Ruang kelas terasa senyap. Menyisakan dersik angin yang berembus dari arah pintu dan jendela. Sore telah membias cahaya kuning, membentuk segaris sorot memanjang yang memantul di permukaan tembok. Dalam ruangan, hanya tinggal aku bersama satu anak didikku, setelah beberapa saat lalu anak didik lainnya telah ke luar kelas, karena memang jadwal kelas menulisku sudah selesai.

Kuamati Danastri—anak didikku yang masih tersisa di kelas—tengah membereskan peralatan tulisnya. Ia terlihat manis dibalut gamis putih dan jilbab berwarna senada yang dibiarkan terulur. Tatapan matanya begitu meneduhkan hati.

Tak bisa aku menolak untuk mengagumi Danastri. Terutama saat ia menyunggingkan senyum di bibir mungilnya. Sepintas senyum terindahnya akan selalu terpatri, lekat dalam dasar hati yang paling dalam.

Dulu, aku harus pergi ke suatu tempat untuk menghasilkan satu buah puisi. Bahkan tak jarang, harus melalui pergolakan batin dengan pikiran terlebih dahulu untuk menyampaikan pesan melalui rentetan diksi-diksi indah.

Namun, semenjak Danastri bergabung dengan kelas menulis yang aku bimbing, diriku tak perlu pergi ke suatu tempat untuk melahirkan sebuah puisi. Cukup dengan membayangkan wajah Danastri, maka terciptalah puisi-puisi indah.

“Saya permisi pulang dulu, Pak.”

Suara Danastri membelah sunyi. Aku terperangah dari lamunan. Saat jarakku dengannya hanya beberapa meter, refleksi sorot matanya membiaskan bayangan di benakku. Namun cepat-cepat aku berusaha menguasai diri, agar Danastri tidak mengetahui bahwa aku sedang melamunkan dirinya. Danastri mengulurkan tangannya dan kusambut sembari menganggukkan kepala. Dadaku berdesir saat Danastri mencium punggung tanganku. Meski kutahu, itu hanyalah bentuk hormat murid kepada gurunya. Tidak lebih.

“Aku mencintai Danastri, Bu. Tapi aku tidak mengerti, bagaimana caranya aku mengungkapkannya. Danastri terlalu menghormatiku, tentu kewibawaanku akan rusak bila ia tahu aku mencintainya,” ungkapku suatu pagi saat ibu selalu menuntutku agar segera menikah.

Tak ada salahnya bila ibu menuntutku agar segera menikah. Usiaku sudah cukup matang untuk membangun rumah tangga. Keinginannya untuk segera menimang cucu sudah tak dapat ditahan lagi. Namun, alasanku menunda menikah adalah menunggu Danastri lulus dari sekolahnya.

Kerap kali hati dan logika bertengkar hebat. Menerka saling mencerca, di antara tataran rasa. Bagaimana mungkin seorang guru mencintai anak didiknya sendiri? Namun hati tak dapat mengelak, rasa ini terlanjur ada dan semakin bertambah setiap harinya.

***

Tumpukan buku binder sudah tertata rapi di depan mejaku. Tugas membuat puisi cinta telah kuberikan dua hari yang lalu. Sejenak kutatap anak-anak. Wajah mereka dingin, menunggu aku mengulas karya mereka lalu menilainya.

Rata-rata puisi cinta mereka tidak ada yang membuatku berdecak kagum. Hanya satu puisi yang menurutku menggunakan imaji serta diksi yang sesuai, dan puisi itu adalah milik Endaru. Endaru merupakan sahabat dekat Danastri. Saat berangkat maupun pulang, Endaru selalu mengantar Danastri. Bahkan tak jarang, aku dibuat cemburu melihat kedekatan mereka.

Kuakui Endaru memang potensial di dunia tulis-menulis. Baru beberapa bulan ia bergabung dengan kelas menulisku, sudah menunjukkan kemajuan yang signifikan. Namun aku mengurungkan niat untuk memberi tahu puisi siapa yang paling bagus. Pandanganku kembali menyapu seluruh isi ruangan. Wajah anak-anak masih tampak tegang.

“Puisi bertema cinta kalian ini tidak ada yang bagus. Kalian memaknai cinta hanya sebagai sebuah rasa. Padahal cinta bisa dijadikan objek dalam puisi.”

Anak-anak saling pandang dengan teman sebangkunya.

“Mohon maaf, Pak. Apakah dari semua puisi cinta tersebut tidak ada yang bagus?” Celetuk salah seorang anak seraya beranjak dari duduk. Matanya sedikit awas melirik ke kanan dan kiri, mungkin merasa terlalu lancang bertanya seperti itu.

Jika boleh jujur, memang puisi cinta milik Endaru yang paling bagus. Namun, aku berpikir berulang kali sebelum mengumumkannya kepada anak-anak. Kalau aku berkata demikian, Danastri akan merasa terkalahkan oleh Endaru, dan ia akan sedih.

“Puisi Danastri yang lumayan. Hanya saja diksinya kurang,” kataku sembari mengambil buku binder berwarna ungu milik Danastri.

Wajah anak-anak semakin dibuat bingung olehku. Tak terkecuali Danastri, ia juga tampak bingung mengetahui puisi miliknya yang aku nobatkan paling lumayan di antara teman-temannya. Sebenarnya aku pun sadar, bahwa puisi cinta milik Danastri tidak begitu bagus. Bahkan terkesan biasa saja. Aku berbohong untuk kesekian kalinya. Cintalah yang membuatku melakukan kebohongan semacam itu. Ketika ingin mencoba mengontrolnya, ia akan semakin liar. Ketika ingin memahaminya, itu akan membuatku merasa tersesat dan bingung. Entahlah.

Danastri tersipu malu. Seulas senyum tergurat di kedua sudut bibirnya. Wajahnya merona. Aku lega. Lesung pipinya juga semakin menambah kekagumanku.

Kulanjutkan kelas menulis sore ini dengan materi puisi, karena anak-anak belum terlalu mahir dalam memilih diksi yang tepat dalam setiap puisi yang mereka ciptakan.

“Puisi itu lahir dari raungan jiwa. Lalu mengalir cinta dalam sebuah aksara. Berulang kali saya bilang, lebih baik menggunakan majas. Biarkan pikiran pembaca berlompatan untuk menebak dan memahaminya sendiri, tapi jangan terlalu rumit juga.”

Anak-anak mendengar penjelasanku dengan saksama. Sesekali aku mencuri pandang ke arah Danastri. Namun sepertinya, ia tak menyadari itu.

Tak terasa, dua jam telah berlalu. Itu artinya aku sudah harus menghentikan kelas menulis sore ini. Anak-anak pastinya juga memiliki kesibukan lain, seperti membantu orangtuanya atau mengerjakan tugas sekolah masing-masing.

“Demikian materi kita pada sore hari ini, jangan lupa dipelajari lagi, dan perbanyaklah membaca, karena tidak mungkin bisa menulis kalau minim membaca. Sekian dari saya, silakan pulang ke rumah masing-masing dan hati-hati di jalan,” tukasku sebagai penutup kelas menulis sore ini.

Anak-anak bergegas memasukkan peralatan menulisnya, lalu berebut untuk berpamitan denganku, tetapi berbeda dengan Danastri, ia memilih mengantre sambil menunggu giliran. Lamat-lamat kuperhatikan Danastri dan Endaru sedang berbincang. Namun, aku tak dapat mendegar apa yang mereka sedang bicarakan, karena suara anak-anak yang riuh silih berganti. Sepertinya Endaru sedang buru-buru, ia pun pulang terlebih dahulu dari Danastri. Padahal biasanya mereka datang dan berangkat selalu bersama.

Setelah semua anak-anak keluar kelas, kini giliran Danastri. Ia melangkah santai mendekatiku sambil tertunduk. Ia tidak segera berpamitan dan pulang, justru hanya berdiri mematung di hadapanku.

“Maaf, Pak, bolehkah saya bertanya dengan bapak?” ungkapnya ragu-ragu sembari menggigit bibir bawahnya.

“Silakan,” jawabku datar untuk mengalihkan rasa canggungku tatkala berhadapan langsung dengannya.

“Menurut bapak, puisi cinta yang bagus seperti apa?”

Wajah Danastri menunduk. Aku terdiam sejenak. Ada rasa bahagia membuncah dalam dada ketika bisa berhadapan dengannya. Aku rasa, inilah kesempatanku. Sudah saatnya aku mengungkapkan perasaanku padanya.

“Seperti ini,” jawabku sembari mengeluarkan lipatan kertas kecil dari saku kiri yang berisi ungkapan perasaanku padanya, terangkai dalam bait-bait bernama puisi.

Danastri menyambutnya dengan sedikit ragu. Jantungku semakin berdegup tidak karuan. Hati mulai rusuh gemetar tak tertata. Danastri membuka lipatan kertas tadi, lalu membacanya.

Lima menit kemudian, Danastri beralih menatapku. Kubalas tatapannya dengan perasaan yang menggebu. Kucoba mengendalikan diri, tetapi detak jantung masih saja gaduh.

“Puisi ini bapak ciptakan untuk siapa?” tanyanya.

“Untuk kamu,” balasku tanpa ragu-ragu.

Danastri tersenyum. Hatiku semakin dibuat kacau olehnya. Ada yang membara, tetapi bukan api. Rasa yang timbul kian menyeruak. Ia sudah mengetahui bagaimana perasaanku padanya. Penantianku selama ini terbayar sudah. Sebentar lagi aku menyulam kebahagiaan bersamanya. Danastri.

“Terima kasih bapak, telah memberikan puisi cinta ini kepada saya. Saya akan memberikan puisi ini kepada Endaru, karena saya sudah lama mencintai Endaru, Pak,” ujar Danastri seraya meletakkan kertas tersebut di dadanya.

Aku membatu. Lidahku kelu. Hatiku membeku.

KOMPAK Yogyakarta, 2021

*)Cerpen ini telah tayang di portal mbludus.com pada 31 Oktober 2021 atau dapat dilihat di sini.