Anda di halaman 1dari 19

SEJARAH SINGKAT PROPINSI

SULAWESI TENGAH
Sejarah Sulawesi Tengah.

Provinsi Sulawesi Tengah dibentuk tahun 1964. Sebelumnya Sulawesi Tengah merupakan salah
satu wilayah keresidenan di bawah Pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara-Tengah. Provinsi yang
beribukota di Palu ini terbentuk berdasarkan Undang-undang No. 13/1964.

Seperti di daerah lain di Indonesia, penduduk asli Sulawesi Tengah merupakan percampuran
antara bangsa Wedoid dan negroid. Penduduk asli ini kemudian berkembang menjadi suku baru
menyusul datangnya bangsa Proto-Melayu tahun 3000 SM dan Deutro-Melayu tahun 300 SM.
Keberadaan para penghuni pertama Sulawesi Tengah ini diketahui dari peninggalan sejarah
berupa peralatan dari kebudayaan Dongsong (perunggu) dari zaman Megalitikum.

Perkembangan selanjutnya banyak kaum migran yang datang dan menetap di wilayah Sulawesi
Tengah. Penduduk baru ini dalam kehidupan kesehariannya bercampur dengan penduduk lama
sehingga menghasilkan percampuran kebudayaan antara penghuni lama dan baru. Akhirnya,
suku-suku bangsa di Sulawesi Tengah dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu, Palu Toraja,
Koro Toraja, dan Poso Toraja.

Pada abad ke 13, di Sulawesi Tengah sudah berdiri beberapa kerajaan seperti Kerajaan Banawa,
Kerajaan Tawaeli, Kerajaan Sigi, Kerajaan Bangga, dan Kerajaan Banggai. Pengaruh Islam ke
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah mulai terasa pada abad ke 16. Penyebaran Islam di
Sulawesi Tengah ini merupakan hasil dari ekspansi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.
Pengaruh yang mula-mula datang adalah dari Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo.

Pengaruh Sulawesi Selatan begitu kuat terhadap Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tengah, bahkan
sampai pada tata pemerintahan. Struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah
akhirnya terbagi dua, yaitu, yang berbentuk Pitunggota dan lainnya berbentuk Patanggota.

Pitunggota adalah suatu lembaga legislatif yang terdiri dari tujuh anggota dan diketuai oleh
seorang Baligau. Struktur pemerintahan ini mengikuti susunan pemerintahan ala Bone dan
terdapat di Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Struktur lainnya, yaitu, Patanggota, merupakan
pemerintahan ala Wajo dan dianut oleh Kerajaan Palu dan Kerajaan Tawaeli. Patanggota
Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya.

Pangaruh lainnya adalah datang dari Mandar. Kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini adalah cikal
bakalnya berasal dari Mandar. Pengaruh Mandar lainnya adalag dengan dipakainya istilah raja.
Sebelum pengaruh ini masuk, di Teluk Tomini hanya dikenal gelar Olongian atau tuan-tuan
tanah yang secara otonom menguasai wilayahnya masing-masing. Selain pengaruh Mandar,
kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini juga dipengaruhi Gorontalo dan Ternate. Hal ini terlihat
dalam struktur pemerintahannya yang sedikit banyak mengikuti struktur pemerintahan di
Gorontalo dan Ternate tersebut. Struktur pemerintahan tersebut terdiri dari Olongian (kepala
negara), Jogugu (perdana menteri), Kapitan Laut (Menteri Pertahanan), Walaapulu (menteri
keuangan), Ukum (menteri perhubungan), dan Madinu (menteri penerangan).

Dengan meluasnya pengaruh Sulawesi Selatan, menyebar pula agama Islam. Daerah-daerah yang
diwarnai Islam pertama kali adalah daerah pesisir. Pada pertengahan abad ke 16, dua kerajaan,
yaitu Buol dan Luwuk telah menerima ajaran Islam. Sejak tahun 1540, Buol telah berbentuk
kesultanan dan dipimpin oleh seorang sultan bernama Eato Mohammad Tahir.

Mulai abad ke 17, wilayah Sulawesi Tengah mulai masuk dalam kekuasaan kolonial Belanda.
Dengan dalih untuk mengamankan armada kapalnya dari serangan bajak laut, VOC membangun
benteng di Parigi dan Lambunu. Pada abad ke 18, meningkatkan tekanannya pada raja-raja di
Sulawesi Tengah. Mereka memanggil raja-raja Sulawesi Tengah untuk datang ke Manado dan
Gorontalo untuk mengucapkan sumpah setia kepada VOC. Dengan begitu, VOC berarti telah
menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah tersebut.

Permulaan abad ke 20, dengan diikat suatu perjanjian bernama lang contract dan korte
verklaring, Belanda telah sepenuhnya menguasai Sulawesi Tengah, terhadap kerajaan yang
membangkang, Belanda menumpasnya dengan kekerasan senjata. Pada permulaan abad ke 20
pula mulai muncul pergerakan-pergerakan yang melakukan perlawanan terhadap kolonial
Belanda. Selain pergerakan lokal, masuk pula pergerakan-pergerakan yang berpusat di Jawa.
Organisasi yang pertama mendirikan cabang di Sulawesi Tengah adalah Syarikat Islam (SI),
didirikan di Buol Toli-Toli tahun 1916. Organisasi lainnya yang berkembang di wilayah ini
adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang cabangnya didirikan di Buol tahun 1928. organisasi
lainnya yang membuka cabang di Sulawesi Tengah adalah Muhammadiyah dan PSII.

Perlawanan rakyat mencapai puncaknya tanggal 25 Januari 1942. Para pejuang yang dipimpin
oleh I.D. Awuy menangkap para tokoh kolonial seperti Controleur Toli-Toli De Hoof, Bestuur
Asisten Residen Matata Daeng Masese, dan Controleur Buol de Vries. Dengan tertangkapnya
tokoh-tokoh kolonial itu, praktis kekuasaan Belanda telah diakhiri. Tanggal 1 Februari 1942,
sang merah putih telah dikibarkan untuk pertama kalinya di angkasa Toli-Toli. Namun keadaan
ini tidak berlangsung lama karena seminggu kemudian pasukan Belanda kembali datang dan
melakukan gempuran.

Meskipun telah melakukan gempuran, Belanda tidak sempat berkuasa kembali di Sulawesi
Tengah karena pada waktu itu, Jepang mendarat di wilayah itu, tepatnya di Luwuk tanggal 15
Mei 1942. dalam waktu singkat Jepang berhasil menguasai wilayah Sulawesi Tengah. Di era
Jepang, kehidupan rakyat semakin tertekan dan sengsara seluruh kegiatan rakyat hanya ditujukan
untuk mendukung peperangan Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Jepang menyerah kepada
Sekutu dan disusul dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada awal kemerdekaan, Sulawesi tengah merupakan bagian dari provinsi Sulawesi.
Sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, pasca kemerdekaan adalah saatnya perjuangan
mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih. Rongrongan terus datang dari Belanda
yang ingin kembali menjajah Indonesia. Belanda menerapkan politik pecah-belah dimana
Indonesia dijadikan negara serikat. Namun akhirnya bangsa Indonesia dapat melewati
rongrongan itu dan ada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.
Sejak saat itu, Sulawesi kembali menjadi salah satu provinsi di Republik Indonesia dan
berlangsung hingga terjadi pemekaran tahun 1960. Pada tahun tersebut Sulawesi dibagi dua
menjadi Sulawesi Selatan-Tenggara yang beribukota di Makassar dan Sulawesi Utara-Tengah
yang beribukota di Manado. Pada tahun 1964, Provinsi Sulawesi Utara-Tengah dimekarkan
menjadi provinsi Sulawesi Utara yang beribukota di Manado dan Sulawesi Tenagh yang
beribukota di Palu.

SEJARAH SINGKAT KABUPATEN BANGGAI

Tepatnya pada tanggal 3 November 1999 Gubernur Sulawesi Tengah (Brigjen Purn. H.B.
Palidju) atas nama Menteri Dalam Negeri meresmikan berdirinya Kabupaten Banggai Kepulauan
yang sebelumnya masih bernaung bergabung dalam Kabupaten Banggai. Kabupaten Banggai
Kepulauan menjadi satu kabupaten otonom berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999
tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai
Kepulauan.

Secara historis wilayah Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan mulanya adalah bagian dari
Kerajaan Banggai yang sudah dikenal sejak abad 13 Masehi sebagaimana termuat dalam buku
Negara Kertagama yang ditulis oleh Pujangga Besar Empu Prapanca pada tahun Saka 1478 atau
1365 Masehi. Kerajaan Banggai, awalnya hanya meliputi wilayah Banggai Kepulauan, namun
kemudian oleh Adi Cokro yang bergelar Mumbu Doi Jawa disatukan dengan Wilayah Banggai
Darat. Adik Cokro yang merupakan panglima perang dari Kerajaan Ternate yang menikah
dengan seorang Putri Portugis kemudian melahirkan putra bernama Mandapar. Mandapar inilah
yang dikenal sebagai Raja Banggai Pertama yang dilantik pada tahun 1600 oleh Sultan Said
Berkad Syam dari Kerajaan Ternate. Raja Mandapar yang bergelar Mumbu Doi Godong ini
memimpin Banggai sampai tahun 1625

Adapun sisa peninggalan Kerajaan Banggai yang dibangun pada abad ke XVI yang masih dapat
ditemui hingga saat ini yaitu Keraton Kerajaan Banggai yang ada di Kota Banggai. Pada masa
pemerintahan Raja Syukuran Amir, ibukota Kerajaan Banggai yang semula berada di Banggai
Kepulauan dipindahkan ke Banggai Darat (Luwuk). Untuk penyelenggaraan pemerintahan
diwilayah Banggai Laut ditempatkan pejabat yang disebut Bun Kaken sedang untuk Banggai
Darat disebut Ken Kariken. Wilayah Banggai Darat dan Banggai Laut kemudian berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi Tengah menjadi
Satu Kabupaten Otonom yang dikenal sebagai Kabupaten Banggai dengan ibukota Luwuk

Kabupaten Banggai merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi tengah yang terletak dibagian
pantai timur Pulau Sulawesi. Kabupaten Banggai dengan ibukota Luwuk secara geografis
terletak pada posisi 0° 30′-02° 20′ LS dan 122° 10′ – 124° 20′ BT. dengan batas wilayah sebelah
utara Teluk Tomini, sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Poso, sebelah selatan berbatasan
dengan Teluk Tolo dan sebelah timur berbatasan dengan laut Banda.

Dari ibukota Propinsi Palu menuju ibukota Kabupaten Banggai Luwuk dapat ditempuh melalui
jalan darat maupun udara. Jalan darat dapat memakai sarana perhubungan kendaraan umum bus-
bus kecil, atau dengan kendaraan carteran. Palu – Luwuk dengan jarak sekitar 350 km.
Transportasi udara dari ibukota Propinsi Palu dilayani oleh pesawat kecil (Twin otter/ Cassa)
dengan waktu tempuh 1.5 jam. Penerbangan Palu – Luwuk secara regular setiap hari sekali. Dari
Luwuk ke Pulau Peleng dilayani oleh ferry secara reguler sekali setiap hari. Sedangkan Luwuk-
Pulau Banggai dilayani oleh perahu motor kayu yang jauh lebih kecil. Pelayaran Luwuk –
Banggai dilakukan secara reguler dan singgah di beberapa ibukota kecarnatan dengan waktu
tempuh antara 8 – 12 jam. Untuk mencapai pulau-pulau yang ada disekitar Pulau Peleng dan
Pulau Banggai jalan satu-satunya adalah menggunakan perahu carteran.

Kabupaten Banggai menjadi salah satu dari 25 kabupaten yang menerima penghargaan
Parasamya Purnakarya Nugraha dari Pemerintah Indonesia 27 tahun lalu. Saat itu Kabupaten
Banggai dianggap berprestasi karena mampu menyumbang 50 persen Iuran Pembangunan
Daerah (Ipeda) bagi Provinsi Sulawesi Tengah.Iini. Kebanggaan masyarakat di daerah yang
hanya berkepadatan penduduk 28 jiwa tiap kilometer perseginya ini bertambah karena kabupaten
Banggai mampu menjadi penghasil beras nomor dua setelah Kabupaten Donggala di Sulawesi
Tengah.

Monsu’ani Tano ternyata menjadi cara yang ampuh dalam memotivasi masyarakat Banggai
untuk membangun daerahnya sendiri. Gemar menanam, makna dari istilah tersebut, telah
menjadi gerakan yang mendapat tempat di hati masyarakat Banggai. Buktinya, dalam lima tahun
ke belakang, pertanian telah menjadi pemasok terbesar kegiatan ekonomi daerah ini. Tahun 2000
misalnya, 54,4 persen (Rp 465,4 milyar) kegiatan ekonomi berasal dari sektor pertanian. Dan
produksi beras menjadi primadona.

Dengan produktivitas rata-rata 3,0 ton per hektar, Kabupaten Banggai menghasilkan padi
sebanyak 69.693 ton tahun 2000. Dibandingkan tahun sebelumnya, angka ini menurun drastis
hingga 29 persen. Sementara untuk tahun 2001, kabupaten ini juga mengalami kesulitan untuk
mempertahankan produksi. Bulan Juli 2001 terjadi banjir akibat gelombang tsunami yang
merendam dan merusak 43,5 hektar sawah di Kecamatan Batui. Banjir ini juga melanda
Kecamatan Toili yang selama ini menjadi sentra penghasil beras Kabupaten Banggai.

Di samping tanaman bahan pangan, hasil perkebunan rakyat seperti kelapa, kakao, dan jambu
mete misalnya, turut memberikan andil yang berarti bagi roda perekonomian Banggai. Di antara
delapan kecamatan yang ada, Kecamatan Bunta menjadi sentra tanaman kelapa dan kakao.
Sementara itu, jambu mete dan sebagian kakao dihasilkan oleh Kecamatan Batui. Sumbangan
kelapa sendiri tidak kecil. Nilainya mencapai 9,1 juta dollar AS melalui ekspor 13.222 ton
minyak kelapa. Ini belum termasuk ekspor bungkil kopra sebanyak 5.700 ton dan kopra 700 ton.

Hasil hutan pun tak kalah perannya bagi pertumbuhan ekonomi Banggai. Setidaknya berdasarkan
angka hingga Agustus 2001 dari Iuran Hasil Hutan (IHH) diperoleh Rp 1,5 milyar dan dari Dana
Reboisasi 453.915 dollar AS. Pemasukan itu berasal dari hasil kayu rimba logs dan selebihnya
dari rotan, damar, kulit japari dan kemiri.

Saat ini Pertaminta terus-menerus berupaya menggali cadangan gas yang tersimpan di bumi
Banggai. Tahun 2003 lalu Pertamina menemukan gas dengan kapasitas 34 MMSCFD (juta kaki
kubik per hari) dan 160 BCPD (barrel kondensat per hari) dari hasil pemboran sumur Donggi
(DNG #1) di desa Kamiwangi, Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah.
Sumur yang mulai ditajak tanggal 14 Agustus 2001 dan berhasil diselesaikan pada tanggal 4
September 2001 dengan kedalaman akhir 2502 MBLB (meter bawah lantai bor) diantaranya
telah dilakukan uji kandung lapisan (UKL). Interval kedalaman 1705 – 1710 M dan
menghasilkan 14 MMSCFGD + 50 BCPD. Sedang interval kedalaman 1620 – 1630 M
menghasilkan 20 MMSCFGD + 110 BCPD. Kondensat yang dihasikan dari kedua lapisan
tersebut mempunyai derajat API sebesar 54 derajat. Selanjutnya untuk membuktikan potensi
cadangan gas di komplek Donggi maupun Blok Matindok Sulawesi Tengah akan dilakukan studi
geologi dan geofisika terpadu yang melibatkan ahli eksplorasi, ahli reservoir dan ahli gas.

SEJARAH SINGKAT KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN

SEBANYAK 121 pulau, lima berukuran sedang, sisanya kecil-kecil bahkan ada yang berwujud
batu karang, mencuat ke permukaan. Laut yang mengelilinginya merajut tebaran pulau itu
menjadi satu untaian yang disebut Banggai Kepulauan. Luas hamparan laut di wilayah ini dua
kali lipat dibandingkan dengan luas daratan yang ada.

SEBELUMNYA, kabupaten ini merupakan kesatuan wilayah dengan Kabupaten Banggai.


Undang- Undang Nomor 51 Tahun 1999 menetapkan pulau-pulau di tengah lautan tersebut
menjadi daerah otonom. Kabupaten induk tetap disebut Kabupaten Banggai dan pemekarannya
disebut Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep).

Sebagai wilayah kepulauan, laut menjadi bagian kehidupan sehari-hari yang selalu dan harus
digeluti. Pasalnya, di sanalah terdapat potensi dan kekayaan alam yang pantas diolah dan
diusahakan sebagai penopang kehidupan penduduk Bangkep. Laut yang bagi banyak orang
terkesan menakutkan bagi kabupaten ini merupakan harapan.

Menurut sensus penduduk tahun 2000, penduduk yang sehari-hari menggeluti perikanan 8.299
orang, sedangkan sebagian petani merangkap menjadi nelayan. Saat lahan pertanian tak lagi
membutuhkan banyak tenaga, mereka biasanya melaut mencari ikan. Dari hamparan air asin
6.522 kilometer persegi ini tahun 2002 ditangkap 11.487 ton ikan. Jika dirupiahkan, nilainya Rp
31,6 miliar, menurun dibandingkan dengan hasil tangkapan tahun sebelumnya yang tercatat
14.140 ton.

Data di atas bisa diperdebatkan karena banyak nelayan yang langsung menjual hasil tangkapan
ke penampung di tengah laut. Kapal-kapal besar yang datang dari Sulawesi Utara dan Kendari
setiap hari menunggu, dilengkapi pendingin. Kontras dengan kapal nelayan tradisional. Di
tengah laut itulah transaksi jual beli terjadi.

Bangkep bergantung pada kehidupan sektor pertanian, termasuk perikanan. Separuh penduduk
lebih hidup dari sektor ini, yakni 61.630 orang, sedangkan penduduk yang hidup dari perikanan
8.299 orang. Sudah umum diketahui kebanyakan petani merangkap sebagai nelayan.

Ikan kerapu hidup merupakan primadona tangkapan nelayan. Harga dari nelayan ke penampung
berkisar Rp 60.000 hingga Rp 120.000 per kilogram, tergantung jenis ikan. Kerapu macan lebih
murah daripada kerapu tikus, dan yang termahal ikan napoleon. Di tangan pedagang, harganya
Rp 300.000 per kilogram.
Ikan layang atau ikan pelagis yang banyak ditangkap nelayan di tangan penampung dihargai
sekitar Rp 500 per kilogram. Khusus layang super berekor kuning, harganya Rp 2.500 per
kilogram. Selain ikan segar, Bangkep juga dikenal dengan cumi-cumi kering. Tahun 2002
dihasilkan 345.000 ton ukuran kecil dan 220.000 ton ukuran besar, sebagian besar dikirim ke
Jawa.

Kontribusi perikanan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Bangkep tahun 2002
tercatat Rp 33,3 miliar, atau sekitar 6,8 persen dari total kegiatan ekonomi Rp 491,4 miliar.
Perkebunan menyumbang 19,4 persen dan tanaman bahan pangan 18,5 persen.

Andalan perkebunan wilayah ini adalah kelapa, cengkeh, kakao, dan jambu mete yang dihasilkan
hampir di seluruh kecamatan. Dari masing-masing komoditas tersebut tahun 2002 dihasilkan
18.235 ton kelapa, 805 ton cengkeh, 1.642 ton kakao, dan 1.115 ton jambu mete. Karena di
Bangkep belum ada industri pengolahan yang mampu menyerap hasil perkebunan ini, petani
memasarkan dalam bentuk apa adanya ke luar Bangkep.

Seperti halnya kelapa, setelah dikeringkan dalam bentuk kopra dikirim ke Luwuk, ibu kota
Kabupaten Banggai. Di kabupaten induk terdapat pabrik minyak goreng yang membutuhkan
bahan baku kopra. Sebagian dikirim ke Surabaya untuk keperluan yang sama. Adapun jambu
mete sebagian besar dibeli oleh pedagang dari Pulau Jawa.

Cengkeh yang dulu pernah menjadi pundi-pundi uang petani kini terpuruk. Cengkeh kering per
kilogram dihargai Rp 12.000-Rp 13.000. Padahal tahun 2002 pernah mencapai Rp 80.000.

Meskipun sumbangan tanaman bahan pangan wilayah ini terhadap perekonomian Bangkep
cukup berarti, untuk mencukupi kebutuhan pangan terutama beras, Bangkep mendatangkan dari
luar. Beras didatangkan dari Kabupaten Banggai yang di tahun 2002 surplus sekitar 32.000 ton.
Juga didatangkan dari Kabupaten Parigi Moutong.

Mulai Maret 2003, khususnya di Pulau Banggai, listrik menyala 24 jam. Penerangan yang tanpa
henti ini banyak menolong nelayan menyimpan hasil tangkapan. Produksi es untuk membekukan
ikan akan selalu tersedia.

Sebagai wilayah kepulauan, angkutan laut sangat dibutuhkan. Apalagi kapal-kapal besar yang
bisa mengangkut hasil bumi ke provinsi atau pulau lain tersedia. Sebelum Oktober 2003 ada
kapal Pelni KM Ciremai yang menghubungkan Banggai ke Tanjung Priok, Jakarta . Satu minggu
sekali kapal ini angkat jangkar dari Banggai. Berangkat Jumat pagi dan Senin pagi merapat di
Tanjung Priok, Jakarta .

Keberadaan kapal tersebut sangat membantu perekonomian Bangkep. Hasil bumi dan laut
wilayah ini, yang paling menonjol adalah cumi kering, bisa cepat sampai ke konsumen di Pulau
Jawa. Namun, sejak Oktober 2003, setelah 10 tahun menjalani jalur ini, KM Ciremai tidak lagi
singgah di Banggai. Sebagai gantinya, wilayah ini disinggahi KM Tilongkabila yang tak
langsung ke Jakarta .
Kapal ini sebulan sekali mampir di Banggai. Alur perjalanan dari Bitung, Luwuk, Banggai,
Morowali, Kendari, Makassar, terus ke Benoa. Bagi Bangkep, perubahan rute perjalanan dan
jadwal kedatangan kapal yang semakin lama ini mempengaruhi perekonomian masyarakat.

Biaya yang dikeluarkan untuk komoditas dari Banggai yang di kirim ke Jawa semakin
membengkak, waktu tempuh yang dibutuhkan semakin panjang. Konsumen terkena dampak
karena barang tersebut semakin mahal. Kalau ada pesaing yang memasok dengan harga lebih
miring dan waktu lebih cepat, bisa dipastikan konsumen akan beralih ke pemasok lain. Ini bisa
menjadi ancaman serius bagi pedagang, petani, dan nelayan Bangkep.

Wilayah Bangkep kaya akan keindahan laut, pantai, dan pulau-pulau kecil yang memesona.
Semakin sulitnya mencapai kabupaten ini, semakin jauh harapan untuk bisa menarik wisatawan.
Kepada siapa lagi mereka berharap kecuali pemerintah pusat.

SEJARAH TEBENTUKNYA KABUPATEN BANGGAI..

Sejarah Kabupaten Banggai

Sekitar abad ke-13, masa pada masa keemasan kerajaan Singosari yang berpusat di jawa Timur,
ketika itu Singosari di bawah kekuasan terakhir dan terbesar yaitu Kertanegara ( 1268-1292 ),
nama Banggai telah di kenal dan menjadi bagian kerajaan Singaosari. Berikutnya, sekitar abad
13-14 Masehi pada masa kerajaan Mojopahit yang juga berpusat di Jawa Timur, ketika tampuk
pemerintahan di pegang raja terbesar Mojopahit bernama Hayam Wuruk ( 1351-1389 ) saat itu
kerajaan Banggai sudah dikenal dengan sebutan “BENGGAWI”dan menjadi bagian kerajaan
Mojopahit.

Bukti bahwa kaerajaan Banggai sudah di kenal sejak zaman Mojopahit dengan nama Benggawi
setidaknya dapat di lihat dari apa yang telah di tulis seorang pujangga Mojopahit yang bernama
Mpu Prapanca dalam bukunya ”Negara Kartagama”, buku bertarikh caka 1478 atau tahun 1365
Masehi,yang dimuat dalam seuntai syair nomor 14 bait kelima sebagai berikut “Ikang Saka
Nusa-Nusa Mangkasara, Buntun Benggawi, Kuni, Galiayo, Murang Ling Salayah, Sumba, Solor,
Munar, Muah, Tikang, I Wandleha, Athawa Maloko, Wiwawunri Serani Timur Mukadi
Ningagaku Nusantara”. (Mangkasara = Makasar, Buntun = Buton, Benggawi = Banggai, Kunir =
Pulau Kunyit, Salayah = Selayar, Ambawa = Ambon, Maloko = Maluku ). Hayam Wuruk ingin
mempersatukan Nusantara lewat sumpah Palapa yang di ucapkan sang Pati Gajah Mada. Dengan
sumpah tersebut Hayam Wuruk makin terkenal dengan programnya mempersatukan Nusatara.

Di daerah yang sekarang kita kenal sebagai Kabupaten Banggai pernah bediri kerajaan-kerajaan
kecil. Yang tertua bernama kerjaan bersaudara Buko dan Bulagi. Letak kerajaan Buko dan
Bulagi berada di pulau Peling belahan barat. Kemudian muncul keajaan-kerajaan baru seperti,
Kerajaan Sisipan, Kerajaan Lipotomundo, dan Kadupadang. Semuanya berada di pulau Peling
bagian tengah (sekarang kecamatan Liang). Sementara di bagian pulau Peling sebelah timur
(sekitar Kecamatan Totikum dan Tinangkung), waktu itu telah berdiri kerajaan yang agak besar
yakni kerajaan Bongganan.
Upaya unntuk memekarkan kerjaan Bongganan dilakukan Pangeran dan beberapa bansawan
kerajaan akhirnya membuahkan hasil bila sebelumnya wilayah kerajaan banggai hanya meliputi
pulau Banggai, kemudian dapat diperlebar. Di banggai Darat ( kabupaten Banggai, waktu itu
sudah berdiri Kerajaan Tompotika yang berpusat di sebelah utara ( Kecamatan Bualemo ) bagian
Selatan kerajaan tiga bersaudara Motiandok, Balaloa, dan Gori-Gori.

Perkembangan Kerajaan Banggai yang ketika itu masih terpusat di Pulau Banggai, mulai pesat
dan menjadi Primus Inter Pares atau yang utama dari beberapa kerajaan yang ada, sewaktu
pemerintahan Kerajaan Banggai berada di bawah pembinaan Kesultanan ternate akhir abad 16.
Wilayah Kerajaan Banggai pada tahun 1950-an hanya meliputi Pulau Banggai, kemudian
diperluas sampai ke Banggai Darat, hingga ke Tanjung Api, Sungai Bangka dan Togung Sagu
yang terletak di sebelah Selatan Kecamatan Batui. Perluasan wilayah Kerajaan Banggai
dilakukan oleh Adi Cokro yang bergelar Mumbu Doi Jawa pada abad ke-16. Istilah ” Mumbu
Doi” berarti yang wafat atau mangkat, khusus dipakai untuk raja-raja Banggai yang tertinggi
derajatnya.

Adi Cokro adalah bangsawan dari Pulau Jawa yang mengabdikan diri kepada Sultan Baab-Ullah
dari Ternate. Di tangan Adi Cokro kerajaan-kerajaan Banggai mampu dipersatukan hingga
akhirnya ia dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai. Adi Cokro tercatat pula sebagai orang
yang memasukkan agama Islam ke Banggai. hal tersebut sebagaimana ditulis Albert C. Kruyt
dalam bukunya De Vorsten Van Banggai ( Raja-raja Banggai). Adi Cokro bergelar Mumbu Doi
Jawa, yang dalam dialeg orang Banggai disebut Adi Soko, mempersunting seorang wanita asal
Ternate berdarah Portugis bernama Kastellia ( Kastella). Perkawinan Adi dengan Kastellia
melahirkan putra bernama Mandapar yang kemudian menjadi Raja Banggai. Istilah ” Adi”
merupakan gelar bangsawan bagi raja-raja Banggai, hal tersebut sama dengan gelar RM ( Raden
Mas) untuk bangsawan Jawa atau Andi bagi bangsawan bugis.

Karena Kerajaan Banggai dikenal oleh Kerajaan Ternate, sementara Kerajaan Ternate ditaklukan
Bangsa Portugis, otomatis Kerajaan Banggai berada dibawah kekuasaan Bangsa Portugis. Bukti,
itu setidaknya dapat dilihat dengan ditemukannya sisa-sisa peninggalan Bangsa Portugis di
daerah ini di antaranya meriam kuno atau benda peninggalan lainnya.

Tahun 1532 P.A. Tiele pernah menulis dalam bukunya De Europeers in Den maleischen
Archipel, di sana disebutkan, bahwa pada tahun 1532. Laksamana Andres De Urdanette yang
berbangsa Spanyol merupakan sekutu (kawan) dari Sultan Jailolo, pernah mengunjungi wilayah
sebelah Timur Pulau Sulawesi ( Banggai ). Andres de Urdanette merupakan orang barat pertama
yang menginjakan kaki di Banggai. Sedang orang Portugis yang pertama kali datang ke Banggai
bernama Hernando Biautemente tahu 1596.

Tahun 1956 Pelaut Belanda yang sangat terkenal bernama Cornelis De Houtman datang ke
Indonesia. Menariknya, pada tahun 1594 atau dua tahun sebelum datang ke Indonesia Cornelis
De Houtman sudah menulis tentang Banggai. ketika Adi Cokro yang bergelar Mumbu Doi Jawa,
kembali ke tanah Jawa dan wafat disana. Tampuk Kerajaan Banggai dilanjutkan oleh Mandapar
dengan gelar Mumbu Doi Godong. Mandapar dilantik sebagai Raja Banggai pada tahun 1600 di
Ternate oleh Sultan Said Uddin Barkat Syah.
Tahun 1602 Belanda datang ke Indonesia dan mendirikan Vereeniging Oast Indische Compagnie
(VOC) yang merupakan Kongsi Dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur
(Indonesia). Kesaksian salah seorang pelaut bangsa Inggris bernama David Niddeleton yang
pernah dua kali datang ke Banggai menyebutkan; Pengaruh VOC di Banggai sudah ada sejak
Raja Mandapar memimpin Banggai. Kerajaan Banggai pernah dikuasai Ternate. namun setelah
Kerajaan Ternate dapat ditaklukan dan direbut oleh Sultan Alaudin dari Kerajaan Gowa
(Sulawesi Selatan) maka Banggai ikut menjadi bagian dari Kerajaan Gowa. Dalam sejarah
tercatat Kerajaan Gowa sempat berkembang dan mempunyai pengaruh yang sangat besar dan
kuat di Indonesia Timur.

Kerajaan Banggai berada di bawah pemerintahan Kerajaan Gowa berlangsung sejak tahun 1625-
1667. Pada tahun 1667 dilakukan perjanjian Bongaya yang sangat terkenal antara Sultan
Hasanuddin dari Kerajaan Gowa melepaskan semua wilayah yang tadinya masuka dalam
kekuasaan Kerajaan Ternate seperti Selayar, Muna, Manado, Banggai, Gapi (Pulau Peling),
Kaidipan, Buol Toli-Toli, Dampelas, Balaesang, Silensak dan kaili.

Pada saat Sultan Hasanuddin dikenal sebagai raja yang sengit melawan Belanda. Bentuk
perjuangan yang dilakukan Hasanuddin ternyata memberikan pengaruh tersendiri bagi Raja
Banggai ke-4, yakni Raja Mbulang dengan gelar Mumbu Doi Balantak ( 1681-1689 ) hingga
Mbulang memberontak terhadap Belanda. Sebenarnya Mbulang Doi Balantak menolak untuk
berkongsi dengan VOC lantaran monopoli dagang yang terapkan Belanda hanya menguntungkan
Belanda, sementara rakyatnya di posisi merugi. Tapi apa hendak dikata, karena desakan Sultan
Ternate yang menjadikan Kerajaan Banggai sebagai bagian dari taklukannya, dengan terpaksa
Mbulang Doi Balantak tidak dapat menghindar dari perjanjian yang dibuat VOC (Belanda).

Tahun 1741 tepatnya tangga l 9 November perjanjian antara VOC dengan Mbulang Doi Balantak
diperbarui oleh Raja Abu Kasim yang bergelar Mumbu Doi Bacan. Meski perjanjian telah
diperbaharui oleh Abu Kasim, tetapi secara sembunyi-sembunyi Abu Kasim menjalin perjanjian
kerjasama baru dengan Raja Bungku. Itu dilakukan Abu Kasim dengan target ingin melepaskan
diri dari Kerajaan Ternate. Langkah yang ditempuh Abu Kasim ini dilakukan karena melihat
beban yang dipikul oleh rakyat Banggai sudah sangat berat karena selalu dirugikan oleh VOC.
Tahu raja Abu Kasim menjalin kerjasama dengan Raja Bungku, akhirnya VOC jadi berang
(marah). Abu Kasim lantas ditagkap dan dibuang ke Pulau Bacan (Maluku Utara), hingga
akhirnya meninggal disana.

Usaha Raja-raja Banggai untuk melepaskan diri dari belenggu Kerajaan Ternate berulang kali
dilakukan dan kejadian serupa dilakukan Raja Banggai ke-9 bernama Antondeng yang bergelar
Mumbu Doi Galela (1808 – 1829). Serupa dengan Raja-raja Banggai sebelumnya, Antondeng
juga melakukan perlawanan kepada Kesultanan Ternate. Sebenarnya perlawanan Anondeng
ditujukan kepada VOC (Belanda). Karena Antondeng menilai perjanjian yang disebut selama ini
hanya menguntungkan Hindia Belanda dan menjepit rakyatnya. Karena itulah Antondeng
berontak. Karena perlawanan kurang seimbang, Antondeng kemudian ditangkap dan dibuang ke
Galela (Pulau Halmahera).

Setelah Antondeng dibuang ke Halmahera, Kerajaan Banggai kemudian dipimpin Raja Agama,
bergelar Mumbu Doi Bugis. Memerintah tahun 1829 – 1847. Raja Agama sempat melakukan
perlawanan yang sangat heroik dalam perang Tobelo yang sangat terkenal. Tetapi Kerajaan
ternate didukung armada laut yang modern, akhirnya mereka berhasil mematahkan perlawanan
Raja Agama. Pusat perlawanan Raja Agama dilakukan dari Kota Tua – Banggai (Lalongo).
Dalam perang Tobelo, Raja Agama sempat dikepung secara rapat oleh musuh. Berkat bantuan
rakyat yang sangat mencintainya, Raja Agama dapat diloloskan dan diungsikan ke wilayah Bone
Sulawesi Selatan, sampai akhirnya wafat di sana tahun 1874.

Setelah Raja Agama hijrah ke Bone, munculah dua bersaudara Lauta dan Taja. Kepemimpinan
Raja Lauta dan Raja Taja tidak berlangsung lama. Meski hanya sebentar memimpin tetapi
keduanya sempat melakukan perlawanan, hingga akhirnya Raja Lauta dibuang ke Halmahera
sedang Raja Taja diasingkan ke Pulau Bacan, Maluku Utara.

Dalam Pemerintahan Kerajaan Banggai, sejak dulunya sudah dikenal sistem demokrasi. Dimana
dalam menjalankan roda pemerintahan Raja akan dibantu oleh staf eksekutif atau dewan menteri
yang dikenal dengan sebutan komisi empat, yaitu:

1. Mayor Ngopa atau Raja Muda


2. Kapitan Laut Kepala Angkatan Perang
3. Jogugu atau Menetri Dalam Negeri
4. Hukum Tua atau Pengadilan

Penunjukan dan pengangkatan komisi empat, dilakukan langsung oleh Raja yang tengah
bertahta. sementara badan yang berfungsi selaku Legislatif disebut Basalo Sangkap. terdiri dari
Basalo Dodonung, Basalo Tonobonunungan, Basalo Lampa, dan Basalo Ganggang. Basalo
Sangkap diketuai oleh Basalo Dodonung, dengan tugas melakukan pemilihan setiap bangsawan
untuk menjadi raja. Demikian pula untuk melantik seorang raja dilakukan di hadapan Basalo
Sangkap. Basalo sangkap yang akan melantik raja, lalu akan meriwayatkan secara teratur sejarah
raja-raja Banggai.

Berurut kemudian disebutkanlah calon raja yang akan dilantik, yang kepadanya akan dipakaikan
mahkota kerajaan. Dengan begitu, raja tersebut akan resmi menjadi Raja Kerajaan Banggai.
Silsilah raja-raja Banggai disebutkan sebagai berikut:

1. Mandapar dengan gelar Mumbu Doi Godong,


2. Mumbu Doi Kintom,
3. Mumbu Doi Balantak,
4. Mumbu Doi Benteng,
5. Mumbu Doi Mendono,
6. Abu Kasim,
7. Mumbu Doi Pedongko,
8. Manduis,
9. Antondeng,
10. Agama,
11. Blauta,
12. Taja,
13. Tatu Tanga,
14. Saok,
15. Nurdin,
16. Abdul Azis,
17. Abdul Rahman,
18. Haji Awaludin,
19. Haji Syukuran Aminuddin Amir.

Demikian sejarah Banggai yang sekarang menjadi Kabupaten banggai

Profil Kerajaan Banggai

Setiap Komunitas Masyarakat pada Masa ke masa memiliki ikatan emosional yang kuat, baik
karena kesamaan Adat Istiadat, maupun karena di satukan oleh kondisi Giografis Banggai adalah
salah satu di antara Komunitas yang telah eksis ratusan Tahun yang lalu sebelum Kerajaan
Banggai secara resmi terbentuk pada Tahun 1600 M.

Pada masa pra Kerajaan Banggai di wilayah kekuasan Kerajaan Banggai berdiri empat buah
Kerajaan yang memiliki Wilayah dan berdaulat atas wilayahnya. Empat Kerajaan dimaksud
adalah Babolau berkedudukan di Babolau ± 5 km dari Desa Tolise Tubono, Kokini
berkedudukan di Desa lambako, Katapean berkedudukan di desa Sasaban ± 5 km dari Desa
Monsongan dan Singgolok berkedudukan di Bungkuko Tatandak ± 7 km dari Desa Gonggong
Keempat Kerajaan tersebut hidup dalam suasana saling mencurigai bahkan cenderung
bermusuhan sehingga sering terjadi peperangan antara keempat Kerajaan tersebut ini, masing –
masing mempertahankan kedaulatannya dan tidak ada yang mengalah.

Dalam suasa bermusuhan ini datang seorang Pangeran penyembar Agam Islam dari Kerajaan
Kediri yang bernama Tabea ADI COKRO ( Mbumbu doi Jawa ),atau di Banggai dikenal ADI
SOKO menginjakkan kaki di Banggai sekitar Tahun 1580 M, kedataangan Adi Cokro di Pulau
Banggai menemukan suasana Masyarakat yang saling bermusuhan antara Kerajaan Babolau,
Kokini, Katapean, dan Kerajaan Singgolok maka sebagai seorang yang bijak timbullah niatannya
untuk mempersatukan kerajaan yang saling bermusuhan tersebut.

Adi Cokro selama tinggal di Banggai kawin dengan Putri Nurusjaffa salah seorang Putri
Kerajaan Singgolok, dan Putri Kerajaan Babolau bernama Nursia Kutubuzzaman, perkawinan
Adi Cokro dengan Nurussaffa Kutubul Qaus memperoleh seorang Putra bernama Abu Qasim
dan perkawinan dengan Nursia Kutubuzzaman memperoleh anak bernama Putri Saleh. Namun
sebelum beliu pergi ke Banggai, Adi Cokro pernah tinggal di Kerajaaan Ternate dan sempat
kawin dengan seorang Bangsawan bernama Castella berketurunan Portugis, dari perkawinan ini
memperoleh seorang Putra Maulana Prins Mandapar dan pendekatan perkawinan Adi Cokro
tersebut berhasil mempersatukan Empat Kerajaan tersebut dengan memberikan kewenangan
untuk mengangkat Raja atau Tomundo. Empat Raja yang dipersatukan tersebut diberi gelar
Basalo yang dikenal dengan “ Basalo Sangkap “ Pada masa inilah terbentuknya awal mula
Kerajaan Banggai secara terorganisir,

Sebagai pendiri Kerajaan Banggai mereka disebut Basalo Sangkap dengan kedudukan sebagai
lembaga tinggi sejajar dengan Tomundo/ Raja. Basalo Sangkap membidangi urusan Legislatif
dan penasihat Tomundo yang berhak memilih, mengangkat, melantik dan memberhentikan Raja.
Sedangkan Tomundo membidangi urusan Eksekutif / pemerintahan kerajaan. Di Kerajaan
Banggai tidak dikenal dengan adanya putra Mahkota, karena setiap pergantian Raja ditetapkan
dalam musyawarah Basalo Sangkap. Silsilah Raja – Raja Kerajaan Banggai yang terbagi dalam 2
masa yakni periode Kerajaan Kuno dan Periode Kerajaan Baru ( 1600 – 2009 M ). Dan Silsilah
Raja – raja setelah terbentuknya awal mula Kerajaan Banggai secara terorganisir 1600 – 2009 M

Secara De Jure kerajaan Banggai berakhir pada tahun 1952 dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah No. 33 tahun 1952, tanggal 12 Agustus 1952 Tentang Penghapusan Daerah
Otonom Federasi Kerajaan Banggai.

Wilayah Kerajaan Banggai kini terletak di Kabupaten Banggai Kepulauan, Pulau Banggai,
Provinsi Sulawesi Tengah. Menurut buku Babad Banggai Sepintas Kilas susunan Machmud HK,
kerajaan ini diperkirakan berdiri pada 1525.

Machmud mengatakan, sulit sekali memeroleh fakta-fakta yang obyektif untuk penulisan sejarah
Banggai, apalagi tidak ada catatan tertulis sarna sekali tentang sejarah Banggai pada tahun-tahun
sebelum abad ke-14. Sumbernya, kata Machmud, hanya cerita dari mulut ke mulut atau dari
balelee, yakni cerita yang disampaikan dengan cara bernyanyi oleh seseorang yang dinilai
kemasukan roh halus.

Satu-satunya bukti tertulis yang menunjukkan Banggai pada abad ke-14, adalah Nagarakre-
tagama karangan Mpu Prapanca yang bertarikh 1278 Saka (1365 M). Prapanca menamai
Banggai dengan Banggawi.

Empat Kerajaan Kecil: Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean

Kerajaan Babolau merupakan satu dari empat kerajaan kecil yang pernah berdiri di Pulau
Banggai. Tiga kerajaan lainnya adalah Kerajaan Singgolok, Kookini, dan Katapean, yang
masing-masing juga memiliki “rumah keramat” yang dianggap bekas istana. Tidak ada literatur
yang dapat memastikan tahun berapa keempat kerajaan itu berdiri. Babad Banggai Sepintas
Kilas, misalnya, hanya menyebut keempat kerajaan itu masih berdiri sampai abad ke-15.

Delapan dari 24 pemangku adat Kerajaan Babolau pun, tidak dapat memastikan tahun berapa
Babolau dan tiga kerajaan lainnya berdiri. “Kami tidak tahu pasti tahun berdirinya. Tapi, dari
cerita orangtua kami dulu, empat kerajaan inilah yang menjadi cikal bakal Kerajaan Banggai,”
tutur Jabura, pemangku adat Kerajaan Babolau lainnya.

Adi Cokro, Panglima Perang Kesultanan Ternate, Pendiri Kerajaan Banggai

Dari sejumlah pustaka disimpulkan, pada awal abad ke-16 empat kerajaan kecil itu dikuasai
Kesultanan Ternate. Adi Cokro, Panglima Perang Kesultanan Ternate yang berasal dari Jawa,
kemudian menyatukannya menjadi satu kerajaan, yaitu Kerajaan Banggai yang beribukota di Pu-
lau Banggai. Adi Cokro inilah yang dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai.
Oleh Adi Cokro, keempat rajanya kemudian dijadikan Basalo Sangkap yang terdiri dari Basalo
Dodung (Raja Babolau), Basalo Gong-gong (Raja Singgolok), Basalo Bonunungan (Raja
Kookini), dan Basalo Monsongan (Raja Katapean).

Setelah memperluas wilayah Kerajaan Banggai, dari semula hanya Banggai Laut (kini Bangkep)
sampai ke Banggai Daratan (Kabupaten Banggai), Adi Cokro kembali ke Jawa. Basalo Sangkap
lantas memilih Abu Kasim, putra Adi Cokro hasil perkawinan dengan Nurussapa, putri Raja
Singgolok, menjadi Raja Banggai. Namun, sebelum dilantik, Abu Kasim dibunuh bajak laut
dalam suatu pelayaran hingga tewas.

Basalo Sangkap kemudian memilih Maulana Prins Mandapar, anak Adi Cokro yang lain, hasil
perkawinannya dengan seorang putri Portugis. Basalo Sangkap ini pula yang melantik Mandapar
menjadi raja pertama Banggai yang berkuasa mulai tahun 1600 sampai 1625. Menurut
Machmud, Raja Mandapar berkuasa sejak tahun 1571 sampai tahun 1601.

Pelantikan Mandapar dan raja-raja setelahnya dilakukan di atas sebuah batu yang dipahat
menyerupai tempat duduk. Sampai saat ini batu tersebut masih ada di Kota Tua Banggai
Lalongo, sekitar 5 km dari Kota Banggai.

Perang Tobelo

Setelah masa kekuasaan Raja Mandapar berakhir, raja-raja Banggai berikutnya berusaha
melepaskan diri dari Kesultanan Ternate. Mereka menolak bekerja sama dengan Belanda, yang
pada 1602 sudah menginjakkan kaki di Banggai. Upaya melepaskan diri dari kekuasaan Ternate
ini mengakibatkan sejumlah raja Banggai ditangkap lalu dibuang ke Maluku Utara.

Perlawanan paling gigih terjadi pada masa pemerintahan raja Banggai ke-10 yang bergelar
Mumbu Doi Bugis. Pada masanya meletuslah Perang Tobelo.

Sampai awal 2000, warga Banggai mengaku masih sering menemukan sisa-sisa Perang Tobelo
di Kota Tua Banggai Lalongo, sekitar 5 km dari pusat Kota Banggai. Sisa-sisa yang dimaksud
adalah berupa tengkorak dan tulang-belulang manusia yang diduga sebagai tulang-belulang
prajurit Kerajaan Banggai atau dari pihak Ternate. Warga pun sering menemukan porselin yang
diperkirakan dibawa orang-orang Cina ke Banggai sejak abad ke-13.

Basalo Sangkap, Lembaga Legislatif ala Kerajaan Banggai

Hingga 1957 raja-raja Banggai berjumlah 20 orang. Jika dinilai tidak mampu memimpin, raja-
rajanya dapat diberhentikan, layaknya kehidupan demokratis zaman ini.

Basalo Sangkap—semacam lembaga legislatif—adalah yang bertugas memilih, melantik, dan


memberhentikan raja Banggai. Terbentuknya Basalo Sangkap ini berawal dari empat kerajaan
kecil di Pulau Banggai: Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean.

Dalam Babad Banggai Sepintas Kilas dikatakan, sebelum Kerajaan Banggai berdiri, empat
kerajaan ini selalu berselisih. Masing-masing ingin menguasai yang lain, saling bersitegang.
Namun, persaingan tersebut tidak sampai pada peperangan, melainkan hanya adu kesaktian raja
masing-masing. Mungkin karena selalu berselisih, maka empat kerajaan tersebut jatuh ke dalam
kekuasaan Kesultanan Temate, sekitar abad ke-16.

Adi Cokro, Panglima Perang Kesultanan Temate yang berasal dari Jawa, kemudian menyatukan
keempat kerajaan itu, menjadi Kerajaan Banggai. Keempat rajanya kemudian dijadikan Basalo
Sangkap yang terdiri dari Basalo Dodung (Raja Babolau), Basalo Gong-gong (Raja Singgolok),
Basalo Bonunungan (Raja Kookini), dan Basalo Monsongan (Raja Katapean).

Setelah Adi Cokro menyatukan keempat kerajaan itu, ia kembali ke Jawa. Basalo Sangkap lalu
memilih Abu Kasim. Namun, sebelum dilantik, Abu Kasim dibunuh bajak laut. Basalo Sangkap
pun memilih Maulana Prins Mandapar, lalu melantiknya menjadi raja pertama Banggai (1600-
1625).

Komisi Empat dan Pembantu-pembantunya

Setelah Mandapar dilantik, Kerajaan Banggai mulai ditata sedemikian rupa sehingga sistem
pemerintahan dan kehidupan rakyatnya berjalan secara baik. Untuk membantu raja, dibentuklah
dewan menteri, dikenal dengan Komisi Empat. Komisi Empat ini terdiri dari Mayor Ngopa (Raja
Muda), Kapitan Laut (Kepala Angkatan Perang), Jogugu (Menteri Dalam Negeri), dan Hukum
Tua (Pengadilan).

Komisi Empat tersebut masing-masing memiliki sejumlah pembantu. Mereka dan pembantu-
pembantunya dipilih dan diangkat langsung oleh raja dengan persetujuan Basalo Sangkap. Selain
Komisi Empat dan pembantu-pembantunya, raja juga mengangkat staf pribadi untuk urusan
pemerintahan dan rumah tangga istana.

Ketika empat raja yang menjadi Basalo Sangkap itu mangkat, posisi mereka digantikan oleh
keturunannya atau setidak-tidaknya oleh orang yang memiliki hubungan keluarga dengan
mereka. Sampai saat ini keturunan dari Basalo Sangkap itu masih dapat kita temui.

Namun, peranan keturunan mereka tidak lagi sebagai Basalo Sangkap yang memilih, melantik,
dan memberhentikan raja, melainkan sebagai pemangku adat kerajaan masing-masing. Peranan
Basalo Sangkap di Kerajaan Banggai telah berakhir seiring dengan berakhirnya kekuasaan Raja
Banggai ke-20, Raja Syukuran Aminudin Amir, pada 1957. Dua tahun setelah itu, wilayah
kekuasaan Kerajaan Banggai resmi menjadi Daerah Swantara (setingkat kabupaten) Tingkat II
Banggai.

Jabura, salah seorang pemangku adat Kerajaan Babolau, mengatakan, silsilah keturunan Basalo
Sangkap masih jelas. Masing-masing kerajaan (Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean)
memiliki 24 pemangku adat yang merupakan keturunan raja. Tugas mereka saat ini adalah
menjaga dan melestarikan peninggalan kerajaan masing-masing, seperti istana, pedang, tombak,
dan bendera pusaka.

Jejak-jejak Kerajaan Banggai


Di Kota Tua Banggai Lalongo, yang dahulu menjadi pusat Kerajaan Banggai, pun masih dapat
ditemukan sejumlah situs tua, seperti tempat duduk pelantikan raja-raja Banggai yang terbuat
dari batu dan sumur tua (sumber mata air penduduk setempat kala itu). Sayang, situs-situs berse-
jarah tersebut sangat tidak terawat, ditutupi semak belukar.

Jejak Kerajaan Banggai juga dapat ditemukan dengan rnengunjungi Keraton Banggai yang
terletak di pusat Kota Banggai. Namun, selain tidak mendapatkan informasi tahun berapa istana
Kerajaan Banggai itu didirikan, kita juga tidak akan rnenemukan benda-benda peninggalan
Kerajaan Banggai di sana, selain dua meriam buatan Belanda.

Setelah kekuasaannya berakhir, raja-raja Banggai membawa benda-benda peninggalan kerajaan


ke rumahnya masing-masing. Hal itu terjadi karena raja-raja Banggai bukan berasal dari satu
garis keturunan, melainkan dipilih dari rakyat biasa yang dianggap mampu memimpin Kerajaan.

Kamali Boneaka, Rumah Keramat Banggai

Jika biasanya para penjaga istana dan benda-benda pusaka kerajaan adalah para lelaki, lain
halnya di Banggai Kepulauan, di mana perempuanlah yang dipercayakan bertugas menjaganya.
Itu pun perempuan yang berusia 50 hingga 80 tahunlah yang memenuhi syarat menjaganya.
Pimpinan ini diserahkan kepada seorang perempuan berusia 80 tahun bernama Patin.

Patin adalah seorang keturunan langsung dari salah seorang raja yang pernah berkuasa
di Banggai. Sejauh ini tidak pernah ada yang berani mengusili ataupun menjamah koleksi pusaka
itu. Hanya atas izin Patin seseorang diperkenankan masuk ke dalam istana. Patin adalah warga
terpilih yang memiliki hak istimewa untuk tidur dan makan di rumah peninggalan kerajaan
leluhur tersebut. Ia dihormati sebagai sosok suci yang layak menjadi penjaga utama karena
dirinya memenuhi semua syarat yang ditentukan adat: keturunan langsung raja terakhir yang
berdiam di istana itu, sudah tidak haid, dan tidak bersuami sehingga mampu sepenuh jiwa-raga
mencurahkan dirinya bagi tugas yang diembannya.

Kata Kamali Boneaka secara harafiah berarti “rumah keramat”. Ini adalah bekas istana Kerajaan
Babolau, salah satu kerajaan di Banggai Kepulauan yang ditaklukkan oleh Kesultanan Ternate
dan kemudian bergabung dalam Kerajaan Banggai. Rumah panggung dari kayu yang masih
berdiri kokoh konon sudah berumur ratusan tahun sehingga mengalami beberapa kali
pemugaran. Di dalamnya tersimpan benda-benda pusaka yang usianya lebih kurang sama dengan
usia rumah tersebut, seperti pedang, tombak, payung, dan bendera, juga kain pelantikan
Tomundo sepanjang 17 meter bewarna merah. “

Rumah pusaka berbentuk panggung itu terdiri dari sebuah teras, sebuah ruang utama seluas
kurang-lebih 5 x 8 meter, dan dua ruang kecil—satu kamar tidur dan satu lagi dapur. Untuk
memasuki rumah pusaka ini disediakan dua tangga: di sisi kanan dan sisi kiri teras. Menurut
tradisi, tamu hanya boleh naik dari tangga di sebelah kanan teras. Sehari-hari, Patin melakukan
kegiatan dan tidur di ruang utama rumah pusaka Kamali Boneaka .

Di rumah keramat ini tersimpan sebuah bendera pusaka warisan leluhur dari abad ke-13.
Warnanya merah-putih, seperti Sang Merah-putih, namun ia merah-putih bersusun 13. “Kami
yakin, Bendera Indonesia kini, terinspirasi salah satunya dari bendera Kerajaan Banggai,” kata
Hamzen B. Kuat dari Lembaga Adat Masyarakat Banggai.

Benda-benda pusaka yang tersimpan di Kamali Boneaka tidak sembarang waktu bisa dipegang
atau dibersihkan. Jadwalnya tiga tahun sekali. Membersihkannya pula harus menggunakan air
yang diambil dari sebuah sumur yang dipercaya sebagai keramat di depan bekas Istana Kerajaan
Babolau itu. Prosesi pencucian pusaka leluhur ini dinamakan Bakubusoi dalam dialek Banggai.
Menurut Sri Wahyuni, salah seorang perempuan yang memelihara istana, benda-benda pusaka
Kamali Boneaka hanya boleh disentuh oleh Patin.

Ada dua pedang melekat di dinding. Ada pula sebuah tongkat kayu, sebilah tombak, tameng dan
payung pelantikan Tomundo (raja/ratu) diikat dengan kain merah di tiang tengah rumah. Lalu ada
dua botol berisi air dari sumur keramat. Di bagian kanan ruang utama Kamali Boneaka tersimpan
sejumlah kain merah pengikat perut yang dipakai saat pelantikan oleh 12 perempuan penjaga
Kamali, ditambah dengan 17 meter kain panjang yang juga bewarna merah. Itu digunakan saat
mengelilingi Tomundu baru yang akan dilantik.

“Molikur atau mengelilingi raja dengan kain panjang berwarna merah adalah satu tugas
perempuan penjaga Kamali Boneaka,” tutur Patin.

Untuk menjaga Kamali Boneaka, Patin dibantu oleh para penjaga istana yang berjumlah 24
orang yang berusia 50 tahun ke atas, 12 perempuan dan 12 lelaki. Sehari-harinya, mereka
bertugas membersihkan halaman istana, membersihkan istana dan menyiapkan makanan bagi
Patin. Kamali Boneaka sangat dihormati dan kelestariannya sangat diperhatikan oleh setiap
warga.

Terlihat dari susunan pemerintahan di Kerajaan Palu dapat dikatakan bahwa Kerajaan Palu pada saat
itu sudah sangat matang, hal ini yang membuat rakyat mendesak Magau Pue Nggari untuk
memisahkan diri dari Kesultanan Gowa untuk bisa mandiri dan tidak lagi harus membayar upeti ke
kerajaan lain. Pada saat yang sama di Kerajaan Palu datanglah seorang penyebar Agama Islam dari
Sumatera yang bernama Abd. Raqie (Masyarakat Palu umumnya mengenal dengan nama “Dato
Karama” Dato artinya Tuan atau Yang Dipertuankan, Karama artinya Keramat, Jadi Dato Karama
Adalah “Tuan Yang Di Keramatkan”, atau “Orang Keramat”, bisa juga “Seseorang yang memiliki
ilmu yang sakti”) yang di utus oleh Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh.

Kedatangan Abd. Raqie atau Dato Karama ini bertujuan untuk menyebarkan Agama Islam di lembah
Palu, yang mana pada saat itu masyarakat Suku Kaili masih memiliki kepercayaan Animisme. Maka
berlabuhlah kapal Dato Karama yang turut serta membawa 50 orang muridnya dari Sumatera di
pantai Besusu, turut serta istrinya yang bernama Ince Jille, iparnya yang bernama Ince Saharibanong,
dan anaknya yang bernama Ince Dingko kedatangan Dato Karama ini disambut baik oleh Keluarga
Kerajaan serta rakyat dan langsung menerima tawaran untuk memeluk Agama Islam karena
persyaratanSombarigowa mengatakan, jika ingin melepaskan diri dari wilayah kesultanan Gowa,
maka penduduknya harus memeluk Agama Islam. Setelah seluruh persyaratan dari Sombarigowa
diterima Pue Nggari maka diadakanlah prosesi sebagai berikut :
Pengislaman terhadap Magau Pue Nggari bersama keluarganya yang dilaksanakan oleh Dato Karama
dengan istilah “PoVonju Tevo”

Anggota keluarga Pue Nggari yang turut di Islamkan adalah sebagai berikut :

Vua Pinano (isteri Pertama dari Pue Nggari)


Lasamaingu (Anak Pertama Pue Nggari)
Pue Songu (Anak Kedua Pue Nggari) tidak mau di Islamkan
Andi lana (Anak Ketiga Pue Nggari) bersama isteri dari Tatanga
Pue Rupia (Anak Keempat Pue Nggari)
Yenda Bulava (Anak Kelima Pue Nggari) , suaminya bernama Bulava Lembah tidak mau di
Islamkan dan tidak menerima agama Islam

Setelah persyaratan Sombarigowa di penuhi semuanya, akhirnya Kerajaan Palu di Proklamirkan


sebagai kerajaaan yang berdiri sendiri dan terlepas dari Kesultanan Gowa.

Namun ada beberapa hal yang dipertahankan antara Kerajaan Palu dan Kesultanan Gowa antara lain:
Jika Kesultanan Gowa menjadi Rusuh maka Kerajaan Palu pun ikut menjadi menjadi Susah, sampai
Kerajaan Palu membantu untuk menyelesaikan masalah di Kesultanan Gowa. Maka secara tidak
langsung Kerajaan Palu harus siap sedia mengirim Pasukan Perang atau mensuplai bahan makanan
jika terjadi kerusuhan di Kesultanan Gowa. untuk mendukung perjanjian tersebut maka disusunlah
pemerintahan sebagai berikut :

Arti Lambang
A. ARTI BENTUK LAMBANG
BINTANG BERSUDUT LIMA BERWARNA KUNING KEEMASAN Melambangkan rakyat
Kota Palu menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila

UNTAIAN PADI 27 BUTIR DAN RANGKAIAN BUNGA KAPAS 9 BUAH Melambangkan


tanggal dan bulan lahirnya Kota Palu.

RUMAH ADAT SOU RAJA BERWARNA COKLAT MEMPUNYAI 12 TIANG DAN 10 ANAK
TANGGA Menggambarkan tanggal dan bulan peresmian Kotamadya Daerah Tingkat II
Palu dan sebagai tempat tinggal raja serta tempat bermusyawarah bagi wakil rakyat.

ALUR 2 GARIS LENGKUNG BERWARNA PUTIH Menggambarkan Kota Palu terdapat


beberapa sungai,lembah serta letak geografis Kota Palu yang diapit 2 buah pegunungan.

GARIS OMBAK BERWARNA BIRU MUDA TERDIRI DARI 7 DAN 8 GELOMBANG


Menggambarkan tahun kelahiran Kota Palu

GARIS VERTIKAL BERWARNA HIJAU MUDA 5 BUAH DI BAWAH PITA BERWARNA


PUTIH BERTULISKAN “MALIU NTINUVU” Mengartikan Kota Palu merupakan Daerah
Tingkat II yang ke 5 di Sulteng.

GARIS LURUS VERTIKAL BERWARNA HITAM Menggambarkan tekad yang kuat,kokoh


dan tegar dalam melaksanakan pembangunan.

PITA BERWARNA PTUIH TERLETAK PADA TANGKAI PADI DAN KAPAS BERTULISKAN
“MALIU NTINUVU” Bermakna mempersatukan semua unsur/potensi yang ada.

B. ARTI LAMBANG
GAMBAR BERBENTUK BUAH KELAPA DAN BELANGA Melambangkan kekayaan daerah,
Sikap terbuka masyarakat Kota Palu, mempersatukan semua unsur, serta berfalsafah
Pancasila.

GARIS LURUS VERTIKAL PEMISAH WARNA HIJAU DAN KUNING Melambangkan Kota
Palu selalu membina rasa persatuan dan kesatuan
BAGIAN PINGGIR GAMBAR BERWARNA HITAM Melambangkan usaha melestarikan dan
memelihara kebudayaan daerah

C. ARTI WARNA
WARNA BIRU menggambarkan sifat setia dan patuh dalam menjalankan tugas dan
kewajiban serta menjunjung tinggi nilai – nilai Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945;

WARNA KUNING menggambarkan keagungan dan keluhuran budi dalam arti kebanggaan
untuk ikut serta bertanggung jawab atas wilayah sebagai bagian Negara Kesatuan Republik
Indonesia;

WARNA HIJAU menggambarkan kesuburan dan kemakmuran;

WARNA MERAH menggambarkan keteguhan dan keberanian dalam pendirian untuk


mempertahankan kebenaran;

WARNA COKLAT menggambarkan rasa aman;

WARNA PUTIH menggambarkan keiklasan dalam menerima dan berbuat sesuatu demi
kepentingan umum;

WARNA HITAM melambangkan ketabahan dan kemampuan dalam menghadapi setiap


ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan

D. Arti Motto “MALIU NTINUVU” yang tertulis pada pita berwarna putih, sebagai
berikut :
Pengabdian yang tulus dilandasi dengan semangat persatuan dan kesatuan yang kokoh
dengan senantiasa mendapat lindungan Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan
pembangunan demi kehidupan yang makmur, sejahtera dan lestari.

Anda mungkin juga menyukai