Biogas, Energi untuk Masa Depan?

Biogas, Energi untuk Masa Depan?

#Sejarah Biogas

Menurut penelitian, makhluk hidup pertama di bumi ditemukan sekitar 3 milyar tahun yang lalu. Sebagai perbandingan, fosil manusia tertua baru ditemukan 200 ribu tahun yang lalu. 

Makhluk hidup pertama itu adalah mikroorganisme bersel satu dan bersifat anaerobik, karena saat itu belum ada oksigen di bumi.

“Organisme anaerobik adalah organisme yang bisa hidup tanpa memerlukan oksigen bebas”

Organisme inilah yang menjadi nenek moyangnya metanogen, bakteri arkea penghasil gas metana yang menjadi komponen utama dalam pembentukan biogas melalui proses anaerobik.

Tidak hanya metana, proses ini juga menghasilkan gas karbon dioksida dan sebagian kecil hidrogen sulfida, nitrogen dan oksigen. Campuran gas-gas inilah yang disebut sebagai biogas. Disebut “bio-gas” karena diproduksi dari bahan organik yang berasal dari makhluk hidup.

Biogas sudah digunakan untuk memanaskan air untuk mandi di zaman Assyria pada abad ke-10 SM. Jauh setelahnya di abad ke 17, penelitian mengenai biogas mulai dilakukan di Eropa.

Instalasi biogas pertama tercatat dibangun tahun 1859 di Bombai, India. Sekitar tahun 1960-an, India dan Cina mulai mengembangkan instalasi biogas skala kecil dengan tujuan untuk menghasilkan bahan bakar memasak yang bersih dan mudah diakses di daerah terpencil.

Saat ini, sudah ada 50 juta instalasi biogas yang dibangun di seluruh dunia, dengan berbagai ukuran. Mayoritas biogas skala kecil ada di Cina dan India, sedangkan untuk biogas skala besar sebagian besar di Eropa.

Total energi listrik yang dihasilkan dari biogas sebesar 87 TWh pada tahun 2017. Masih sangat jauh dari total kebutuhan listrik dunia yang mencapai 26,700 TWh (IEA, 2019). Namun, jika dimanfaatkan secara maksimal, biogas dapat memenuhi 16-22% dari kebutuhan listrik dunia tersebut.

“1 Terra watt hour (TWh) adalah 1 juta Mega Watt hour (MWh) atau 1 triliun watt hour (Wh). Sebagai contoh lampu Led 10 watt yang menyala selama 10 jam membutuhkan listrik sebesar 100 Wh.”

#Biogas di Indonesia

Di Indonesia penggunaan biogas skala kecil sudah dimulai dari tahun 1970-an. Pembangunan biogas skala kecil dengan jumlah banyak dimulai pada tahun 2009 dengan adanya program Biru (Biogas Rumah). Pemerintah juga berusaha mendorong pembangunan biogas skala kecil dengan dana APBN di berbagai daerah.


No alt text provided for this image

 Contoh sistem biogas skala kecil

Biogas skala besar juga mulai dibangun sekitar tahun 2008 dari limbah cair kelapa sawit dan tapioka yang didorong dengan adanya program Clean Development Mechanism (CDM). Dengan CDM, perusahaan yang membangun biogas (methane capture) akan mendapatkan kredit certified emission reduction (CER) yang dapat dijual ke negara maju untuk memenuhi target pengurangan emisinya.

Namun program ini tidak bertahan lama, dan pada tahun 2012 harga CER jatuh dan banyak program CDM yang terhenti.

“Methane capture/instalasi biogas dapat mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dengan menangkap dan mengolah gas metana yang diproduksi dari limbah organik.”

Di tahun yang sama, pemerintah menetapkan harga listrik dari energi terbarukan melalui Permen ESDM no 4 tahun 2012. Harapannya agar pembangunan pembangkit listrik dari energi terbarukan, termasuk biogas, dapat berkembang pesat.

Sayangnya peraturan ini tidak bertahan lama dan berganti-ganti beberapa kali sampai sekarang. Hal ini menyebabkan ketidakpastian ditambah dengan proses yang rumit sehingga membuat bisnis pembangkit biogas kurang menarik.


#Pemanfaatan Biogas

Gas metana dan karbon dioksida sebagai komponen utama biogas, adalah tersangka utama pemanasan global. Belum lagi hidrogen sulfida yang bersifat racun dan mematikan.

Jadi biogas berbahaya dong?

Berbahaya, jika tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik.

Gas metana yang terkandung dalam biogas merupakan bahan bakar dengan nilai kalor tinggi. Aplikasinya juga bermacam-macam.

Yang paling sederhana adalah pemanfaatan biogas untuk memasak. Umumnya dilakukan oleh peternak yang memiliki minimal 2-3 ekor sapi. Kotoran sapi tersebut dapat menghasilkan biogas yang cukup untuk memasak satu keluarga dalam sehari. Dalam skala yang agak besar juga sudah diterapkan di pesantren dengan menggunakan kotoran manusia.

Dengan menggunakan biogas, biaya yang diperlukan untuk membeli LPG dapat berkurang. Selain itu, biogas dapat menggantikan cara memasak dengan kayu bakar yang masih banyak ditemui di daerah-daerah terpencil.

Data EBTKE tahun 2019, di Indonesia sudah dibangun 43 ribu unit biogas skala kecil. Estimasi biogas yang diproduksi sebesar 26 juta m3/tahun, masih sangat jauh dari target EBTKE 95 juta m3/tahun. Itu ditambah dengan catatan semua instalasi yang dibangun bisa beroperasi dengan baik.

Pembangunan biogas skala kecil ini didominasi oleh program pemerintah dengan dana APBN dan bantuan dari donor, seperti program Biru. Sayangnya, program seperti ini kurang berkelanjutan karena berbagai kendala.

Untuk biogas skala besar/industri, pemanfaatannya lebih banyak. Namun pada awalnya, biogas skala besar dibangun tanpa ada pemanfaatan sama sekali, atau hanya dibakar di gas flare.

Wah sayang dong kalau hanya dibakar saja?

Tentu tidak, karena untuk setiap m3 biogas yang dibakar tersebut ada nilai yang dibayarkan dengan skema CDM yang saya ceritakan di awal tadi. Bisa dibilang, ini adalah cara mencari keuntungan sekaligus melakukan pelestarian lingkungan.

Selain skema CDM, umumnya perusahaan sawit membangun instalasi biogas dengan tujuan mendapatkan International Sustainability & Carbon Certification (ISSC) agar bisa mengakses pasar internasional dan mendapatkan harga premium untuk crude palm oil (CPO) yang mereka ekspor.

Selain skema di atas, pemanfaatan biogas yang banyak dilakukan adalah untuk menghasilkan listrik. Listriknya bisa untuk digunakan sendiri atau dijual ke PLN. Biasanya bergantung dari ketersediaan jaringan listrik dan kondisi kelistrikan di sekitar intalasi biogas.

Umumnya pabrik kelapa sawit terletak di daerah terpencil dimana di sekitarnya seringkali ditemukan desa-desa yang belum terjangkau oleh jaringan PLN.

Ada juga yang menggunakan biogas untuk tambahan bahan bakar di boiler pabriknya. Seperti di pabrik sawit untuk mengurangi konsumsi cangkang – yang bisa dijual kembali. Atau di pabrik tapioka untuk mengeringkan tepung hasil produksi.

Sampai saat ini, instalasi biogas skala besar di Indonesia hanya ada sekitar 100 unit, yang sebagian besar berasal dari limbah cair kelapa sawit dan tapioka. Padahal pabrik sawit di Indonesia saja ada lebih dari 800 unit, belum pabrik-pabrik lainnya.

Limbah cair kelapa sawit dan tapioka memiliki volume dan kandungan organik cukup besar sehingga memiliki skala ekonomis untuk dibangun instalasi biogas skala besar. Potensi lainnya adalah dari kotoran ternak pada peternakan skala besar dan limbah industri lainnya.

Yang terbaru adalah pemanfaatan biogas dalam bentuk biometana melalui proses upgrading. Biometana dapat dikompress menjadi bio CNG yang dapat digunakan sebagai subtitusi diesel dan LPG, serta bahan bakar kendaraan (baca Biometana Pengganti Bahan Bakar Fosil).

“Biometana adalah biogas yang telah ditingkatkan ke kualitas yang mirip dengan gas alam dan memiliki konsentrasi metana 90% atau lebih besar. Bio CNG adalah biometana yang telah dikompres dan dimasukkan ke dalam tabung dengan tekanan tinggi (umumnya 200 bar)”

Sampai tulisan ini ditulis, (Maret 2020) belum ada instalasi biometana di Indonesia yang sudah beroperasi. Yang saya tahu hanya ada satu instalasi yang sedang dalam konstruksi di Kalimantan Timur. Mudah-mudahan dapat segera beroperasi agar menjadi contoh dan diikuti oleh perusahaan lainnya. 

#Tantangan Biogas

Jika potensi biogas kita begitu besarnya, mengapa belum bisa dimanfaatkan secara maksimal?

Dari sisi teknologi bisa dibilang tidak ada masalah karena sudah cukup banyak penyedia teknologi baik lokal maupun internasional yang sudah berpengalaman membangun biogas, baik skala kecil maupun besar.

Kendala terbesar umumnya dari kelayakan ekonomi proyek biogas itu sendiri, yaitu dari tingginya nilai investasi dan rendahnya harga jual listrik biogas (di daerah tertentu). Ditambah dengan peraturan yang berubah-ubah.

Untuk kasus biogas menjadi biometana, karena ini merupakan teknologi baru, para pelaku industri masih wait and see dan menunggu sampai ada proyek percontohan yang berhasil beroperasi.

Kabar baiknya, dalam waktu dekat pemerintah akan mengeluarkan Perpres yang akan merevisi harga jual listrik dari pembangkit energi terbarukan (termasuk biogas). Mari berdoa bersama agar isinya bisa memberikan angin segar untuk pengembangan biogas di Indonesia.


#Energi untuk Masa Depan

Jadi, mengapa biogas saya sebut energi untuk masa depan? Ada beberapa hal yang bisa menjadi alasan.

1. Energi terbarukan

Menurut BP Statistical Review of World Energy tahun 2019, produksi listrik dunia masih didominasi oleh bahan bakar fosil sebesar 65 %. Lalu, apa yang terjadi jika bahan bakar ini habis?

Sumber bahan baku biogas, yaitu limbah organik bisa dianggap tidak akan pernah habis. Jadi, di saat minyak bumi, gas alam dan batubara Indonesia habis (sekitar 10, 50 dan 80 tahun ke depan), biogas bisa menggantikan (sebagian) bahan bakar fosil tersebut.

Tentunya tidak cukup hanya dengan biogas, tetapi juga sumber energi terbarukan lainnya, seperti air, matahari, angin, panas bumi dan bioenergi lainnya. Namun tidak seperti energi matahari dan angin yang bersifat intermiten, biogas dapat berfungsi sebagai baseload/primer.

Jadi biogas bisa dibilang memiliki kehandalan yang lebih baik jika difungsikan sebagai pembangkit listrik dibanding pembangkit intermiten.

“Intermiten: tidak tersedia terus-menerus karena faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan.”

Sumber bahan baku yang berbagai macam juga membuat biogas hampir bisa diproduksi dimana saja dibandingkan energi terbarukan lainnya, seperti matahari dan angin.

Mulai dari kotoran hewan (sapi, ayam, babi,dll), limbah cair agroindustri (sawit, tapioka, bioetanol,dll), limbah perkotaan (municipal waste), sampah makanan, kotoran manusia, bahkan limbah padat (tandan kosong, jerami, tongkol jagung dll).

2. Energi bersih

Biogas adalah energi yang sangat bersih karena emisi yang dikeluarkan sangat rendah. Sedangkan jika tidak diolah menjadi biogas, limbah organik akan menghasilkan gas rumah kaca (metana dan karbon dioksida), belum lagi limbah itu sendiri yang akan menimbulkan bau dan mencemari tanah atau badan air. Dengan menggunakan biogas, pemakaian bahan bakar fosil yang tidak lingkungan secara otomatis akan berkurang. 


No alt text provided for this image

Perbandingan Emisi GRK dari bahan bakar yang berbeda (IRENA, 2018)

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa dengan menggunakan biogas/biometana, emisi yang dihasilkan lebih rendah 40-70% jika dibandingkan dengan bahan bakar fossil.

Jadi, dengan menggunakan biogas, kita dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengurangan emisi, dengan harapan dapat mengurangi efek dari perubahan iklim.

3. Waste to Energy dan Circular Economy

Tahukah kamu bahwa sepertiga dari jumlah makanan di dunia terbuang menjadi limbah? Padahal makanan yang membusuk akan menghasilkan gas metana yang sangat berbahaya.

Sampah di kota-kota menjadi masalah besar dimana tempat penampungan sudah hampir menyerah untuk menampung sampah. Lebih dari 50% sampah kota adalah sampah organik. Belum lagi limbah industri yang kadang hanya dibuang begitu saja ke sungai atau ke laut.

Hebatnya, biogas (melalui proses anaerobik) tidak hanya mengolah limbah tersebut tetapi juga mengubahnya menjadi energi.

Jadi, biogas dapat menyelesaikan dua permasalahan sekaligus, yaitu limbah dan energi. Mengolah limbah organik akan mengurangi pencemaran terhadap badan air dan tanah. Bahkan lumpur/digestate sisa pemrosesan biogas dapat digunakan sebagai pupuk organik.

Untuk sampah perkotaan, dengan mengolah sampah organik tentunya akan mengurangi beban tempat penampungan sementara/akhir.

Selain itu, pemanfaatan limbah menjadi energi merupakan salah satu kunci dari circular economy. Tidak seperti model ekonomi lainnya di mana aspek ekonomi adalah yang utama, circular economy menekankan aspek lingkungan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam berbisnis.


No alt text provided for this image

Biogas sebagai circular economy

Dengan memanfaatkan limbah menjadi energi dan pupuk organik, sumber daya yang ada dimanfaatkan secara efisien dan tentunya memberi efek positif terhadap lingkungan.

“Circular economy adalah alternatif dari linear economy tradisional (make, use, dispose) di mana sumber daya digunakan dengan maksimum dengan recycle dan re-use.”   


Artikel ini dapat juga dibaca di: naturabiogas.com

Artikel mengenai biogas lainnya:

Fakta menarik tentang biogas

Berkarir di dunia biogas

Biometana pengganti bahan bakar fosil

Manajemen proyek biogas


Ir. Ari Prasetya Negara

Project Director at PT PROVISIT ASIA SELARAS

3y

Dear Pak Windri Aji Brata, Saat ini IPP kami membutuhkan pasokan Bio CNG sebesar 600 mmbtu/day. Apakah sy boleh japri anda utk inquiry ini ? Terima kasih.

Like
Reply
Andri Marsetianto

Investment Specialist - Merger & Acquisition - Ai Development - IPO Preparation - Business Development - Trainer

3y

nice share

Like
Reply
Novil Sarwani

EPCI, FEED, onshore & Offshore, Operation, maintenance, Oil & Gas Processing Facility, CNG LNG

3y

👍Keren artikel nya pak Windri Brata

Like
Reply
Harmen Dekker

CEO at European Biogas Association (EBA)

3y

Hey Windi, my Indonesian is somewhat rusty but from the gist of it an interesting article. An idea to share it in English as well. I think more parties would find this interesting!

Like
Reply

To view or add a comment, sign in

Explore topics