Mengintip Proses Pembuatan Keramik di Sentra Industri Keramik Klampok Banjarnegara

Industri keramik di Klampok sejatinya sudah berumur tua. Industri rakyat itu konon pertama kali dirintis oleh Kandar

Penulis: khoirul muzaki | Editor: galih permadi
TRIBUN JATENG/KHOIRUL MUZAKI
pekerja perusahaan Mustika membuat keramik tempat produksi di Purwareja Klampok Banjarnegara 

Laporan Wartawan Tribun Jateng Khoirul Muzakki

TRIBUNJATENG.COM, BANJARNEGARA- Industri keramik di Klampok sejatinya sudah berumur tua.

Industri rakyat itu konon pertama kali dirintis oleh Kandar, yang mendirikan usaha bernama "Maendalai", sekitar tahun tahun 1957.

Dengan bekal keterampilan yang dimiliki, sejumlah pekerja di perusahaan itu memilih keluar dan membuka usaha mandiri.

Begitupun Suparyo yang usahanya kini diteruskan oleh anak-anaknya, termasuk Tri Mulyantoro, pemilik usaha keramik Mustika.

Keramik atau tembikar adalah hasil seni dan teknologi yang telah berkembang sejak zaman sebelum masehi.

Dahulu, keramik dianggap benda yang memiliki nilai tinggi. Kerajinan itu pun dikenal di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.

Sekarang, seiring perkembangan seni digital (digital art) hingga kerasnya persaingan global, karya dari tanah liat itu nyatanya masih diminati.

Keberadaan sentra industri keramik di kecamatan ujung barat Kabupaten Banjarnegara, Purwareja Klampok membuktikan produk itu masih kuat bertahan.

Aneka keramik beragam bentuk dan motif yang dipajang di showroom-showroom sisi jalan nasional Klampok memanjakan mata para pengguna jalan.

Ada aneka guci setinggi lebih dari 1 meter, pot bunga, gerabah, hingga beragam pernak pernik cantik menghiasi etalase.

Tetapi, layaknya industri lain yang melintas zaman, pabrik keramik Klampok harus beradaptasi dengan pasar sebagai kunci bertahan.

Kini, sentra industri ini lebih banyak memproduksi gerabah atau alat dapur, khususnya perlengkapan alat minum (poci).

Pasar poduk jenis ini pun, lebih banyak mengandalkan pesanan dari perusahaan teh nasional.

Satu set poci ukuran kecil dijual sekitar Rp 35 ribu. Selain poci yang menjadi produk utama, perusahaan ini juga masih memproduksi dan menjual aneka pot, hiasan, atau pernak pernik mulai harga Rp 5 ribu sampai Rp 2 juta.

"Ya keramik lain seperti pot bunga, kendi masih produksi, cuma yang lagi ramai sekarang poci,"kata Suyadi, pekerja di pabrik keramik Mustika, Purwareja Klampok

Dari segi pewarnaan, ada dua jenis keramik yang diproduksi perusahaan ini , yakni terakota dan glasir.

Terakota bewarna merah dan kuning gading umumnya dipakai untuk produk gerabah semisal poci dan kendi.

Adapun glasir adalah lapisan keras yang dipakai untuk mewarnai kerami hingga menimbulkan kesan mengkilap.

Keramik dengan lapisan glasir ini, menurut Suyadi, umumnya berupa pos bunga, guci, atau hiasan lain yang tidak digunakan untuk alat makan atau minum karena mengandung zat kimia.

"Sekarang banyak yang pakai cat. Kalau kami masih pakai glasir, meski harganya lebih mahal. Tidak seperti cat, glasir tahan terhadap goresan," katanya

Pembuatan keramik ternyata cukup rumit. Butuh keterampilan khusus bagi para pekerja yang mengerjakannya.

Tanah liat jadi bahan baku utama untuk menghasilkan karya.

Tanah yang diambil dari alam tak bisa langsung digunakan. Tanah itu harus lebih dulu direndam sehari semalam.

Pengolahan bahan ini berlanjut pada tahap penyaringan dan pengadukan untuk mendapatkan material yang seragam. Tanah lalu dikeringkan untuk mengurangi kadar air yang tersimpan.

Tanah pun siap dibentuk menjadi kerajinan, baik melalui teknik cetak maupun putar menggunakan meja putar. Teknik putar yang menjadi kekhasan tersendiri dalam pembuatan keramik ini masih dipertahankan.

Menurut Suyadi, teknik putar tetap dibutuhkan untuk membentuk kerajinan berbentuk silinder, semisal vas atau guci yang sulit dikerjakan dengan teknik cetak.

Setelah dibentuk, kerajinan setengah jadi itu lantas diukir sesuai selera atau pesanan.

Para pekerja kemudian mengeringkan keramik untuk menghilangkan kadar air hingga menjemurnya di bawah terik matahari.

Karena masih mengandalkan sinar matahari, musim penghujan jadi kendala tersendiri untuk tahap penjemuran.

Proses pengeringan keramik bisa terhambat atau lebih lama dari biasanya saat sinar matahari normal.

"Panas matahari jadi kendala kalau hujan,"katanya

Kering usai dijemur tak lantas membuat keramik itu siap pakai. Produk itu masih harus melalui proses pembakaran dengan suhu tinggi.

Pembakaran jadi proses inti pembuatan keramik untuk memadatkan dan mengeraskan produk itu sehingga menjadi kuat. Ribuan tembikar ditata menumpuk di atas tungku raksasa berbahan bakar elpiji.

Di bawah suhu 930 hingga 1000 derajat celcius, pemanasan tembikar ini berlangsung cukup lama, antara 12 jam hingga 15 jam untuk mendapatkan hasil optimal.

"Kalau kurang dari itu, kurang matang, dan kurang mengkilap untuk glasir," katanya.(*)

Sumber: Tribun Jateng
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    AA
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2024 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved