Oleh Praga Utama
bagian awal tulisan ini dapat dibaca disini
Dalam suatu kisah disebutkan, kawasan hutan lindung Sancang adalah tempat menghilangnya Prabu Siliwangi, raja Padjadjaran yang termahsyur. Pada suatu ketika Prabu Siliwangi berselisih dengan anaknya, Kian Santang, akibat masalah keyakinan. Prabu Siliwangi bersama pengikutnya melarikan diri dari kompleks kerajaan mereka di daerah Bogor ke Leuweung Sancang di Garut.
Di hutan inilah kemudian sang prabu merubah wujudnya (ngahyang) menjadi macan putih dan bersemayam di sana selamanya. Sementara para pengikutnya juga mewujud jadi harimau loreng. Nama Sancang sendiri berasal dari nama kerajaan kecil yang dipimpin saudara kandung Prabu Siliwangi. Kerajaan ini dahulu kala menguasai wilayah yang kini jadi hutan lindung tersebut.
Legenda Sancang serta Prabu Siliwangi yang ngahyang jadi macan putih, benar-benar diyakini masyarakat lokal terutama masyarakat adat Sancang, oleh karena itu mereka sangat menjaga kawasan hutan ini. Namun sayangnya, meski sudah ada legenda yang bikin tempat ini angker, dan statusnya yang ‘kawasan konservasi’ itu tidak membuat hutan dan pantainya bebas dari jamahan tangan-tangan rakus.
Aku melihat sendiri beberapa kayu gelondongan sisa illegal logging yang teronggok begitu saja di pinggir muara Cijeruk. Sementara kebutuhan perut warga yang semakin bertambah banyak membuat nelayan dan para petani rumput laut merambah pantainya dan mendirikan bangunan semi permanen di sana. Beruntung, kawasan ini tidak terlalu populer bagi wisatawan, sehingga sentuhan tangan manusia hampir tidak terasa di sana.
Menurut berita yang kubaca, perambahan hutan lindung Sancang telah merenggut keasriannya seluas 400 Ha lebih, di Hutan Sancang memang ada jenis kayu meranti merah yang terbilang langka dan harganya mahal. Sementara fauna khas Sancang seperti kerbau liar dan macan tutulnya dilaporkan sudah jarang ditemui. Sangat menyedihkan.
Kesakralan legenda hutan itu, keindahan alamnya, dan ‘pertunjukan’ alam di sana menimbulkan perasaan aneh di dalam hatiku selama menjelajahi pantainya. Di sana aku sempat memisahkan diri dari kawan-kawan lainnya. Aku berjalan melewati sebuah tanjung kecil dan melihat beting serta padang lamun berganti menjadi padang pasir yang luas.
Di padang pasir itu berkeliaran ratusan burung laut yang dengan damai berjalan-jalan, mematuki pasir, terbang rendah, menceburkan diri ke laut dan kembali membumbung dengan ikan di paruhnya. Beberapa kayu mati teronggok dan pohon bakau kerdil tumbuh di tengah-tengah oase itu.
Meski masih di pinggir pantai, tapi lautan berada sangat jauh, bahkan suara gemuruh ombak tak terdengar. Suasana di sana sangat sunyi dan tenang. Aku berjalan semakin ke tengah, ingin menyaksikan kehidupan burung liar lebih dekat. Burung-burung terbang menjauh waktu mendengar langkahku. Mereka terbang dengan formasi teratur yang sungguh menakjubkan.
Yang paling menarik, di ujung hamparan pasir itu ada sebuah kapal sejenis tugboat berukuran cukup besar yang karam. Kapal itu tampak sudah cukup lama karam di sana, itu terlihat dari tubuhnya yang berkarat. Waktu aku mencoba mendekat, ternyata lokasi antara kapal karam dengan padang pasir itu dipisahkan selat kecil dan tampak cukup dalam untuk diseberangi dengan jalan kaki, terlihat dari airnya yang biru pekat dan tenang.
Sambil menyaksikan semua keajaiban itu aku menikmati kesunyian dan kesendirian yang terasa. Di situlah momen ketika gerakan semu fatamorgana di atas hamparan pasir nan luas pasir akibat panas yang menguapkan air menyadarkanku: “Ini dia tempat yang sejak dulu kucari. Tempat yang selalu ada di dalam impianku, aku sudah menemukannya!”
Aku memang selalu mengidamkan suatu tempat lapang, dengan langit biru dan udara sejuk. Sejauh mata memandang hanya terlihat hijau segar dari kerimbunan pepohonan, langit biru tua, awan putih, dan horizon yang tak terjangkau. Aku selalu merindukan kesendirian di tengah keleluasaan dan kebebasan. Aku menemukan itu semua di Sancang.
Setiap menemukan objek menarik aku berloncat-loncat kecil dengan gembira. Waktu aku duduk di atas kayu mati yang rupanya mirip kerangka dinosaurus, aku berteriak kencang, melepaskan segala rasa yang terpendam, burung-burung yang sedang mencari makan sampai kaget dibuatnya. Aku benar-benar sendiri dan menikmati momen itu. Meski begitu, alam liar tetaplah alam liar, dan terlepas dari mitos tentang Prabu Siliwangi yang menyelimuti Sancang, dari awal aku sudah membuat aturan sendiri: tak boleh lancang di Sancang (dan tempat lainnya tentu saja).
Setelah merasa cukup (meski sebenarnya tak puas hanya sebentar di sana) aku kembali ke tempat teman-temanku. Norman sudah berada di tengah hamparan beting, memancing. Aku segera membuka pakaian, tak memedulikan matahari yang menyengat dan bergabung dengannya. Norman hanya mendapatkan dua ekor ikan seukuran telapal tangan, tak tahu apa namanya.
Sambil menyaksikan Norman menunggu kailnya disambar ikan layur yang dia inginkan, aku berenang-renang di antara terumbu karang. Sesekali aku menyelam, dan membuka mata di dalam air. Meski perih aku tak peduli, aku ingin melihat kehidupan bawah air.
Seorang nelayan tradisional tiba-tiba muncul dari bawah air tak jauh darii hadapanku, dia membawa tombak panjang dan menggunakan masker snorkeling, di ujung tombaknya yang tajam seekor gurita berukuran sedang tampak menggeliat-geliat sekarat. Ikan-ikan kecil berwarna biru menyala, kuning terang, transparan, beraneka bentuk berlarian di sekitar kakiku. Bintang laut dan bulu babi dengan mudah dijumpai.
Waktu sedang asik melihat-lihat tiba-tiba ada ombak besar dan aku hampir terbawa arus. Reflek aku menggapai karang terdekat, dan tanganku terluka karenanya.
Meski setelah tiba di penginapan seharga 60 ribu semalam untuk bertiga di Santolo, aku menemukan tubuhku gosong, tanganku penuh luka, dan mataku merah berair karena terlalu bersemangat bermain—main di Sancang, tapi itu semua bukan suatu masalah buatku. Karena di dalam hati aku sudah merasa cukup.
Sancang adalah highlight di antara kekecewaan. Kekecewaan kibat menyaksikan pantai-pantai di Garut Selatan yang pada dasarnya sangat memesona, tapi dikelola dengan buruk hingga pesonanya pudar. Tapi perjalanan 3 hari dua malam ke sana adalah satu hal lain yang tak bisa kuceritakan dengan sederhana. Trek Bandung – Rancabuaya via Pangalengan dan Cisewu yang kami lalui dalam perjalanan pergi maupun pulang adalah keajaiban tersendiri.
Masih terbayang jelas, waktu petir pertama siang itu di Sancang menyadarkanku, matahari kalah perkasa oleh awan hujan. Suara menggelegar sang petir itu kuanggap alarm yang mengingatkan kalau sudah habis waktuku hari itu di Sancang. Belum juga berkemas, petir terus menggema bersahut-sahutan. Aku dan kawan-kawanku harus segera beranjak dari sana.
Begitu menginjakan kaki di atas getek yang melintasi muara Cijeruk, aku menoleh kebelakang, angin bertiup kencang menggoyangkan pepohonan. Buatku gerakan pepohonan seperti ‘lambaian tangan’ dari hutan Sancang buatku. Dalam hati aku berikrar untuk menyempatkan kembali lagi ke sana, Pantai dan Hutan Sancang.
Praga Utama (praga.utama@gmail.com)
Komentar Terbaru