Anda di halaman 1dari 4

MK.

Sejarah Sulawesi Selatan


Bella Astari Patta
F061171305

Sulawesi Selatan Periode 1776-1942


Pasca perang Makassar tahun 1666 dan kematian Arung Palakka (La Tenritata)
di tahun 1696, sejarah Sulawesi Selatan kurang mendapat perhatian. Entah faktor apa yang
menyebabkan kurangnya perhatian tersebut. Nyatanya begitu banyak peristiwa yang
terjadi, terutama setelah VOC yang secara nyata memonopoli perdagangan bahkan
mencampuri sosial-politik kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.

Sejarah Sulawesi Selatan abad ke-XVIII, dibuka dengan pemberontakan yang


dikenal dengan peristiwa Pemberontakan Batara Gowa I Sangkilang yang terjadi di akhir
abad ke 18, yakni di tahun 1776. Pemberontakan yang dilakukan di Kerajaan Gowa,
menimbulkan masalah besar dalam tubuh kerajaan dan pihak Kompeni. Pemberontakan
tersebut dilancarkan setelah kepergian Batara Gowa Amas Medina (1753-1766) yang
secara diam-diam meninggalkan takta kerajaan Gowa pada 2 Agustus 1766.
Kepergiannya itu mendorong pemerintah Kompeni memeritahkan para
pembesar kerajaan agar dapat memilih raja yang baru, namun diabaikan. Oleh karena itu
pemerintah Kompeni kemudian membuat berita sensasi pada bulan April 1767, bahwa
Batara Gowa telah ditangkap dan diasingkan ke Srilangka (Sailon) karena terlibat dalam
tindakan perompakan di Salaparang (Lombok) bersama Cala Bengkulu, seorang bajak
laut terkenal dari Bengkulu. Berdasarkan berita itu, adiknya, I Mallisujawa Daeng
Riboko (1767-1769), mengajukan dirinya menjadi raja Gowa. Meskipun demikian
kedudukannya itu tidak diterima oleh keluarga istana dan dia dicemooh sebagai seorang
merampas kekuasaan. Oleh karena itu ia meninggalkan takta (3 Januari 1769) dan pergi
tinggal di perkampungan nelayan, Barombong. Selain itu juga diperkirakan alasan
pengunduran dirinya itu disebabkan pihak Kompeni tidak memenuhi keinginannya untuk
memulangkan kembali kakaknya, Batara Gowa Amas Medina. Ia kemudian diberi gelar
Arung Mampu.

Ia kemudian digantikan oleh I Temasongang Karaeng Katangka (1770-1778),


raja Tallo yang menjadi mangkubumi Kerajaan Makassar yang sebelumnya bertindak
sebagai perwalian Amas Media. Ia menandatangani perjanjian dengan Kompeni pada 30
Agustus 1770. Meskipun takta kerajaan diemban oleh seorang raja namun harapan
pembesar istana, keluarga istana, dan rakyat adalah Batara Gowa Amas Medina dapat
kembali karena ia yang patut menduduki takta kerajaan. Harapan itu akhirnya terwujud
dengan hadirnya seorang yang berpakaian kebesaran bagaikan seorang raja pada pesta di
Kampung Sompu pada tahun 1776. Undangan yang hadir di pesta itu tidak seorangpun
mengenalnya, sehingga mereka menyebutnya I Sangkilang, karena ketika datang ke
Sompu, ia menggunakan perahu dan duduk di sangkilang (balok layar). Ia kemudian
memperkenalkan dirinya dengan menyebut nama benda ornamen (Kalompoang) kerajaan
Gowa, sehingga serta merta mereka menyadari bahwa ialah Batara Gowa. Pada saat itu
juga para bangsawan dan penguasa kerajaan-kerajaan kecil yang hadir pada pesta itu
memberikan penghormatan kepadanya sebagai raja (sombaya) kerajaan Gowa. Raja
Gowa, Sultan Zainuddin, ketika mendengar berita itu, mengutus Karaeng Pattung untuk
membuktikan apakah benar tokoh itu Batara Gowa. Ketika ia melihat I Sangkilang, ia
langsung sujud dan memberi hormat, karena ia yakin bahwa tokoh itu benar adalah Batara
Gowa Amas Madina. Setelah itu ia kembali dan melaporkan bahwa benar tokoh yang
disebut I Sangkilang itu adalah Batara Gowa Amas Madina.

Berita kehadiran kembali tokoh ini menyebabkan rakyat dan pembesar kerajaan
serta keluarga istana kerajaan Gowa menyatakan dukungannya terhadap Batara Gowa,
sehingga Sultan Zainuddin menjadi raja yang dapat dikatakan tidak berpengikut dan
rakyat. Itulah sebabnya ketika Gubernur dan Direktur Kompeni, Paulus Godefridus van
der Voort (1771-1780) memohon kepadanya untuk menangkap Batara Gowa I
Sangkilang, ia tidak dapat memenuhinya. Kompeni mengetahui kehadirannya kembali
ketika Brugman yang diutus ke Polombangkeng untuk menyelesaikan persengketaan
yang terjadi di daerah itu diserang oleh pasukan Batara Gowa. Peristiwa yang terjadi pada
bulan Nopember 1776 ini merupakan awal dari perjuangan melawan dan mengusir
penjajah Belanda dari Makassar yang dipimpin oleh Batara Gowa I Sangkilang.

Pada pertempuran ini pasukan Batara Gowa yang terdiri dari 300 orang
pemberani berhasil dipukul mundur oleh pasukan Brugman yang berjumlah 60 orang
tentara. Pasukan Batara Gowa mengundurkan diri ke Barana. Peristiwa ini mendorong
Kompeni mengorganisasi bantuan pasukan dari kerajaan sekutu untuk menyerang
pertahanan Batara Gowa di Barana. Rencana itu tidak dapat dilaksanakan karena pasukan
bantuan menolak untuk menyerang Batara Gowa. Hal ini menunjukan bahwa mereka
bersimpatik pada gerakannya dan bahkan bersedia mendukungnya.

Di Barana ia membangun rencana dan strategik perjuangannya dan bergiat


membangun kekuatan pasukannya. Dalam usaha itu, ia berhasil mendapat bantuan dari
orang Bone, Tanete, dan Sidenreng. Akhirnya rencana selanjutnya dilaksanakan, dengan
penataan pertama-tema menyerang wilayah Kompeni di Propinsi bagian Utara (Norder-
Provintie = Maros dan Pangkep), kemudian menyusul kerajaan Tallo dan Kerajaan
Gowa. Pada bulan Mei 1777 dilancarkan serangan ke Provinsi bagian Utara dan dengan
mudah berhasil didudukinya. Rakyat daerah itu kemudian memihak dan menggabungkan
diri kepadanya. Bertepatan dengan itu, raja Bone, La Tenri Tappu (1775-1812) mengirim
pesan kepada Kompeni untuk menduduki Provinsi bangian Utara, dan atas izin Kompeni
pasukan Bone memasuki daerah itu pada tanggal 21 Mei 1777. Bertepatan dengan
kehadiran pasukan Bone, Batara Gowa dan pasukannya meninggalkan daerah itu tanpa
terjadi pertempuran menuju ke Kerajaan Tallo. Bahkan dikisahkan bahwa pasukan Bone
berdiri dan menyaksikan pasukan Batara Gowa melewati di hadapan mereka. Setelah
menduduki daerah ini, raja Bone menyatakan bahwa daerah itu adalah daerah
kekuasaannya dan tidak akan menyerahkan kembali kepada Kompeni.

Ketika pasukan Batara Gowa yang memasuki Tallo, ratu Tallo, Sitti Saleha
Karaeng Karuwisi menyatakan wilayah kerajaannya terpisah dari Kerajaan Gowa dan
menyerahkan takta kerajaannya. Batara Gowa menduduki takta pemerintahan Kerajaan
Tallo juga dalam beberapa hari saja, karena ketika pasukan bantuan dari Tanete yang
dipimpin oleh Arung Pancana, La Tenri Sessu tiba, pasukan Batara Gowa dan pasukan
ratu Tallo dan pembesar kerajaannya berpindah ke daerah pedalaman Gowa. Pasukan
Tanete yang tetap menduduki kerajaan itu. Namun setelah usasi pelawanan Batara Gowa,
1779, raja Tanete mengembalikan daerah itu kepada Kompeni. Hal ini menyebabkan raja
Bone murka dan berkeinginan menyerang Tanete.

Di daerah pedalaman itu, Batara Gowa dan Sitti Saleha Karaeng Karuwisi
merancang strategik penyerangan Gowa. Akhirnya pada bulan Juli 1777 dilancarkan
serangan ke pusat kerajaan Gowa. Ketika itu, bukan hanya orang Bone yang bergabung,
tetapi juga turut bergabung orang Sidenreng pada pasukan Batara Gowa. Tidak terjadi
pertempuran ketika pasukan memasuki pusat kerajaan. Namun kemudian datang
serangan dari pasukan Kompeni yang dibantu oleh pasukan Bone. Dalam pertempuran
itu pasukan Kompeni berhasil dipukul mundur dan menderita kerugian besar karena
sejumlah besar pasukannya terbunuh. Menurut laporan kekalahan yang diderita Kompeni
itu disebabkan oleh sikap pasukan bantuan dari kerajaan Bone yang dipimpin oleh
Madanrang. Pasukan Bone, meskipun bersama pasukan Kompeni menyerang namun
tidak melakukan serangan dan hanya ikut menyaksikan pertempuran saja. Setelah
pertempuran itu, Sultan Zainuddin datang ke benteng Jungpandang dan melaporkan
bahwa Dewan Hadat (Bate Salapang) kerajaan telah menurunkannya dari takta dan
menobatkan Batara Gowa I Sangkilang (1777-1778) kembali menduduki takta kerajaan
Gowa, dan menyerahkan ornamen kerajaan (kalompoang) kepadanya.

Meskipun kerajaan Tanete pernah membantu VOC (Kompeni) namun


keinginan untuk mengusir penjajah itu tetap bergelora. Itulah sebabnya dalam peristiwa
pemberontakan Batara Gowa I Sangkilang, Kerajaan Tanete ikut dalam korporasi politik
dengan Kerajaan Bone dan Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo). Jika kita mempelajari
peristiwa gerakan Batara Gowa I Sangkilang (1776-1778), maka tampak bahwa bantuan
Bone dan Tanete kepada VOC itu hanyalah merupakan strategik politik untuk menguasai
wilayah kekuasaan VOC. Itulah sebabnya setelah pasukan Batara Gowa menduduki
Norder Provinsie, Kerajaan Bone menawarkan bantuannya namun tidak pernah
menyerang pasukan Batara Gowa. Tampak bahwa kedatangan pasukan Bone hanya untuk
serah terima wilayah itu: setelah pasukan Bone tiba, Batara Gowa dan pasukannya
meninggalkan daerah itu dan menduduki kerajaan Tallo. Hal yang sama terjadi; ketika
pasukan Tanete tiba, pasukan Batara Gowa dan pengikutnya dari Tallo meninggalkan
kerajaan itu dan menuju ke Gowa untuk merebut takta pemerintahan.

Kemudian pada tahun Pada tahun 1814 wilayah Bone diambil alih oleh Inggris
dengan pengecualian wilayah selatan masih dikuasai oleh Belanda termasuk kota yang
sangat penting yaitu Makassar. Pada tahun 1816 Belanda kembali dan Bone dijadikan
wilayah kekuasaan Belanda.

Pada tahun 1825 terjadi Perang Bone pertama akibat penolakan diperbaharuinya
Perjanjian Bungaya akibatnya pelabuhan Bajoe dihancurkan. Perang Bone kedua pecah
pada tahun 1859-1860 dengan Belanda, hasilnya Belanda menguasai daerah bulukumba
lama, Kajang, dan Sinjai dan melakukan pemblokadean pantai tetapi tidak lama
dihentikan.

Anda mungkin juga menyukai