mangkunegaran.

   Cerita Wayang madya menceritakan sejak wafatnya Prabu Yudayana sampai Prabu Jayalengkara naik tahta. Cerita Wayang Madya ditulis oleh R.Ngabehi Tandakusuma dengan judul Pakem Ringgit Madya yang terdiri dari lima jilid, dan tiap jilid berisi 20 cerita atau lakon.

Penulis:
Rico Surya P.S

https://www.neliti.com/publications/12167/teks-teks-sumber-wayang-madya-relasi-konstruksi-dan-persamaan-beberapa-tokohnya

https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_madya

https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_kulit