Anda di halaman 1dari 18

Yudistira

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari


Yudistira

Prabu Yudistira, sebagai tokoh wayang Jawa


Tokoh dalam mitologi Hindu
Nama: Yudistira
Bharata; Ajatasatru;
Dharmaraja; Samiaji;
Puntadewa;
Nama lain:
Dharmawangsa;
Dharmaputra; Dharmasuta;
Dwijakangka, dan lain-lain
Aksara
युधिष्ठिर
Dewanagari:
Ejaan Sanskerta: Yudhiṣṭhira
Asal: Hastinapura, Kerajaan Kuru
Senjata: Tombak
Pasangan: Dropadi, Dewika

Yudistira (Sanskerta: युधिष्ठिर; Yudhiṣṭhira) alias Dharmawangsa, adalah salah satu


tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan seorang raja yang
memerintah kerajaan Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Ia merupakan
yang tertua di antara lima Pandawa, atau para putera Pandu.

Dalam tradisi pewayangan, Yudistira diberi gelar "Prabu" dan memiliki julukan
Puntadewa, sedangkan kerajaannya disebut dengan nama Kerajaan Amarta.

Daftar isi
[sembunyikan]
 1 Arti nama
 2 Sifat dan kesaktian
 3 Kelahiran
o 3.1 Versi pewayangan Jawa
 4 Masa kecil dan pendidikan
 5 Konflik memperebutkan kerajaan
 6 Pernikahan dengan Dropadi
 7 Raja Indraprastha
 8 Pemerintahan Yudistira versi pewayangan Jawa
o 8.1 Pembangunan kerajaan Amarta
o 8.2 Anugerah Ketentraman
 9 Upacara Rajasuya
 10 Kehilangan kerajaan
 11 Kehidupan dalam Pembuangan
o 11.1 Peristiwa telaga beracun
 12 Yudistira dalam masa penyamaran
 13 Yudistira saat Bharatayuddha
o 13.1 Awal pertempuran
o 13.2 Pertempuran melawan Drona
o 13.3 Pertempuran melawan Salya
o 13.4 Tantangan bagi Duryodana
 14 Maharaja dunia
 15 Pensiun lalu naik ke sorga

 16 Pranala luar

[sunting] Arti nama


Nama Yudistira dalam bahasa Sanskerta bermakna "teguh atau kokoh dalam
peperangan". Ia juga dikenal dengan sebutan Dharmaraja, yang bermakna "raja
Dharma", karena ia selalu berusaha menegakkan dharma sepanjang hidupnya.

Beberapa julukan lain yang dimiliki Yudhisthira adalah:

 Ajataśatru, "yang tidak memiliki musuh".


 Bhārata, "keturunan Maharaja Bharata".
 Dharmawangsa atau Dharmaputra, "keturunan Dewa Dharma".
 Kurumukhya, "pemuka bangsa Kuru".
 Kurunandana, "kesayangan Dinasti Kuru".
 Kurupati, "raja Dinasti Kuru".
 Pandawa, "putera Pandu".
 Partha, "putera Prita atau Kunti".

Beberapa di antara nama-nama di atas juga dipakai oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru
lainnya, misalnya Arjuna, Bisma, dan Duryodana. Selain nama-nama di atas, dalam versi
pewayangan Jawa masih terdapat beberapa nama atau julukan yang lain lagi untuk
Yudistira, misalnya:

 Puntadewa, "derajat keluhurannya setara para dewa".


 Yudistira, "pandai memerangi nafsu pribadi".
 Gunatalikrama, "pandai bertutur bahasa".
 Samiaji, "menghormati orang lain bagai diri sendiri".

[sunting] Sifat dan kesaktian


Para Raja

Hastinapura

Mahabharata

• Pratisrawas
• Pratipa
• Santanu
• Citrānggada
• Wicitrawirya
• Pandu
• Dretarastra
• Yudistira
• Parikesit
• Janamejaya
• Satanika
• Aswamedadata

Sifat-sifat Yudistira tercermin dalam nama-nama julukannya, sebagaimana telah


disebutkan di atas. Sifatnya yang paling menonjol adalah adil, sabar, jujur, taat terhadap
ajaran agama, penuh percaya diri, dan berani berspekulasi. Kesaktian Yudistira dalam
Mahabharata terutama dalam hal memainkan senjata tombak. Sementara itu, versi
pewayangan Jawa lebih menekankan pada kesaktian batin, misalnya ia pernah dikisahkan
menjinakkan hewan-hewan buas di hutan Wanamarta dengan hanya meraba kepala
mereka.

Yudistira dalam pewayangan beberapa pusaka, antara lain Jamus Kalimasada,


Tunggulnaga, dan Robyong Mustikawarih. Kalimasada berupa kitab, sedangkan
Tunggulnaga berupa payung. Keduanya menjadi pusaka utama kerajaan Amarta.
Sementara itu, Robyong Mustikawarih berwujud kalung yang terdapat di dalam kulit
Yudistira. Pusaka ini adalah pemberian Gandamana, yaitu patih kerajaan Hastina pada
zaman pemerintahan Pandu. Apabila kesabaran Yudistira sampai pada batasnya, ia pun
meraba kalung tersebut dan seketika itu pula ia pun berubah menjadi raksasa besar
berkulit putih bersih.

[sunting] Kelahiran
Yudistira adalah putera tertua pasangan Pandu dan Kunti. Kitab Mahabharata bagian
pertama atau Adiparwa mengisahkan tentang kutukan yang dialami Pandu setelah
membunuh brahmana bernama Resi Kindama tanpa sengaja. Brahmana itu terkena panah
Pandu ketika ia dan istrinya sedang bersanggama dalam wujud sepasang rusa. Menjelang
ajalnya tiba, Resi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika
mengawini istrinya. Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan tahta Hastinapura
dan memulai hidup sebagai pertapa di hutan demi untuk mengurangi hawa nafsu. Kedua
istrinya, yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya.

Pada suatu hari, Pandu mengutarakan niatnya ingin memiliki anak. Kunti yang
menguasai mantra Adityahredaya segera mewujudkan keinginan suaminya itu. Mantra
tersebut adalah ilmu pemanggil dewa untuk mendapatkan putera. Dengan menggunakan
mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma dan mendapatkan anugerah
putera darinya tanpa melalui persetubuhan. Putera pertama itu diberi nama Yudistira.
Dengan demikian, Yudistira menjadi putera sulung Pandu, sebagai hasil pemberian
Dharma, yaitu dewa keadilan dan kebijaksanaan. Sifat Dharma itulah yang kemudian
diwarisi oleh Yudistira sepanjang hidupnya.
[sunting] Versi pewayangan Jawa

Sosok Yudistira yang ditampilkan saat dalam pementasan wayang Jawa.

Kisah dalam pewayangan Jawa agak berbeda. Menurut versi ini, Puntadewa merupakan
anak kandung Pandu yang lahir di istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma
hanya sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat
bantuan dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti. Dalam pewayangan
Jawa, nama Puntadewa lebih sering dipakai, sedangkan nama Yudistira baru digunakan
setelah ia dewasa dan menjadi raja. Versi ini melukiskan Puntadewa sebagai seorang
manusia berdarah putih, yang merupakan kiasan bahwa ia adalah sosok berhati suci dan
selalu menegakkan kebenaran.

[sunting] Masa kecil dan pendidikan


Yudistira dan keempat adiknya, yaitu Bima (Bimasena), Arjuna, Nakula, dan Sadewa
kembali ke Hastinapura setelah ayah mereka (Pandu) meninggal dunia. Adapun kelima
putera Pandu itu terkenal dengan sebutan para Pandawa, yang semua lahir melalui mantra
Adityahredaya. Kedatangan para Pandawa membuat sepupu mereka, yaitu para Korawa
yang dipimpin Duryodana merasa cemas. Putera-putera Dretarastra itu takut kalau
Pandawa sampai berkuasa di kerajaan Kuru. Dengan berbagai cara mereka berusaha
menyingkirkan kelima Pandawa, terutama Bima yang dianggap paling kuat. Di lain
pihak, Yudistira selalu berusaha untuk menyabarkan Bima supaya tidak membalas
perbuatan para Korawa.
Pandawa dan Korawa kemudian mempelajari ilmu agama, hukum, dan tata negara
kepada Resi Krepa. Dalam pendidikan tersebut, Yudistira tampil sebagai murid yang
paling pandai. Krepa sangat mendukung apabila tahta Hastinapura diserahkan kepada
Pandawa tertua itu. Setelah itu, Pandawa dan Korawa berguru ilmu perang kepada Resi
Drona. Dalam pendidikan kedua ini, Arjuna tampil sebagai murid yang paling pandai,
terutama dalam ilmu memanah. Sementara itu, Yudistira sendiri lebih terampil dalam
menggunakan senjata tombak.

[sunting] Konflik memperebutkan kerajaan


Selama Pandu hidup di hutan sampai akhirnya meninggal dunia, tahta Hastinapura untuk
sementara dipegang oleh kakaknya, yaitu Dretarastra, ayah para Korawa. Ketika
Yudistira menginjak usia dewasa, sudah tiba saatnya bagi Dretarastra untuk menyerahkan
tahta kepada Yudhisthira, selaku putera sulung Pandu. Sementara itu putera sulung
Dretarastra, yaitu Duryodana berusaha keras merebut tahta dan menyingkirkan Pandawa.
Dengan bantuan pamannya dari pihak ibu, yaitu Sangkuni, Duryodana pura-pura
menjamu kelima sepupunya itu dalam sebuah gedung di Waranawata, dimana gedung itu
terbuat dari bahan yang mudah terbakar.

Ketika malam tiba, para Korawa membakar gedung tempat para Pandawa dan Kunti, ibu
mereka, tidur. Namun, Yudistira sudah mempersiapkan diri karena rencana pembunuhan
itu telah terdengar oleh pamannya, yaitu Widura adik Pandu. Akibatnya, kelima Pandawa
dan Kunti berhasil lolos dari maut. Pandawa dan Kunti kemudian menjalani berbagai
pengalaman sulit.

[sunting] Pernikahan dengan Dropadi


Setelah lolos dari jebakan maut Korawa, para Pandawa dan Kunti pergi melintasi kota
Ekachakra, lalu tinggal sementara di kerajaan Panchala. Arjuna berhasil memenangkan
sayembara di kerajaan tersebut dan memperoleh seorang puteri cantik yang bernama
Dropadi. Tanpa sengaja Kunti memerintahkan agar Dropadi dibagi lima. Akibatnya,
Dropadi pun menjadi istri kelima Pandawa.

Dari perkawinan dengan Yudistira, Dropadi melahirkan Pratiwindya, dari Bima lahir
Sutasoma, dari Arjuna lahir Srutasena, dari Nakula lahir Satanika, dan dari Sadewa lahir
Srutakirti.

Versi Jawa menyebut Dropadi dengan nama "Drupadi". Menurut pewayangan Jawa,
setelah memenangkan sayembara, Arjuna menyerahkan putri itu kepada Puntadewa
selaku kakak tertua. Semula Puntadewa menolak, namun setelah didesak oleh ibu dan
keempat adiknya, akhirnya ia pun bersedia menikahi Drupadi. Dari perkawinan itu lahir
seorang putera bernama Pancawala. Jadi, menurut versi asli, tokoh Dropadi menikah
dengan kelima Pandawa, sedangkan menurut versi Jawa, ia hanya menikah dengan
Yudistira seorang.
[sunting] Raja Indraprastha
Setelah menikahi Dropadi, para Pandawa kembali ke Hastinapura dan memperoleh
sambutan luar biasa, kecuali dari pihak Duryodana. Persaingan antara Pandawa dan
Korawa atas tahta Hastinapura kembali terjadi. Para sesepuh akhirnya sepakat untuk
memberi Pandawa sebagian dari wilayah kerajaan tersebut.

Korawa yang licik mendapatkan istana Hastinapura, sedangkan Pandawa mendapatkan


hutan Kandawaprastha sebagai tempat untuk membangun istana baru. Meskipun daerah
tersebut sangat gersang dan angker, namun para Pandawa mau menerima wilayah
tersebut. Selain wilayahnya yang seluas hampir setengah wilayah kerajaan Kuru,
Kandawaprastha juga merupakan ibukota kerajaan Kuru yang dulu, sebelum Hastinapura.
Para Pandawa dibantu sepupu mereka, yaitu Kresna dan Baladewa, dan berhasil
membuka Kandawaprastha menjadi pemukiman baru.

Para Pandawa kemudian memperoleh bantuan dari Wiswakarma, yaitu ahli bangunan
dari kahyangan, dan juga Anggaraparna dari bangsa Gandharwa. Maka terciptalah sebuah
istana megah dan indah bernama Indraprastha, yang bermakna "kota Dewa Indra".

[sunting] Pemerintahan Yudistira versi pewayangan


Jawa

Yudistira (kiri) mencakupkan tangan sambil menghadap Narada (kanan) yang berdiri di
depan Kresna saat penyelenggaraan Upacara Rajasuya di Indraprastha.
[sunting] Pembangunan kerajaan Amarta

Dalam versi pewayangan Jawa, nama Indraprastha lebih terkenal dengan sebutan
kerajaan Amarta. Menurut versi ini, hutan yang dibuka para Pandawa bukan bernama
Kandawaprastha, melainkan bernama Wanamarta.

Versi Jawa mengisahkan, setelah sayembara Dropadi, para Pandawa tidak kembali ke
Hastinapura melainkan menuju kerajaan Wirata, tempat kerabat mereka yang bernama
Prabu Matsyapati berkuasa. Matsyapati yang bersimpati pada pengalaman Pandawa
menyarankan agar mereka membuka kawasan hutan tak bertuan bernama Wanamarta
menjadi sebuah kerajaan baru. Hutan Wanamarta dihuni oleh berbagai makhluk halus
yang dipimpin oleh lima bersaudara, bernama Yudistira, Danduncana, Suparta,
Sapujagad, dan Sapulebu. Pekerjaan Pandawa dalam membuka hutan tersebut mengalami
banyak rintangan. Akhirnya setelah melalui suatu percakapan, para makhluk halus
merelakan Wanamarta kepada para Pandawa.

Yudistira kemudian memindahkan istana Amarta dari alam jin ke alam nyata untuk
dihuni para Pandawa. Setelah itu, ia dan keempat adiknya menghilang. Salah satu versi
menyebut kelimanya masing-masing menyatu ke dalam diri lima Pandawa. Puntadewa
kemudian menjadi Raja Amarta setelah didesak dan dipaksa oleh keempat adiknya.
Untuk mengenang dan menghormati raja jin yang telah memberinya istana, Puntadewa
pun memakai gelar Prabu Yudistira.

[sunting] Anugerah Ketentraman

Setelah menjadi Raja Amarta, Puntadewa berusaha keras untuk memakmurkan


negaranya. Konon terdengar berita bahwa barang siapa yang bisa menikahi puteri
Kerajaan Slagahima yang bernama Dewi Kuntulwinanten, maka negeri tempat ia tinggal
akan menjadi makmur dan sejahtera. Puntadewa sendiri telah memutuskan untuk
memiliki seorang istri saja. Namun karena Dropadi mengizinkannya menikah lagi demi
kemakmuran negara, maka ia pun berangkat menuju Kerajaan Slagahima. Di istana
Slagahima telah berkumpul sekian banyak raja dan pangeran yang datang melamar
Kuntulwinanten. Namun sang puteri hanya sudi menikah dengan seseorang yang berhati
suci, dan ia menemukan kriteria itu dalam diri Puntadewa. Kemudian Kuntulwinanten
tiba-tiba musnah dan menyatu ke dalam diri Puntadewa. Sebenarnya Kuntulwinanten
bukan manusia asli, melainkan wujud penjelmaan anugerah dewata untuk seorang raja
adil yang hanya memikirkan kesejahteraan negaranya. Sedangkan anak raja Slagahima
yang asli bernama Tambakganggeng. Ia kemudian mengabdi kepada Puntadewa dan
diangkat sebagai patih di kerajaan Amarta.

[sunting] Upacara Rajasuya


Kitab Mahabharata bagian kedua atau Sabhaparwa mengisahkan niat Yudistira untuk
menyelenggarakan upacara Rajasuya demi menyebarkan dharma dan menyingkirkan
raja-raja angkara murka. Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa memimpin tentara masing-
masing ke empat penjuru Bharatawarsha (India Kuno) untuk mengumpulkan upeti dalam
penyelenggaraan upacara agung tersebut.

Pada saat yang sama, seorang raja angkara murka juga mengadakan upacara
mengorbankan seratus orang raja. Raja tersebut bernama Jarasanda dari kerajaan
Magadha. Yudistira mengirim Bima dan Arjuna dengan didampingi Kresna sebagai
penasihat untuk menumpas Jarasanda. Akhirnya, melalui sebuah pertandingan seru, Bima
berhasil membunuh Jarasanda.

Setelah semua persyaratan terpenuhi, Yudistira melaksanakan upacara Rajasuya yang


dihadiri sekian banyak kaum raja dan pendeta. Dalam kesempatan itu, Yudistira
ditetapkan sebagai Maharajadhiraja. Kemudian muncul seorang sekutu Jarasanda
bernama Sisupala yang menghina Kresna di depan umum. Setelah melewati penghinaan
ke-100, Krishna akhirnya memenggal kepala Sisupala di depan umum.

[sunting] Kehilangan kerajaan

Lukisan dari Punjab, dibuat sekitar abad ke-18, menggambarkan suasana aula permainan
dadu antara Pandawa dan Korawa. Tampak dalam gambar, Dropadi yang berusaha
ditelanjangi oleh Dursasana. Di sebelah kiri bawah, tampak kelima Pandawa sedang diam
menerima kekalahannya.

Ketika menjadi tamu dalam acara Rajasuya, Duryodana sangat kagum sekaligus iri
menyaksikan keindahan istana Indraprastha. Timbul niatnya untuk merebut kerajaan itu,
apalagi setelah ia tersinggung oleh ucapan Dropadi dalam sebuah pertemuan. Sangkuni
membantu niat Duryodhana dengan memanfaatkan kegemaran Yudistira terhadap
permainan dadu. Yudistira memang seorang ahli agama, namun di sisi lain ia sangat
menyukai permainan tersebut. Undangan Duryodana diterimanya dengan baik.
Permainan dadu antara Pandawa melawan Korawa diadakan di istana Hastinapura. Mula-
mula Yudistira hanya bertaruh kecil-kecilan. Namun semuanya jatuh ke tangan
Duryodana berkat kepandaian Sakuni dalam melempar dadu.

Hasutan Sangkuni membuat Yudistira nekad mempertaruhkan semua hartanya, bahkan


Indraprastha. Akhirnya, negeri yang dibangun dengan susah payah itu pun jatuh ke
tangan lawan. Yudistira yang sudah gelap mata juga mempertaruhkan keempat adiknya
secara berurutan. Keempatnya pun jatuh pula ke tangan Duryodana satu per satu, bahkan
akhirnya Yudistira sendiri. Duryodana tetap memaksa Yudistira yang sudah kehilangan
kemerdekaannya untuk melanjutkan permainan, dengan mempertaruhkan Dropadi.
Akibatnya, Dropadi pun ikut bernasib sama.

Ratapan Dropadi saat dipermalukan di depan umum terdengar oleh Gandari, ibu para
Korawa. Ia memerintahkan agar Duryodana menghentikan permainan dan
mengembalikan semuanya kepada Pandawa. Dengan berat hati, Duryodhana terpaksa
mematuhi perintah ibunya itu. Duryodana yang kecewa kembali menantang Yudistira
beberapa waktu kemudian. Kali ini peraturannya diganti. Barang siapa yang kalah harus
menyerahkan negara beserta isinya, dan menjalani hidup di hutan selama 12 tahun serta
menyamar selama setahun di dalam sebuah kerajaan. Apabila penyamaran itu terbongkar,
maka wajib mengulangi lagi pembuangan selama 12 tahun dan menyamar setahun,
begitulah seterusnya. Akhirnya berkat kelicikan Sakuni, pihak Pandawa pun mengalami
kekalahan untuk yang kedua kalinya. Sejak saat itu lima Pandawa dan Dropadi menjalani
masa pembuangan mereka di hutan.

[sunting] Kehidupan dalam Pembuangan


Kehidupan para Pandawa dan Dropadi dalam menjalani masa pembuangan selama 12
tahun di hutan dikisahkan pada jilid ketiga kitab Mahabharata yang dikenal dengan
sebutan Wanaparwa.

Yudistira yang merasa paling bertanggung jawab atas apa yang menimpa keluarga dan
negaranya berusaha untuk tetap tabah dalam menjalani hukuman. Ia sering berselisih
paham dengan Bima yang ingin kembali ke Hastinapura untuk menumpas para Korawa.
Meskipun demikian, Bima tetap tunduk dan patuh terhadap perintah Yudistira supaya
menjalani hukuman sesuai perjanjian.

Suatu ketika para Korawa datang ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan
para Pandawa. Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin
Citrasena. Dalam peristiwa itu Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi,
Yudistira justru mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia mengancam
akan berangkat sendiri apabila kedua adiknya itu menolak perintah. Akhirnya kedua
Pandawa itu berhasil membebaskan Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan untuk
menyiksa perasaan para Pandawa justru berakhir dengan rasa malu luar biasa yang ia
rasakan.
Peristiwa lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh Jayadrata, adik ipar
Duryodana. Bima dan Arjuna berhasil menangkap Jayadrata dan hampir saja
membunuhnya. Yudistira muncul dan memaafkan raja kerajaan Sindu tersebut.

[sunting] Peristiwa telaga beracun

Pada suatu hari menjelang berakhirnya masa pembuangan, Yudistira dan keempat
adiknya membantu seorang brahmana yang kehilangan peralatan upacaranya karena
tersangkut pada tanduk seekor rusa liar. Dalam pengejaran terhadap rusa itu, kelima
Pandawa merasa haus. Yudistira pun menyuruh Sadewa mencari air minum. Karena lama
tidak kembali, Nakula disuruh menyusul, kemudian Arjuna, lalu akhirnya Bima
menyusul pula. Yudistira semakin cemas karena keempat adiknya tidak ada yang
kembali.

Yudistira kemudian berangkat menyusul Pandawa dan menjumpai mereka telah tewas di
tepi sebuah telaga. Muncul seorang raksasa yang mengaku sebagai pemilik telaga itu. Ia
menceritakan bahwa keempat Pandawa tewas keracunan air telaganya karena mereka
menolak menjawab pertanyaan sang raksasa. Sambil menahan haus, Yudistira
mempersilakan Sang Raksasa untuk bertanya. Satu per satu pertanyaan demi pertanyaan
berhasil ia jawab. Akhirnya, Sang Raksasa pun mengaku kalah, namun ia hanya sanggup
menghidupkan satu orang saja. Dalam hal ini, Yudistira memilih Nakula untuk
dihidupkan kembali. Raksasa heran karena Nakula adalah adik tiri, bukan adik kandung.
Yudistira menjawab bahwa dirinya harus berlaku adil. Ayahnya, yaitu Pandu memiliki
dua orang istri. Karena Yudistira lahir dari Kunti, maka yang dipilihnya untuk hidup
kembali harus putera yang lahir dari Madri, yaitu Nakula.

Raksasa terkesan pada keadilan Yudistira. Ia pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Dewa
Dharma. Kedatangannya dengan menyamar sebagai rusa liar dan raksasa adalah untuk
memberikan ujian kepada para Pandawa. Berkat keadilan dan ketulusan Yudistira, maka
tidak hanya Nakula yang dihidupkan kembali, melainkan juga Bima, Arjuna, dan
Sadewa.

[sunting] Yudistira dalam masa penyamaran


Setelah 12 tahun menjalani pembuangan di hutan, kelima Pandawa dan Dropadi
kemudian memasuki masa penyamaran selama setahun. Sebagai tempat persembunyian,
mereka memilih Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Wirata. Kisah ini terdapat dalam
kitab Mahabharata jilid keempat atau Wirataparwa.

Yudistira menyamar dengan nama Kanka di mana ia diterima sebagai kusir kereta Raja
Wirata. Bima menjadi Balawa sebagai tukang masak, Arjuna menjadi Wrihanala sebagai
banci guru tari, Nakula menjadi Damagranti sebagai tukang kuda, Sadewa menjadi
Tantripala sebagai penggembala sapi, sedangkan Dropadi menjadi Sailandri sebagai
dayang istana.
Pada akhir tahun penyamaran Pandawa, terjadi peristiwa serangan kerajaan Kuru
terhadap kekuasaan Wirata. Seluruh kekuatan kerajaan Matsya dikerahkan menghadapi
tentara kerajaan Trigartha, sekutu Duryodhana. Akibatnya, istana Matsya menjadi kosong
dan dalam keadaan terancam oleh serangan pasukan Hastinapura. Utara putera Wirata
yang ditugasi menjaga istana, berangkat ditemani Wrihanala (Arjuna) sebagai kusir. Di
medan perang Wrihanala membuka samaran dan tampil menghadapi pasukan Duryodana
sebagai Arjuna. Seorang diri ia berhasil memukul mundur pasukan dari Hastinapura
tersebut. Sementara itu, pasukan Wirata juga mendapat kemenangan atas pasukan
Trigartha. Wirata dengan bangga memuji-muji kehebatan Utara yang berhasil
mengalahkan para Korawa seorang diri. Kanka alias Yudistira menjelaskan bahwa kunci
kemenangan Utara adalah Wrihanala. Hal itu membuat Wirata tersinggung dan memukul
kepala Kanka sampai berdarah.

Dalam versi pewayangan Jawa, Wirata adalah nama kerajaan, bukan nama orang.
Sedangkan rajanya bernama Matsyapati. Dalam kerajaan tersebut, Yudistira atau
Puntadewa menyamar sebagai pengelola pasar ibu kota bernama Dwijakangka.

Saat batas waktu penyamaran telah genap setahun, kelima Pandawa dan Dropadi pun
membuka penyamaran. Mengetahui hal itu, Wirata merasa sangat menyesal telah
memperlakukan mereka dengan buruk. Ia pun berjanji akan menjadi sekutu Pandawa
dalam usaha mendapatkan kembali takhta Indraprastha.

[sunting] Yudistira saat Bharatayuddha


Ketika para Pandawa pulang ke Hastinapura demi menuntut hak yang seharusnya mereka
terima, Duryodana bersikap sinis terhadap mereka. Ia tidak mau menyerahkan
Hastinapura kepada Yudistira. Berbagai usaha damai dilancarkan pihak Pandawa namun
selalu ditolak oleh Duryodana. Bahkan, Duryodana tetap menolak ketika Yudistira hanya
meminta lima buah desa saja, bukan seluruh Indraprastha. Pada puncaknya, Duryodana
berusaha membunuh duta Pandawa, yaitu Kresna, namun gagal.

Perang antara Pandawa dan Korawa tidak dapat lagi dihindari. Para pujangga Jawa
menyebut peristiwa itu dengan nama Bharatayuddha. Sementara itu dalam Mahabharata
kisah perang besar tersebut ditemukan pada jilid keenam sampai kesepuluh.

[sunting] Awal pertempuran

Pada bagian Bhismaparwa dikisahkan bahwa sebelum perang hari pertama dimulai,
Yudistira turun dari keretanya berjalan kaki ke arah pasukan Korawa yang berbaris di
hadapannya. Duryodana mengejeknya sebagai pengecut yang langsung menyerah begitu
melihat kekuatan Korawa dan sekutu mereka. Namun, kedatangan Yudistira bukan untuk
menyerah, melainkan meminta doa restu kepada empat sesepuh yang berperang di pihak
lawan. Mereka adalah Bisma, Krepa, Drona, dan Salya. Keempatnya mendoakan semoga
pihak Pandawa menang. Hal itu tentu saja membuat Duryodana sakit hati.
Yudistira kembali ke pasukannya. Ia mempersilakan siapa saja yang ingin pindah
pasukan sebelum perang benar-benar dimulai. Ternyata yang pindah justru adik tiri
Duryodhana yang lahir dari selir, bernama Yuyutsu, yang bergerak meninggalkan
Korawa untuk bergabung bersama Pandawa.

[sunting] Pertempuran melawan Drona

Bisma memimpin pasukan Korawa selama sepuluh hari. Setelah ia tumbang,


kedudukannya digantikan oleh Drona, yang mendapat amanat dari Duryodana supaya
menangkap Yudistira hidup-hidup. Drona senang atas tugas tersebut, padahal niat
Duryodana adalah menjadikan Yudistira sebagai sandera untuk memaksa para
pendukungnya menyerah. Berbagai cara dilancarkan Drona untuk menangkap Yudistira.
Tidak terhitung banyaknya sekutu Pandawa yang tewas di tangan Drona karena
melindungi Yudistira, misalnya Drupada dan Wirata.

Akhirnya pada hari ke-15, penasihat Pandawa, yaitu Kresna menemukan cara untuk
mengalahkan Drona, yaitu dengan mengumumkan berita kematian seekor gajah bernama
Aswatama. Aswatama juga merupakan nama putera tunggal Drona. Kemiripan nama
tersebut dimanfaatkan oleh Kresna untuk menipu Drona. Atas perintah Kresna, Bima
segera membunuh gajah itu dan berteriak mengumumkan kematiannya. Drona cemas
mendengar berita kematian Aswatama. Ia segera mendatangi Yudistira yang dianggapnya
sebagai manusia paling jujur untuk bertanya tentang kebenaran berita tersebut. Yudistira
terpaksa bersikap tidak jujur. Ia membenarkan berita kematian Aswatama tanpa berusaha
menjelaskan bahwa yang mati adalah gajah, bukan putera Drona.

Jawaban Yudistira itu membuat Drona jatuh lemas. Ia membuang semua senjatanya dan
duduk bermeditasi. Tiba-tiba saja Drestadyumna putera Drupada mendatanginya dan
kemudian memenggal kepalanya dari belakang. Drona pun tewas seketika. Dalam
peristiwa ini yang paling merasa bersalah adalah Yudistira.

Menurut versi Jawa, nama gajah yang dibunuh Bima bukan Aswatama, melainkan
Hastitama. Ketika Drona menanyakan hal itu, Puntadewa menjawab bahwa yang mati
adalah Hastitama, namun dengan suara yang sangat pelan. Akibatnya, terdengar oleh
Drona bahwa yang mati adalah Aswatama. Selanjutnya, Drona yang lengah pun tewas
dipenggal Drestadyumna.

[sunting] Pertempuran melawan Salya

Salya adalah kakak ipar Pandu yang terpaksa membantu Korawa karena tipu daya
mereka. Pada hari ke-18, ia diangkat sebagai panglima oleh Duryodana. Akhirnya ia pun
tewas terkena tombak Yudistira.

Naskah Bharatayuddha berbahasa Jawa Kuno mengisahkan bahwa Salya memakai


senjata bernama Rudrarohastra, sedangkan Yudistira memakai senjata bernama
Kalimahosaddha. Pusaka Yudistira yang berupa kitab itu dilemparkannya dan tiba-tiba
berubah menjadi tombak menembus dada Salya.
Sementara itu menurut versi pewayangan Jawa, Salya mengerahkan ilmu Candabirawa
berupa raksasa kerdil mengerikan, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak.
Puntadewa maju mengheningkan cipta. Candabirawa lumpuh seketika karena Puntadewa
telah dirasuki arwah Resi Bagaspati, yaitu pemilik asli ilmu tersebut. Selanjutnya,
Puntadewa melepaskan Jamus Kalimasada yang melesat menghantam dada Salya. Salya
pun tewas seketika.

[sunting] Tantangan bagi Duryodana

Setelah kehabisan pasukan, Duryodhana bersembunyi di dasar telaga. Kelima Pandawa


didampingi Kresna berhasil menemukan tempat itu. Duryodana pun naik ke darat siap
menghadapi kelima Pandawa sekaligus. Yudistira menolak tantangan Duryodhana karena
Pandawa pantang berbuat pengecut dengan cara main keroyok, sebagaimana para
Korawa ketika membunuh Abimanyu pada hari ke-13. Sebaliknya, Duryodana
dipersilakan bertarung satu lawan satu melawan salah seorang di antara lima Pandawa.
Apabila ia kalah, maka kerajaan harus dikembalikan kepada Pandawa. Sebaliknya apabila
ia menang, Yudistira bersedia kembali hidup di hutan.

Bima terkejut mendengar keputusan Yudistira yang seolah-olah memberi kesempatan


Duryodana untuk berkuasa lagi, padahal kemenangan Pandawa tinggal selangkah saja.
Dalam hal ini Yudistira justru menyalahkan Bima yang dianggap kurang percaya diri.
Duryodana meskipun bersifat angkara murka namun ia juga seorang pemberani. Ia
memilih Bima sebagai lawan perang tanding, yang paling gagah di antara kelima
Pandawa. Setelah pertarungan sengit terjadi cukup lama, akhirnya menjelang senja
Duryodana berhasil dikalahkan dan kemudian menemui kematiannya.

[sunting] Maharaja dunia


Setelah perang berakhir, Yudistira melaksanakan upacara Tarpana untuk memuliakan
mereka yang telah tewas. Ia kemudian diangkat sebagai raja Hastinapura sekaligus raja
Indraprastha. Yudistira dengan sabar menerima Dretarastra sebagai raja sepuh di kota
Hastinapura. Ia melarang adik-adiknya bersikap kasar dan menyinggung perasaan ayah
para Korawa tersebut.

Yudistira kemudian menyelenggarakan Aswamedha Yadnya, yaitu suatu upacara


pengorbanan untuk menegakkan kembali aturan dharma di seluruh dunia. Pada upacara
ini, seekor kuda dilepas untuk mengembara selama setahun. Arjuna ditugasi memimpin
pasukan untuk mengikuti dan mengawal kuda tersebut. Para raja yang wilayah negaranya
dilalui oleh kuda tersebut harus memilih untuk mengikuti aturan Yudistira atau diperangi.

Akhirnya semuanya memilih membayar upeti. Sekali lagi Yudistira pun dinobatkan
sebagai Maharaja Dunia setelah Upacara Rajasuya dahulu.

[sunting] Pensiun lalu naik ke sorga


Lukisan Yudistira yang sedang mendaki gunung Himalaya sebagai perjalanan
terakhirnya.

Setelah permulaan zaman Kaliyuga dan wafatnya Kresna, Yudistira dan keempat adiknya
mengundurkan diri dari urusan duniawi. Mereka meninggalkan tahta kerajaan, harta, dan
sifat keterikatan untuk melakukan perjalanan terakhir, mengelilingi Bharatawarsha lalu
menuju puncak Himalaya. Di kaki gunung Himalaya, Yudistira menemukan anjing dan
kemudian hewan tersebut menjdi pendamping perjalanan Pandawa yang setia. Saat
mendaki puncak, satu per satu mulai dari Dropadi, Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima
meninggal dunia. Masing-masing terseret oleh kesalahan dan dosa yang pernah mereka
perbuat. Hanya Yudistira dan aningnya yang berhasil mencapai puncak gunung, karena
kesucian hatinya.

Dewa Indra, pemimpin masyarakat kahyangan, datang menjemput Yudistira untuk diajak
naik ke swarga dengan kereta kencananya. Namun, Indra menolak anjing yang dibawa
Yudistira dengan alasan bahwa hewan tersebut tidak suci dan tidak layak untuk masuk
swarga. Yudistira menolak masuk swargaloka apabila harus berpisah dengan anjingnya.
Indra merasa heran karena Yudistira tega meninggalkan saudara-saudaranya dan Dropadi
tanpa mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka, namun lebih memilih
untuk tidak mau meninggalkan seekor anjing. Yudistira menjawab bahwa bukan dirinya
yang meninggalkan mereka, tapi merekalah yang meninggalkan dirinya.

Kesetiaan Yudistira telah teruji. Anjingnya pun kembali ke wujud asli yaitu Dewa
Dharma. Bersama-sama mereka naik ke sorga menggunakan kereta Indra. Namun
ternyata keempat Pandawa tidak ditemukan di sana. Yang ada justru Duryodana dan
adik-adiknya yang selama hidup mengumbar angkara murka. Indra menjelaskan bahwa
keempat Pandawa dan para pahlawan lainnya sedang menjalani penyiksaan di neraka.
Yudistira menyatakan siap masuk neraka menemani mereka. Namun, ketika terpampang
pemandangan neraka yang disertai suara menyayat hati dan dihiasi darah kental
membuatnya ngeri. Saat tergoda untuk kabur dari neraka, Yudistira berhasil menguasai
diri. Terdengar suara saudara-saudaranya memanggil-manggil. Yudistira memutuskan
untuk tinggal di neraka. Ia merasa lebih baik hidup tersiksa bersama sudara-saudaranya
yang baik hati daripada bergembira di sorga namun ditemani oleh kerabat yang jahat.
Tiba-tiba pemandangan berubah menjadi indah. Dewa Indra muncul dan berkata bahwa
sekali lagi Yudistira lulus ujian. Ia menyatakan bahwa sejak saat itu, Pandawa Lima dan
para pahlawan lainnya dinyatakan sebagai penghuni Surga.

Menurut versi pewayangan Jawa, kematian para Pandawa terjadi bersamaan dengan
Kresna ketika mereka bermeditasi di dalam Candi Sekar. Namun, versi ini kurang begitu
populer karena banyak dalang yang lebih suka mementaskan versi Mahabharata yang
penuh dramatisasi sebagaimana dikisahkan di atas.

[sunting] Pranala luar


 (en) Mahabharata Online.com
 (en) Cerita pendek yang menunjukkan keagungan Yudhishthira 1, 2, 3

Didahului oleh: Digantikan oleh:
Raja Hastinapura
Dretarastra Parikesit
[sembunyikan]
l • d • s
Tokoh dalam Wiracarita Mahabharata

Santanu · Gangga · Bisma · Satyawati · Citrānggada · Wicitrawirya ·


Ambika · Ambalika · Widura · Dretarastra · Gandari · Sangkuni ·
Dinasti Subadra · Pandu · Kunti · Madri · Yudistira · Bima · Arjuna ·
Kuru Nakula · Sahadewa · Duryodana · Dursasana · Yuyutsu · Dursala ·
Drupadi · Hidimbi · Gatotkaca · Ahilawati · Utara · Ulupi ·
Citrānggadā

Amba · Barbarika · Babruwahana · Irawan · Abimanyu · Parikesit ·


Wirata · Kicaka · Krepa · Drona · Aswatama · Ekalawya ·
Tokoh Kertawarma · Jarasanda · Satyaki · Mayasura · Durwasa · Sanjaya ·
lain Janamejaya · Resi Byasa · Karna · Jayadrata · Kresna · Baladewa ·
Drupada · Hidimba · Drestadyumna · Burisrawa · Salya · Adirata ·
Srikandi · Radha
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Yudistira"
Kategori: Pandawa

Tampilan

 Halaman
 Pembicaraan
 Sunting
 ↑
 Versi terdahulu

Peralatan pribadi
 Coba Beta
 Masuk log / buat akun

Pencarian

Tuju ke Cari
 

Navigasi

 Halaman Utama
 Perubahan terbaru
 Peristiwa terkini
 Halaman sembarang

Komunitas

 Warung Kopi
 Portal komunitas
 Bantuan

wikipedia

 Perihal Wikipedia
 Pancapilar
 Kebijakan
 Menyumbang

Buat buku

 Tambah halaman
 Bantuan

Kotak peralatan

 Pranala balik
 Perubahan terkait
 Halaman istimewa
 Versi cetak
 Pranala permanen
 Kutip artikel ini
 Buat PDF

Bahasa lain
 English
 Español
 Français
 हिन्दी
 Italiano
 Basa Jawa
 ಕನ್ನಡ
 മലയാളം
 Русский
 Slovenčina
 Basa Sunda
 தமிழ்
 తెలుగు
 ไทย

 Halaman ini terakhir diubah pada 07:54, 26 Juli 2009.


 Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi/Berbagi Serupa Creative Commons;
ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih
jelasnya.
 Kebijakan privasi
 Perihal Wikipedia
 Penyangkalan

Anda mungkin juga menyukai