Oleh: hurahura | 11 Agustus 2017

Arsitektur Tradisional Jawa: Kosmologi, Estetika, dan Simbolisme Budaya Jawa

Joglo_0001Ilustrasi: Rumah Joglo (Sumber: Rumah Tradisional Jawa, Museum Nasional, 1985) 


Pendahuluan

Rumah merupakan salah satu dari tiga kebutuhan utama dalam kehidupan. Demikan bagi masyarakat Jawa, rumah adalah tempat tinggal dengan salah satu tujuan hidup idealnya (Ronald 1990, 185). Rumah sendiri memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Arti penting ini dapat ditelusuri dari filosofi orang Jawa sendiri yaitu, sandhang, pangan, dan papan. Ketiga unsur tersebut diartikan sebagai pakaian, makanan, dan tempat tinggal. Sebagai kebutuhan utama ketiga setelah pakaian dan makanan, tempat tinggal menentukan nyaman atau tidaknya sebuah keluarga (Wibowo 1998, 25).

Rumah jika diartikan dalam bahasa Jawa halus biasa disebut dengan griya atau dalem. Asal kata griya sendiri berarti gunung agung yang diartikan oleh masyarakat Jawa sebagai gunung besar yang menjadi sumber kehidupan. Dalem pun jika diartikan dalam bahasa Jawa halus berarti rumah atau saya. Sangatlah jelas hubungan yang keterikatan yang terjadi antara pengertian rumah dan keadaan pribadi seseorang. Dalam budaya Jawa rumah dapat dikategorikan sebagai sebuah bangunan yang tidak berdiri sendiri melainkan berhubungan erat dengan pemiliknya. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan sosial, budaya, dan ekonomi (Adrisijanti 1999, 111). Rumah bagi orang Jawa juga mempunyai peranan penting dalam kehidupan karena tidak hanya tentang kebutuhan fisik namun juga kebutuhan rohani penghuninya.

Rumah bagi orang Jawa merupakan perlambang hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Oleh karena itulah, bentuk bahkan isi di dalam rumah merupakan sesuatu yang berhubungan dengan nilai-nilai filosofis. Hubungan yang terjalin merupakan hasil dari pandangan hidup masyarakat Jawa itu sendiri. Bahkan dalam proses pembuatan sebuah rumah, masyarakat Jawa selalu mengedepankan unsur-unsur konstruktif dan juga metafisik yang terlihat dari tahapan awal konstruksi bangunan (Pramana 2000, 37). Unsur ini meliputi tata ruang, ornamentasi dan bentuk bangunan. Secara status sosial, rumah merupakan lambang identitas pemiliknya berdasarkan pada sistem stratifikasi masyarakat Jawa. Dalam proses perkembangan selanjutnya, terbagi atas lima bentuk dasar bangunan, yaitu panggang pe, kampung, limasan dan joglo, serta bangunan khusus untuk beribadah yang berbentuk tajug (Budiharjo 1997, 39).

Rumah tradisional Jawa juga menjadi sebuah perwujudan konsep hidup sekaligus lambang jati diri bagi masyarakat Jawa. Hal ini dapat dilihat dari ragam hias yang diterapkan pada bangunan (Sunarmi 2007, 139). Sistem kebudayaan Jawa yang penuh dengan simbol dan lambang pada setiap hiasan, bahkan sampai pada tata warnanya, adalah salah satu cara pemilik rumah mengekspresikan keberadaan diri. Bentuk ekspresif inilah yang menegaskan bahwa ada fungsi dan makna tersendiri yang direncanakan. Selain sebagai fungsi dekoratif dapat juga sebagai bentuk komunikasi antara penghuni rumah dengan lingkungan tempat tinggalnya. Karena berdasarkan pada penempatan sebuah benda seni, dapat diartikan sebagai bentuk ungkapan simbolik yang mencerminkan pandangan, harapan, dan hidup (Ronald 1990, 90; 168). Dengan konsep inilah, keberadaan hiasan pada rumah tradisional Jawa mampu menyatu dengan rumah itu sendiri (Sunarmi 2007, 140). Hiasan mampu menjadi bentuk simbol dan berperan dalam hubungan manusia yang bersifat religi maupun sosial.

Dapat disimpulkan bahwa dalam mewujudkan tempat tinggalnya, masyarakat Jawa mempunyai hal-hal yang harus ditujukan untuk mencapai setidaknya tiga sasaran pokok yaitu kepuasan diri, pengakuan dari masyarakat sekitarnya, dan kasih sayang dari lingkungannya. Hubungan filosofis yang menentukan masyarakat Jawa dalam membuat bangunan sebagai berikut: (1) Tipe bangunan rumah sangat bergantung pada aspek sosial, dalam hal ini sangat erat berkaitan dengan upaya pemilik rumah mendapatkan pengakuan dari sekitarnya; (2) Bentuk bangunan tergantung pada aspek geografis dan aspek sosial yang berkaitan erat dengan upaya pemilik rumah mendapatkan kasih sayang dari lingkungannya, dan (3) Penentuan lokasi berkaitan dengan aspek geografis yang berarti diri sendiri merupakan bagian dari alam.


Rumah Sebagai Bentuk Arsitektural dan Simbol Filosofis Masyarakat Jawa

Budaya Jawa dikenal sarat akan nilai-nilai filosofis yang mempengaruhi setiap bentuk kehidupan masyarakat Jawa. Begitu pula dalam pembuatan sebuah rumah, tentu melibatkan berbagai perhitungan dan upacara-upacara yang sedemikian rumit berdasarkan pada pandangan filosofis yang dipegang oleh masyarakat Jawa. Ada tiga tingkatan kepercayaan masyarakat Jawa yaitu:

  1. Tingkatan pertama, kepercayaan terhadap adanya kekuatan gaib yang menggambarkan dunia roh. Masyarakat Jawa percaya bahwa leluhur mereka selalu mengawasi dan akan menegur bila terjadi kesalahan. Oleh karena itulah dalam setiap kegiatan selalu diadakan upacara selamatan sebagai bagian dari permintaan izin dalam melakukan kegiatan agar berjalan lancar.
  2. Tingkatan kedua, kepercayaan akan kekuatan alam semesta. Masyarakat Jawa percaya pada keseimbangan dunia yang terbagi dalam makrokosmos dan mikrokosmos. Tanpa adanya keseimbangan maka kehidupan ini tidak akan bahagia.
  3. Tingkatan ketiga, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Kepercayaan ini berkembang ketika agama-agama mulai dianut oleh masyarakat Jawa yang pada akhirnya mengubah pandangan masyarakat namun tidak meninggalkan kepercayaan lamanya (Ronald 2005, 53).

Proses pembangunan rumah bagi masyarakat Jawa selalu dilandaskan pada pandangan filosofis. Oleh karena itu, proses pembangunan rumah tidak boleh hanya asal jadi, melainkan juga wajib memperhatikan aspek spiritualnya. Bagi masyarakat Jawa, kenyamanan dan kemantapan dalam bertempat tinggal sangatlah penting untuk mendefinisikan keberadaan dan status seseorang (Santosa 2000, 2-3). Kenyamanan diperoleh ketika seseorang memiliki rasa aman, dan damai. Rumah, bagi masyarakat Jawa juga berperan sebagai tempat tinggal yang berarti sebagian besar kegiatan berlangsung dan juga sebagai tempat mengekspresikan diri (Santosa 2000, 3). Maka dapat dijumpai beragam rumah tradisional Jawa penuh dengan ornamentasi yang menjadi gambaran pemilik rumah dan mengandung arti serta makna yang mendalam (Ronald 1990, 234).

Rumah juga merupakan lambang kemantapan yang berarti ketentraman bagi penghuninya dan lambang dari tujuan batin (Wondoamiseno 1986, 3). Ketentraman itu akan tercapai apabila terdapat keseimbangan antara manusia, lingkungan alam, dan lingkungan buatan yaitu rumah (Ronald 1990, 189). Begitupun filosofi masyarakat Jawa yang berpandangan bahwa dalam kehidupan ini peranan mereka sebagai bagian dari mikrokosmos haruslah memperhatikan alam sebagai bagian dari makrokosmos. Karena alam dapat menjadi sahabat sekaligus musuh yang berbahaya dan murah hati, tergantung dari kemampuan manusia untuk memahami dan menerima tanda-tanda dari alam. Berdasarkan pemahaman inilah, maka masyarakat Jawa mampu menentukan tempat yang baik, arah hadap rumah, dan waktu yang tepat untuk memulai proses pembangunannya. Jika selama proses berlangsung lancar, maka dianggap sempurna dan membawa kesejahteraan bagi pemilik rumah.

Joglo_0002

Ilustrasi: Rumah Limasan (Sumber: Rumah Tradisional Jawa, Museum Nasional, 1985)

Arsitektur Jawa tidak pernah dianggap sebagai bentukan yang berdiri sendiri, melainkan sudah menjadi bagian dari jati diri masyarakat Jawa (Silas 1983, 5). Rumah diibaratkan sebagai bagian dari anggota tubuh manusia seperti kepala, badan, dan kaki. Bangunan bawah berupa umpak dan pondasi dipandang sebagai kaki, sedangkan bagian dinding, jendela dan pintu sebagai badan, dan bagian atap dipandang sebagai kepala (Budiharjo 1997, 42). Personifikasi ini dapat dilihat pada saat upacara pembuatan rumah yang diibaratkan sebagai proses kelahiran seorang manusia yang dipanjatkan doa lewat sesaji. Doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan dan leluhur disertasi dengan pemotongan hewan sebagai persembahan dan penolak marabahaya (Wibowo 1998, 224).

Dalam proses pembuatan sebuah rumah tradisional Jawa, sangat diutamakan aspek spiritual bahkan dalam penentuan ukuran bangunan yang diperhitungkan dengan sangat teliti. Dalam hal ini, wujud fisik bangunan bukanlah prioritas karena ukuran bangunan ditentukan dari sistem petungan yaitu, angka-angka patokan yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai dasar dari perencanaan pembangunan rumah (Priatmodjo 2004, 217). Untuk menentukan ukuran elemen bangunan, petungan menggunakan satuan ukuran ragawi dari pemilik bangunan seperti kaki, jengkal, hasta maupun depa. Pemakaian satuan ragawi ini menunjukkan bahwa elemen ruang pada rumah tradisional Jawa merupakan eksistensi pemiliknya (Santosa 2000, 10).

Sistem petungan ini adalah sebuah sistem yang digunakan dalam penentuan ukuran panjang blandar pengeret dan ukuran bagian-bagian rumah serta jumlah usuk untuk bagian rumah tersebut. Panjang blandar dan jumlah usuk dihitung dengan bilangan-bilangan berurutan yang masing-masing memiliki nama yaitu 1 (sri), 2 (kitri), 3 (gana), 4 (liyu), dan 5 (pokah) (Priatmodjo 2004, 222). Ketepatan jumlah hitungan dari ukuran masing-masing unit rumah ini dipercaya mempengaruhi kehidupan penghuninya, seperti yang berkaitan dengan keselamatan, kebahagiaan, kemujuran, dan rejeki (Budiharjo 1997, 45).

Masing-masing dari kelima bilangan tersebut memiliki arti dan kegunaan berdasarkan dengan fungsi setiap bagian rumah.

  1. Bilangan 1 atau biasa disebut sri berarti pangan atau raja brana (harta benda), kebahagiaan dan terang. Bilangan ini digunakan untuk bagian dalem atau omah jero, supaya pemilik atau penghuninya selalu mendapat rezeki, terang dalam usaha memperoleh rezeki dan kebahagiaan (Wibowo 1998, 106-107).
  2. Bilangan 2 atau biasa disebut kitri mempunyai arti pohon-pohonan atau pohon buah-buahan, biasa digunakan untuk mengukur bangunan pendhapa dan pringgitan. Pemakaian bilangan ini diselaraskan dengan sifat bangunan yang terbuka dan berfungsi sebagai tempat menerima tamu. Hal ini bermaksud supaya suasana pertemuan sejuk dan tidak canggung, apabila bermusyawarah menghasilkan keputusan yang bulat (Wibowo 1998, 107-108).
  3. Bilangan 3 atau biasa disebut gana yang menunjukkan rupa atau ujud. Bilangan ini digunakan pada gandhok, pawon, dan kandang dengan tujuan supaya isi atau barang yang disimpan di dalamnya bertambah (Wibowo 1998, 108-109).
  4. Bilangan 4 atau biasa disebut liyu mempunyai kata lain lesah, lesu atau penat. Biasanya digunakan sebagai perhitungan regol atau bangsal tempat orang menunggu. Hal ini bermaksud supaya setiap orang yang datang kepada pemilik rumah menjadi tak berdaya di hadapan pemilik rumah (Wibowo 1998, 109-110)
  5. Bilangan 5 atau biasa disebut sebagai pokah digunakan untuk bangunan lumbung padi. Kata pokah berarti bercabang banyak. Penggunaan bilangan 5 pada lumbung padi diharapkan akan membawa hasil dan rezeki yang bertambah kepada pemiliknya. Alasan lain adalah agar padi yang tersimpan selalu mencukupi dan bahkan berlebih (Wibowo 1998, 110).


Elemen Dalam Rumah Tradisional Jawa: Sakral dan Profan

Arsitektur tradisional Jawa memang sangat menarik. Selain dasar filosofisnya juga berdasarkan karakteristik yang mampu beradaptasi dengan alam. Rumah tradisonal Jawa dibangun dalam kondisi iklim tropis lembab. Hal ini merupakan sebuah ungkapan dari menyatunya bangunan dengan alam. Hal ini dapat dilihat dari proses pengambilan elemen bangunan dari lingkungan sekitarnya (Sumalyo 1995, 70). Berdasarkan analogi bahwa bagian bawah bangunan adalah tanah dan air, sedangkan bagian atas adalah batang dan daun, maka sebagian besar rumah tradisional Jawa terdiri atas bahan-bahan bangunan tersebut. Lantai dan dinding dari batuan, bagian atap dari kayu-kayuan (Ronald 1990, 434).

Sudah bukan rahasia umum lagi, jika rumah tradisional Jawa dibangun dengan cara dirakit dan disusun. Dapat dikatakan demikian karena bangunan tradisional Jawa merupakan bangunan dengan sistem struktur rangka (saka guru atau tiang, blandar atau balok, jurai atau dudur, dan usuk atau reng) dan dinding tirai (gebyok dari kayu, gedhek dari bambu, tembok dari batu).  Keseluruhan elemen penyusun bangunan tersebut kemudian diletakkan pada landasan batu atau umpak yang ditanam dalam tanah yang diberi nama ceblokan (Ronald 1990, 339).

Bentuk-bentuk rumah tradisonal Jawa beraneka ragam berdasarkan pada fungsi pemakaian (Wahyuningsih 2002, 15). Berdasarkan pada bentuk bangunan dan ruang yang terdapat di dalamnya maka akan diperoleh gambaran mengenai kegiatan interaksi sosial dan stratifikasi sosial orang Jawa (Wibowo 1998, 222).

Penggolongan bentuk rumah tradisional Jawa sebagai berikut:

  1. Rumah tradisional panggang pe

Merupakan bentuk bangunan yang paling sederhana. Rumah ini hanya memiliki sebuah ruangan yang berdenah persegi empat dengan atap yang ditopang 4 atau 6 buah tiang. (Wibowo 1998, 28).

  1. Rumah tradisional kampung

Bentuk ini lebih sempurna jika dibandingkan dengan panggang pe, karena sudah terlihat pembagian ruang yang jelas. Dengan bentuk denah persegi panjang dengan atap di kedua belah sisi dan memiliki satu bubungan atau wuwung. Bangunan pokok terdiri atas tiang yang berjumlah 4, 6, dan 8 dan seterusnya (Wibowo 1998, 34). Merupakan rumah milik masyarakat ekonomi kelas bawah.

  1. Rumah tradisional limasan

Bentuk rumah ini memiliki denah persegi panjang atau segi empat dengan bubungan atap yang lebih rendah daripada rumah joglo. Nama limasan sendiri berasal dari kata “lima-lasan” yaitu sebuah perhitungan sederhana penggunaan blandar 5 m dan ukuran molo 3 m (Wibowo 1998, 42).

  1. Rumah tradisional joglo

Rumah joglo merupakan bentuk bangunan yang paling banyak dijumpai dan merupakan bangunan khas yang tersebar hampir di seluruh Pulau Jawa. Berdenah segi empat dengan ukuran yang lebih besar dan penggunaan bahan bangunan yang lebih banyak. Bentuk rumah ini mempunyai atap di keempat sisi dengan bubungan atap yang tinggi. Ciri umum bangunan joglo ini yaitu memiliki 4 tiang utama yang disebut saka guru dan menggunakan blandar bersusun yang disebut blandar tumpang sari. Blandar tumpang sari ini merupakan blandar bersusun ke atas yang semakin ke atas semakin melebar. Pada bagian ini terdapat bagian kerangka yang disebut sunduk atau sunduk kili yang berfungsi sebagai penyiku atau penguat bangunan agar tidak berubah posisinya. Sunduk ini terletak pada ujung atas saka guru di bawah blandar (Wibowo 1998, 54). Pada umumnya joglo merupakan bangunan tradisional milik bangsawan atau kerabat kerajaan.

Elemen penyusun rumah tradisional masyarakat Jawa pada umunya hanya terbagi dalam dua bagian yaitu bersifat publik dan pribadi (Mangunwijaya 1995, 107-111). Bagian yang disebut pribadi dinamakan dalem, dan bagian yang bersifat publik dinamakan njaba yang berarti halaman atau bagian luar. Pada bagian ruangan dalem memiliki tata ruang yang disusun sedemikian rupa, sehingga menyesuaikan dengan kebutuhan pemilik rumah (Pratiwi 2006, 1). Berikut susunan ruang secara lengkap pada rumah tradisional Jawa:

a. Bagian pertama biasa disebut regol

Merupakan bagian dari pintu gerbang menuju kompleks bangunan. Terletak pada bagian sebelah kanan depan bangunan, tetapi ada kalanya dibuat dua buah regol yang dibangun di kiri dan kanan depan rumah (Wibowo 1998, 68). Fungsi dari regol selain sebagai pintu masuk dapat digunakan sebagai tempat penjagaan, tempat penyambutan tamu dan tempat istirahat bagi orang yang sedang dalam perjalanan. Biasanya terdapat tempat duduk di kanan dan kiri regol.

b. Bagian kedua yang dinamakan kuncung

Kuncung adalah susunan tiang beratap pelana yang terletak di bagian depan pendhapa. Fungsi dari kuncung adalah sebagai peneduh bagi orang yang turun dari kendaraan sebelum menuju pendhapa.

c. Bagian pertama dari kompleks rumah tradisional Jawa yaitu pendhapa

Merupakan bangunan pada bagian depan dalam tata letak rumah tradisional Jawa. Bangunan terbuka dengan atap joglo yang digunakan untuk kegiatan yang bersifat umum/publik.

d. Bagian pringgitan

Pringgitan merupakan sebuah ruang terbuka berbentuk persegi panjang yang biasanya digunakan sebagai penghubung  antara pendhapa dengan dalem. Pada pringgitan biasanya terdapat kamar pringgitan. Bangunan ini merupakan satu kesatuan dengan dalem, dan memiliki luas sepertiga dari rumah utama. Penamaan pringgitan diambil dari fungsi ruang ini sebagai tempat pementasan wayang kulit.

e. Bagian utama atau dalem

Merupakan ruangan inti pada susunan ruang rumah tradisional Jawa dan terletak di belakang pringgitan. Ruangan dengan denah bujur sangkar dan lantai yang ditinggikan, serta beratap joglo. terdapat tiga senthong atau kamar yaitu; senthong tengah, senthong kiwa, dan senthong tengen. Bagian paling disakralkan adalah bagian senthong tengah yang pada bagian dalamnya terdapat pasren, yaitu tempat bersemayamnya Dewi Sri atau Dewi Padi atau Dewi Kesuburan.

f. Gandhok

Dalam kosakata Jawa berarti bergandengan, yaitu bangunan yang terdapat di sebelah kanan dan kiri serta menempel atau bergandengan dengan rumah induk. Bila antara rumah induk dengan gandhok terdapat longkangan atau sela, maka kedua bangunan tersebut diberikan penghubung yang disebut doorloop. Bangunan gandhok biasa digunakan untuk menyimpan peralatan, ruang makan dan ruang tidur tergantung dari pemiliknya (Sunyoto 1994/1995, 13).

Selain bangunan utama tersebut masih terdapat bangunan lain seperti pawon atau dapur, patehan atau tempat membuat teh, pekiwan atau kamar mandi dan kandang. Rumah tradisional Jawa disusun berdasarkan pengaturan linier dan sentripetal yang bermuara pada prinsip dualitas dan pemusatan. Pengorganisasian linier tampak pada dominasi sumbu memanjang rumah yang berujung pada senthong tengah. Susunan sentripetal tampak pada pendhapa yang merupakan satu-satunya ruang lapang dengan saka guru untuk menandai pusatnya (Santosa 2000, 27). Dualitas tersebut merupakan sebuah perlambang kehidupan yang memiliki dua sisi berlawanan namun juga saling melengkapi (Priatmodjo 2004, 220). Kedua unsur tersebut diseimbangkan oleh unsur ketiga yaitu pusat. Secara kosmologis Jawa pusat merupakan inti dari kosmos (semesta). Dalam pemahaman ini, pusat merupakan simbol dari proses penyelarasan dunia manusia dan penting bagi masyarakat Jawa.


Kesimpulan

Rumah tradisional Jawa merupakan sebuah karya seni arsitektur yang diambil berdasarkan filosofi masyarakat Jawa akan kehidupan. Pandangan ini terwujud lewat segala aspek bangunan, tata ruang dan fungsi serta makna setiap bangunan. Masyarakat Jawa juga berpandangan bahwa hidup ini adalah sebuah proses keselarasan antara manusia dengan alam dan semesta. Maka hal itu terlihat dengan jelas pada pembagian rumah tradisional Jawa. Dualisme kehidupan dan titik pusat semesta diwujudkan dengan baik dengan perhitungan yang didasarkan pada diri sang pemilik rumah sebagai tanda bahwa rumah bukan hanya sebuah bangunan melainkan juga badan manusia itu sendiri.


Daftar Pustaka

Budiharjo, Eko. 1997. ”Esensi Arsitektur Jawa,” dalam Arsitek dan Arsitektur Indonesia Menyongsong Masa Depan (Ed: Prof. Ir. Eko Budiharjo, Msc). Yogyakarta: Penerbit Andi. Hlm. 39-48.

Mangunwijaya, Y.B. 1992. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-Contoh Praktis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pramana, Agus. 2000. “Nilai Estetis dalam Arsitektur Rumah Jawa”. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Pratiwi, Diah. 2006. “Makna Simbolis Umpak di Kraton Yogyakarta”. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Priatmodjo, Danang. 2004. “Makna Simbolik Rumah Jawa,” dalam Naskah Jawa Arsitektur Jawa (Ed. Johannes Adiyanto). Surabaya: Wastu Lanas Grafika. Hlm. 215-228.

Ronald, Arya. 1990. Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

___________. 2005. Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Santosa, Revianto Budi. 2000. Omah; Membaca Makna Rumah Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Silas, Johan. 1983. Arsitektur Jawa Atau Rumah Jawa? Yogyakarta: Proyek Javanologi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumalyo, Yulianto. 1988. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sunarmi, 2007. Arsitektur dan Interior Nusantara Seri Jawa. Surakarta: ISI Surakarta.

Sunyoto. 1994-1995. Pasren Dalam Kehidupan Masyarakat Tradisional Jawa. Yogyakarta: Depdikbud, Direktorat Jendral Kebudayaan, Direktorat Permuseuman.

Wahyuningsih, Isni. 2002. “Keberadaan Pasren dan Pemujaan Terhadap Dewi Kesuburan Pada Masyarakat Jawa (Berdasarkan Amatan Pada Rumah-Rumah Tradisional di Yogyakarta)”. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Wibowo, H.J, dkk. 1998. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Pusat Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wondoamiseno, R. Dan Ismudiyanto 1986. Pergeseran Nilai Rumah Antara Tradisional dan Modern. Yogyakarta: YIPK Panunggalan Lembaga Javanologi.***

Penulis: Theodorus Aries Brian, Arkeolog Lulusan UGM


Tinggalkan komentar

Kategori