Berita kehadiran kembali tokoh ini menyebabkan rakyat dan pembesar kerajaan
serta keluarga istana kerajaan Gowa menyatakan dukungannya terhadap Batara Gowa,
sehingga Sultan Zainuddin menjadi raja yang dapat dikatakan tidak berpengikut dan
rakyat. Itulah sebabnya ketika Gubernur dan Direktur Kompeni, Paulus Godefridus van
der Voort (1771-1780) memohon kepadanya untuk menangkap Batara Gowa I
Sangkilang, ia tidak dapat memenuhinya. Kompeni mengetahui kehadirannya kembali
ketika Brugman yang diutus ke Polombangkeng untuk menyelesaikan persengketaan
yang terjadi di daerah itu diserang oleh pasukan Batara Gowa. Peristiwa yang terjadi pada
bulan Nopember 1776 ini merupakan awal dari perjuangan melawan dan mengusir
penjajah Belanda dari Makassar yang dipimpin oleh Batara Gowa I Sangkilang.
Pada pertempuran ini pasukan Batara Gowa yang terdiri dari 300 orang
pemberani berhasil dipukul mundur oleh pasukan Brugman yang berjumlah 60 orang
tentara. Pasukan Batara Gowa mengundurkan diri ke Barana. Peristiwa ini mendorong
Kompeni mengorganisasi bantuan pasukan dari kerajaan sekutu untuk menyerang
pertahanan Batara Gowa di Barana. Rencana itu tidak dapat dilaksanakan karena pasukan
bantuan menolak untuk menyerang Batara Gowa. Hal ini menunjukan bahwa mereka
bersimpatik pada gerakannya dan bahkan bersedia mendukungnya.
Ketika pasukan Batara Gowa yang memasuki Tallo, ratu Tallo, Sitti Saleha
Karaeng Karuwisi menyatakan wilayah kerajaannya terpisah dari Kerajaan Gowa dan
menyerahkan takta kerajaannya. Batara Gowa menduduki takta pemerintahan Kerajaan
Tallo juga dalam beberapa hari saja, karena ketika pasukan bantuan dari Tanete yang
dipimpin oleh Arung Pancana, La Tenri Sessu tiba, pasukan Batara Gowa dan pasukan
ratu Tallo dan pembesar kerajaannya berpindah ke daerah pedalaman Gowa. Pasukan
Tanete yang tetap menduduki kerajaan itu. Namun setelah usasi pelawanan Batara Gowa,
1779, raja Tanete mengembalikan daerah itu kepada Kompeni. Hal ini menyebabkan raja
Bone murka dan berkeinginan menyerang Tanete.
Di daerah pedalaman itu, Batara Gowa dan Sitti Saleha Karaeng Karuwisi
merancang strategik penyerangan Gowa. Akhirnya pada bulan Juli 1777 dilancarkan
serangan ke pusat kerajaan Gowa. Ketika itu, bukan hanya orang Bone yang bergabung,
tetapi juga turut bergabung orang Sidenreng pada pasukan Batara Gowa. Tidak terjadi
pertempuran ketika pasukan memasuki pusat kerajaan. Namun kemudian datang
serangan dari pasukan Kompeni yang dibantu oleh pasukan Bone. Dalam pertempuran
itu pasukan Kompeni berhasil dipukul mundur dan menderita kerugian besar karena
sejumlah besar pasukannya terbunuh. Menurut laporan kekalahan yang diderita Kompeni
itu disebabkan oleh sikap pasukan bantuan dari kerajaan Bone yang dipimpin oleh
Madanrang. Pasukan Bone, meskipun bersama pasukan Kompeni menyerang namun
tidak melakukan serangan dan hanya ikut menyaksikan pertempuran saja. Setelah
pertempuran itu, Sultan Zainuddin datang ke benteng Jungpandang dan melaporkan
bahwa Dewan Hadat (Bate Salapang) kerajaan telah menurunkannya dari takta dan
menobatkan Batara Gowa I Sangkilang (1777-1778) kembali menduduki takta kerajaan
Gowa, dan menyerahkan ornamen kerajaan (kalompoang) kepadanya.
Kemudian pada tahun Pada tahun 1814 wilayah Bone diambil alih oleh Inggris
dengan pengecualian wilayah selatan masih dikuasai oleh Belanda termasuk kota yang
sangat penting yaitu Makassar. Pada tahun 1816 Belanda kembali dan Bone dijadikan
wilayah kekuasaan Belanda.
Pada tahun 1825 terjadi Perang Bone pertama akibat penolakan diperbaharuinya
Perjanjian Bungaya akibatnya pelabuhan Bajoe dihancurkan. Perang Bone kedua pecah
pada tahun 1859-1860 dengan Belanda, hasilnya Belanda menguasai daerah bulukumba
lama, Kajang, dan Sinjai dan melakukan pemblokadean pantai tetapi tidak lama
dihentikan.