Hikmah

Kisah Nabi Sulaiman dan Semut yang Berdoa Minta Hujan

Ahad, 25 Agustus 2019 | 23:00 WIB

Kisah Nabi Sulaiman dan Semut yang Berdoa Minta Hujan

Semut pun bisa menyindir manusia, apakah mereka benar-benar sanggup menjadi khalifah di bumi. (Ilustrasi: NU Online/Mahbib)

Dalam kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Imam Ibnu Katsir mengutip sebuah riwayat dari Imam Ibnu Abu Hatim. Berikut riwayatnya:
 
وقد قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي، حدثنا محمد بن بشار، حدثنا يزيد بن هارون، أنبأنا مسعر، عن زيد العمي، عن أبي الصديق الناجي قال: خرج سليمان عليه السلام يستسقي، فإذا هو بنملة مستلقية على ظهرها، رافعة قوائمها إلى السماء، وهي تقول: اللهم إنا خلق من خلقك، ولا غنى بنا عن سقياك، وإلا تسقنا تهلكنا. فقال سليمان عليه السلام: ارجعوا فقد سقيتم بدعوة غيركم
 
Ibnu Abu Hatim berkata, ayahku bercerita kepadaku, Muhammad bin Basysyar bercerita, Yazid bin Harun bercerita, Mis’ar bercerita, dari Zaid al-‘Ama, dari Abu al-Shiddiq al-Naji, ia berkata:
 
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam keluar (dari istananya) untuk meminta hujan. Tiba-tiba ia menjumpai seekor semut yang berbaring dengan punggungnya (terlentang), (dan) semua kakinya diangkat menghadap langit. Semut itu berdoa:
 
“Ya Allah, sesungguhnya kami adalah salah satu dari makhluk-Mu. Kami sangat memerlukan guyuran air (hujan)-Mu. Jika Kau tidak mengguyuri kami (dengan air hujan-Mu), Kau akan membuat kami binasa.” 
 
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata: “Pulanglah, sudah ada (makhluk lain) selain kalian yang berdoa meminta hujan.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyadh: Dar Thayyibah, 1999, juz 6, h. 184)
 
****
 
Kisah di atas cukup menarik, karena menjelaskan banyak hal, terutama soal pengaruh tasbih dan doa makhluk Allah lainnya kepada alam semesta. Untuk lebih mudah memahaminya, kita perlu menengok riwayat lain yang membicarakan kisah di atas.
 
Dalam Tarîkh Madînah Dimasyq terdapat beragam riwayat dengan redaksi yang berbeda-beda. Salah satu contohnya adalah ucapan Nabi Sulaiman di akhir riwayat. Di jalur periwayatan Ghalib bin Abdullah, dari al-Suddi, Nabi Sulaiman mengucapkan:
 
إرجعوا فقد استُجِيب لكم بدعاء غيركم
 
“Kembalilah, sungguh telah dikabulkan untuk kalian doa (meminta hujan yang dipanjatkan) oleh selain kalian (semut).” (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, juz 22, h. 288)
 
Di riwayat lain, jalur periwayatan Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari al-Zuhri, Nabi Sulaiman mengatakan pada para sahabatnya (li ashâbihi):
 
إرجعوا فقد سُقيتم إن هذه النملة استسقت فاستجيب لها
 
“Pulanglah, sungguh telah ada yang memintakan hujan untuk kalian. Sesungguhnya semut ini telah berdoa meminta hujan, kemudian doanya dikabulkan.” (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, 1995, juz 22, h. 288)
 
Perkataan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam menunjukkan bahwa peran makhluk Allah non-manusia sangat besar untuk alam semesta. Selama ini kita mengabaikan peran mereka, baik dalam keseimbangan alam maupun keseimbangan lainnya. Keseimbangan alam yang dimaksud di sini adalah, misalnya populasi cicak, ikan, atau kadal berkurang secara drastis, maka populasi nyamuk akan semakin besar, karena keseimbangan telah berubah dengan semakin berkurangnya binatang pemakan jentik nyamuk. Ini sekedar contoh.
 
Dengan membaca perkataan Nabi Sulaiman, kita jadi tahu peran lain mereka yang tidak kalah dengan manusia. Bisa jadi, merujuk kisah di atas, hujan yang turun di lingkungan kita hasil dari doa mereka, ibadah mereka dan tasbih mereka. Dalam salah satu riwayat diceritakan, ketika meminta diturunkan hujan, semut itu berdoa (riwayat Ka’b al-Akhbar):
 
اللهم إنَّا خلق من خلقك ولا غني لنا عن رزقك فأنزل علينا غيثك ولا تؤاخذنا بذنوب عبادك
 
Ya Allah, sesungguhnya kami salah satu dari makhluk-Mu. Kami sangat membutuhkan rezeki-Mu. Mohon turunkanlah kepada kami hujan-Mu, dan jangan hukum kami dengan dosa-dosa hamba-hamba-Mu.” (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, 1995, juz 22, h. 287)
 
Di riwayat lain, semut itu berdoa (riwayat Abu al-Shiddiq al-Naji):
 
اللهم إنا خلق من خلقك لا غني بنا عن رزقك فلا تهلكنا بذنوب بني آدم
 
Ya Allah, sesungguhnya kami salah satu dari makhluk-Mu yang sangat memerlukan rezeki-Mu. Maka, jangan Kau binasakan kami sebab dosa-dosa anak cucu Adam (manusia).” (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, 1995, juz 22, h. 287)
 
Dalam doanya, semut tersebut memilih diksi yang menarik, yaitu, “jangan hukum kami dengan dosa-dosa hamba-Mu” dan, “jangan binasakan kami sebab dosa-dosa anak cucu Adam.” Ini artinya, bisa jadi semut atau binatang lain adalah penolong kita dari kesusahan. Karena kita sebagai manusia membawa beban dosa, yang mungkin saja dosa tersebut menjadi penghalang terkabulnya doa kita. Atas dasar ini, kita harus memperlakukan makhluk hidup non-manusia dengan baik. Andaipun mereka tidak memiliki empati terhadap manusia, paling tidak dengan kebutuhan mereka sebagai makhluk hidup, mereka akan memohon kepada Allah, dan kita manusia turut mendapatkan berkahnya.
 
Di sisi lain, diksi doa tersebut seharusnya membangunkan kita dari kelalaian. Kita harus malu bahwa di taraf tertentu, semut atau binatang lain menganggap kesengsaraan mereka disebabkan oleh manusia. Karena sebagai makhluk terbaik, manusia lebih sering berdosa daripada beramal; lebih sering menuntut daripada memohon ampun; lebih sering meminta daripada memberi, dan seterusnya. Melihat manusia yang sedemikian kacau, semut-semut itu enggan menanggung beban hukuman yang mereka tidak terlibat di dalamnya, sehingga mereka memilih diksi doa yang membawa-bawa dosa manusia.
 
Karena itu, sebagai manusia, kita harus buktikan pada semut-semut itu bahwa kita adalah khalifah Allah di muka bumi, pemegang amanat Tuhan untuk melestarikan bumi dan menjaganya dari kerusakan. Buktikan bahwa kita bisa menghindari banyak dosa, dari mulai dosa individu, dosa sosial, sampai dosa ekologis. Karena merusak alam adalah dosa, dan membiarkan kerusakannya adalah dosa, meski bukan kita yang melakukannya. Allah berfirman (QS. Al-A’raf: 56) 
 
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
 
Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
 
Pertanyaannya, sudahkah kita berusaha? Wallahu a’lam bish shawwab..
 
 
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen