PINISI, KAPAL LEGENDARIS WARISAN BUDAYA DUNIA OLEH UNESCO

AWAL MUNCULNYA PINISI

Sebuah tulisan yang menyebutkan awal munculnya pinisi perahu layar asal Sulawesi terdapat pada sepucuk artikel dalam majalah Koloniale Studiën tahun 1917: “… sebuah sekunar kecil dengan tali-temali berteladan Eropa”.  Sebagai kendaraan laut Nusantara, layar tipe kets-sekunar, pinisi memang baru terekam pada pertengahan abad ke 19 dan baru pada awal abad ke-20 makin banyak perahu asal Sulawesi mulai berdatangan. 

Artikel lainnya menunjukkan adanya pembuatan perahu di ujung tenggara Sulawesi Selatan yang berasal dari Notitie atau ‘Berbagai Catatan’, karangan Cornelis Speelman, pemimpin armada Kompeni India Timur Belanda yang pada tahun 1666-1669 menyerang dan menaklukkan kesultanan Makassar.  Dalam ratusan halaman notulen tulisan tangan tentang kegiatan Speelman selama perang itu. Terdapat juga beberapa laporan tentang keadaan Sulawesi pada masanya.

“Biera, een propere negerij op den hoeck van Lassem. Daeraan heeft de Compagnie oock eygendom, maer is door de Bougijs gebrand. […] Het volck van dese negerij sijn almeest praauwemaeckers, alsoo alhier wel de voorneemste timmerwerff van de Maccassaren is geweest, om de houtrijckheyt van Boelecomba daar naest aan leggende, uytleverende seer durabel ijsserhout, van ongelooffelijcke swaarte, en voorts ander slagh meede.”

“Bira adalah sebuah negeri sendiri di Tanjung Lassem. Kebanyakan rakyat negeri itu adalah pembuat perahu, sehingga di situ pun terdapat galangan terpenting orang Makassar, sebab negeri itu berdekatan dengan Bulukumba yang kaya akan kayu, menyediakan kayu besi yang sangat bertahan dengan beratnya yang tak dapat dipercaya dan berbagai jenis kayu lain.”

Sepucuk naskah lainnya tentang pelayaran dan perdagangan pada pertengahan kedua abad ke-17 ini berasal juga Kodeks Amanna Gappa l, menurut cendekiawan Belanda yang pada tahun 1869 menerbitkan sebuah artikel “Pedagang sulawesi sampai hari ini masih sangat dihormati oleh semua saudagar dan pelaut”.  Naskah ini juga membahas berbagai aturan yang harus diikuti pelaut, saudagar dan penumpang selama berlayar dan menjabarkan cara membagi hasil suatu pelayaran perdagangan.

Di dalamnya juga terdapat penjelasan atas berbagai jalur yang biasa dilayari para pelaut Sulawesi pada waktu itu. Ternyata mereka terbiasa berdagang ke seluruh pelosok Nusantara.  Tradisi pelayaran ini tergambar juga pada beberapa peta laut Bugis pada abad ke-18 dan ke-19 yang tetap mengikuti keterangan yang diuraikan dalam naskah pelayaran karangan Amanna Gappa I itu.

Dalam terjemahan buku Stovorinus itu ke dalam Bahasa Inggris terdapat sebuah catatan kaki yang menyajikan berbagai informasi tambahan yang diambil dari pengamatan sebuah nahkoda inggris di Bengkulu

“Mereka membuat perahu-perahu paduakan mereka dengan sangat rapat, dengan menyambung papan-papannya dengan pasak kayu, sebagaimana yang dibuat oleh pembuat tong kayu pada bagian yang menjadi penutup, dan meletakkan kulit kayu asal sejenis pohon tertentu di antaranya, yang mengembang [bila kena air], dan berikutnya memasang gading-gadingnya kepada [papan itu …].  Di Eropa kita membangun [kapal] secara terbalik; kita mendirikan gading-gadingnya dahulu, dan setelahnya memasang papan-papannya kepadanya; yang terbesar tak pernah lebih besar daripada 50 ton [muatan]; mereka cenderung menggunakan model-model dan perlengkapan kuno dalam melengkapi perahu-perahu mereka. Bagian haluan perahu-perahu paduakan direndahkan atau dipotong sebuah sekat didirikan seberapa jarak ke arah buritan, untuk melindunginya terhadap air laut, dan bagian haluan itu sedemikian rendah bahwa ia sering berada di bawah permukaan laut.  [Perahu-perahu itu] memakai tiang tripod dengan layar bersegi yang menjulang tinggi; tiang tripod itu terbuat dari batangan bambu yang kuat; dua batang yang didirikan di sebelah kiri-kanannya, dan satu dari bagian haluan perahu, diikat di ujung atasnya; kedua batang di buritan dilubangi [… dan dipasang kepada kaki tiang] seperti pada sebuah engsel; bagian depannya dipasang ke haluan, seperti tali laberang, pada sebatang kayu, dengan pengunci; dengan membuka pengunci itu tiangnya dapat dibaringkan dalam sesaat.”

ASAL – USUL NAMA PINISI

Ada berbagai versi penamaan Kapal Pinisi, kapal legendaris yang berasal dari Sulawesi Selatan dan merupakan Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda sejak Desember 2017. 

Ada yang mengklaim bahwa istilah pinisi berasal dari salah satu pelabuhan historis di Italia, tepatnya di kota Venesia. Tempat yang dikunjungi pelaut pada zaman terdahulu dimana mungkin jenis layar itu berasal. Ada yang menyebutkan bahwa salah seorang Raja Tallo telah menamai perahunya ‘Pinisi’ sejak awal abad ke-17. Adapun pun yang berpendapat bahwa perahu Pinisi sudah dipakai oleh para pahlawan Epos La Galigo guna mencari jodoh dan takdir. 

Salah satu versi terbaru yaitu konon pernah ada seseorang yang bernama Pinisi yang ketika lewat di Tanjung Bira menegur salah seorang nahkoda kapal bahwasanya layar yang digunakannya masih perlu diperbaiki.  Sejak saat itu orang Bira berfikir dan mendesain layar sedemikian rupa dan akhirnya berbentuk layar Pinisi yang seperti sekarang ini.  Atas teguran orang tersebut maka orang-orang Bira memberi layar itu dengan nama Pinisi. Sayangnya, tak satu pun dari sekian banyak sebutan kisah ini menjelaskan sumbernya. 

Asal-usul pembuatan perahu di daerah Bontobahari telah menjadi topik sekian banyak kisah dan cerita rakyat setempat.

Legenda terkenal dihubungkan dengan Epos La Galigo, serangkaian naskah yang mengisahkan awal kerajaan Luwu, salah satu negeri di ujung utara Teluk Bone.  Konon ceritanya, salah seorang putra mahkota kerajaan yang bernama Sawerigading jatuh cinta pada adik kembarnya, We Tenriabeng.  Karena percintaan yang demikian dianggap melanggar adat dan susila maka Sawerigading diminta meninggalkan Luwu dan berlayar ke Cina, di mana tinggal seorang putri kerajaan yang separas dengan adik kembarnya itu. 

Sebuah perahu besar, Waka Welenreng dibangun untuknya dan setelah menjalani berbagai petualangan, Sawerigading akhirnya berhasil meminang putri yang bernama We Cuddai itu.  Akan tetapi, ketika ingin berlayar pulang ke Luwu, perahu Sawerigading tenggelam terpecah-belah di Selat Selayar dan pecah-pecahan yang terdampar di pesisir Lemo-Lemo, Bira dan Ara kemudian dikumpulkan oleh masyarakat setempat untuk disusun kembali menjadi perahu pertama yang dibangun di daerah itu.

Versi lainnya, menurut orang Lemo-Lemo, lunas dan gading-gading lambung hanyut ke pantai di depan kampung, sehingga merekalah yang mendapatkan rumus pembuatan perahu. Sedangkan menurut orang Ara, papan-papannya yang terdampar di pantai mereka pasangkan ulang sehingga menjadi pedoman bagi perahu-perahu buatan mereka. Sedangkan Tiang perahu terdampar di Bira, sehingga orang Bira belajar berlayar dan menjadi pelaut ulung. 

JENIS JENIS KAPAL PINISI

Jenis kapal dapat digolongkan dengan tiga cara: ada istilah yang menandai layarnya, ada yang menggambarkan bentuk lambung dan ada yang berasal dari cara dan tujuan pemakaiannya.

Perahu Nusantara dibangun dengan menyusun sebagian lambungnya dari papan yang disambing dengan pengikat atau pasak sebelum memasang kerangkanya (gading-gading). Berbeda dengan kebanyakan kapal layar historis yang buritannya segi empat, perahu Nusantara ini buritannya berbentuk lancip.

Berikut jenis-jenis kapal pinisi baik yang masih eksis maupun yang sudah tidak digunakan lagi.

1. Toop

Pada akhir abad ke 18 muncullah perahu Nusantara baru yang dalam rekaman dan administrasi pemerintah kolonial dicatat dengan sebutan Toop. Menurut seorang pengamat pelayaran Nusantara pada abad ke 19 tipe Toop ini pada umumnya digunakan untuk pelayaran jarak jauh dan menunjukkan paling banyak kesamaan dengan rancangan kapal Eropa.

Buritan Toop yang persegi empat dan lambungnya mirip dengan kapal layar Eropa dibanding kapal Nusantara. Perahu ini dibuat dengan mengikuti cara membangun kapal Eropa yaitu melapisi gading-gading yang didirikan diatas lunas dengan papan. Pada abad pertengahan pertama abad ke 19, perahu ini tercatat sebagai yang paling umum digunakan oleh pelaut dan saudagar seantero Nusantara.

2. Padewakang

Padewakang (Bahasa Makassar, Mandar dan Konjo) atau Paduwakang (Bahasa Bugis) adalah sejenis perahu historis yang tercatat sejak awal abd ke 18 dalam naskah indigen yang merupakan karangan penjelajah dan etnografer maupun laporan kompeni-kompeni dagang Eropa dan pemerintahan kolonial. Menurut rekaman kesyahbandaran, pada pertengahan kedua abad 18, perahu Pandewakang melayari selurih lautan Nusantara dari Malaka sampai ke Maluku serta menguasai laut perdagangan Makassar.

Dalam berbagai sumber, perahu Pandewakang bertiang satu sampai tiga dengan layar segi empat memanjang dalam bahasa Makassar atau Konjo disebut Sombala’ Tanja’. Pada abad ke-18 seorang pengamat menyebutkan ukuran perahu Pandewakang dapat memuat kurang dari 50 ton muatan. Tulisan pada abad ke-19 juga menyebutkan ukuran pandewakang pada masa itu; perahu paling besar tipe ini panjang 50-60 kaki (15-18 meter) lebar 13 kaki (4 meter) dan tinggi 8 kaki (2,5 meter). Untuk yang kecil panjang 25-30 kaki (8-9,5 meter), lebar 8 kaki (2,5 meter) dan tinggi 6 kaki (1,8 meter).

Pada abad ke-19 layar perahu Pandewakang berubah. Layarnya mulai memadukan layar Tanja. Proses ini bermula di kawasan barat Nusantara sampai awal abad ke-20 melahirkan tipe palari sebagai penggantinya.

3. Palari

Pada tahun 1930-an salah seorang pelaut Daeng Pale masih mengingat alasan peralihan dari kapal Padewakang ke Kapal Palari. “Yang mendorong pelayar Sulawesi untuk meninggalkan Sambala Tanja yang digunakan dari dahulu demi layar pinisi yang lebih bersifat Eropa karena kemudahan dalam pemakaiannya”

4. Pinisi

Deskripsi pertama yang ditemukan ‘penisch’ pada entri ‘vaartuige ‘ atau kendaraan laut, dalam jilid IV ‘encyclopedie van nederlandsch indië: “sejenis perahu dalam negeri yang berbentuk sekunar, dengan satu batang tiang yang besar dan satunya lagi kecil berasal dari Pantai Jembrana (Bali) dan dibangun di kampung Bugis Loloan, kelihatannya jenis kapal itu dikenali di Pantai Selatan Celebes , dan juga Banjarmasin”. Penjelasan ini didasarkan atas informasi pribadi oleh H.L.Ch. Mechelin.

Pada pertengahan abad ke-19, koran-koran dan daftar registrasi kendaraan laut Hindia-Belanda mulai mencatat sejenis perahu baru yang disebut ‘penisch’, ‘pinis’, ‘pinas’ atau sebunyiannya. Menurut catafan, kapal penisch dapat memuat hingga 50 ton dengan perkiraan ukuran panjang 17 meter.

Dalam daftar Hindia Belanda perahu-perahu dibedakan dari ‘schoener’ nya atau sekunarnya. Pada tahun 1860-an, ‘penisch’ terbesar yang tercatat dalam daftar yaitu dimiliki oleh Soe Hin asal Belitung yang memuat sampai 50 ton dan yang paling kecil dimiliki oleh Fattahul Karim yang memuat sampai 12 ton muatan.

Pada pertengahan abad ke-20 bentuk perahu palari berubah. Perahu-perahu itu tidak lagi dibangun dengan meninggikan lambung pajala, sehingga geladak rendah haluan selompomg yang menjadi salah satu ciri khas perahu tipe Pandewakang dan Palari menghilang dan serambi geladak belakang ‘ambeng’ tidak lagi bertingkat memanjang ke atas buritan lambung seperti yang terdapat pada kedua jenis perahu itu. Lambung ini di namakan ‘jenggolang’ dan bila dilengkapi dengan tali-temali sekunar Sulawesi maka tipe perahu itu mulai dijuluki dengan tipe layar bernama pinisi.

Nama baru sekunar Sulawesi ini tidak langsung menyebar. Pada tahun 1986 baru muncul dalam berita koran Singapura yang bertuliskan pelayaran Pinisi Nusantara, sebelumnya disebutkan perahu-perahu Nusantara. Di Indonesia sendiri Pinisi dikenal di tahun 1960-an.

Dinas Pariwisata Kota Makassar

Jalan Urip Sumoharjo, Karampuang, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90231

Find Our Social Media

Copyrights @2022 Dinas Pariwisata Kota Makassar | All Rights Reserved