Sukarno

From Ensiklopedia
Presiden Soekarno (circa 1949)

Sukarno adalah presiden pertama Republik Indonesia dan Bapak Proklamator Indonesia. Ia lahir pada 6 Juni 1901, dari rahim seorang ibu keturunan bangsawan dari Singaraja, Bali bernama Ida Ayu Nyoman Rai Srimben dan ayah Raden Soekemi Sosrodihardjo. Soekemi menyematkan nama Kusno ditambah nama belakang dirinya kepada putranya (Salam 1982: 18). Kehadiran Kusno telah melengkapi kebahagiaan keluarga kecil yang pada saat itu tinggal di Jalan Pandean IV/40, Surabaya. Sebelumnya, pasangan Soekemi dan Ida Ayu telah dikaruniai seorang putri bernama Soekarmini. Kusno kecil sering terserang sakit, seperti malaria dan disentri, sehingga Soekemi mengganti nama Kusno menjadi Sukarno. Tradisi mengganti nama anak yang sakit-sakitan memang lazim dalam kepercayaan orang Jawa (Adams 1986). Saat beranjak dewasa, Sukarno baru memahami bahwa kata “Sukarno” ternyata diambil dari nama salah satu tokoh pewayangan, yaitu Karno. Menurut Soekemi, Karno adalah pahlawan besar dalam cerita Mahabharata. Sembari memegang bahu Sukarno, Soekemi mendoakan putranya agar tumbuh menjadi seorang patriot. Dalam sebuah memoar yang ditulis Cindy Adams, Sukarno juga mengenang kalimat yang diucapkan ibunya pada suatu pagi, bahwa Sukarno dilahirkan pukul setengah enam pagi saat fajar mulai menyingsing. Ia percaya bahwa suatu hari, Sukarno akan menjadi orang yang mulia dan menjadi pemimpin yang dicintai rakyat. Menurut kepercayaan orang Jawa, orang yang dilahirkan saat matahari terbit nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Berdasar pada kepercayaan itu, Ida Ayu berpesan pada putranya agar selalu ingat bahwa dirinya adalah putra sang fajar. Kelahirannya juga menandai suatu abad baru, yaitu 1901 yang merupakan awal abad ke-20. Lebih dari itu, abad ke-20 juga menjadi awal zaman baru sekaligus tonggak nasionalisme di kalangan penduduk Bumiputra, yang dimulai dari kaum intelektual (Niel 1970).

Masa kanak-kanak Sukarno dihabiskan di beberapa kota di Jawa Timur, mulai dari Surabaya, Jombang, hingga Mojokerto. Hal itu karena profesi sang ayah sebagai guru yang sering dipindahtugaskan, sehingga Sukarno pun ikut serta berpindah tempat tinggal. Kota pertama yang disinggahi adalah Jombang. Saat berusia enam tahun, keluarga Soekemi hijrah ke Mojokerto. Persinggahannya di berbagai kota dikenang oleh Sukarno sebagai babak-babak baru yang mempengaruhi pemikiran dan kedewasaannya. Mojokerto menjadi persinggahan yang berkesan justru karena keterbatasan yang dimiliki keluarga kecil Soekemi. Dengan gaji sekitar $ 25 per bulan, Soekemi harus menghidupi istri dan kedua anaknya (Palmier 1957: 101-119). Keadaan serba terbatas tersebut sering kali membuat Sukarno termenung dan kadang-kadang menangis tersedu. Apalagi, ketika ia mendengar suara anak-anak yang bermain petasan saat lebaran. Dalam kondisi demikian, ibu yang memiliki kebesaran hati adalah kekuatan terbesar Sukarno. Sukarno juga sangat menyukai sungai. Sungai adalah kawan terbaiknya saat kecil, karena ia dapat bermain di sana tanpa harus mengeluarkan biaya. Selain menyukai berbagai hal yang memiliki unsur air, Sukarno juga memiliki minat dan kecintaan yang tinggi terhadap seni. Hal itu telah muncul sejak Sukarno masih kecil.

Satu hal yang unik dari masa kecil Sukarno adalah kegemarannya mengumpulkan bungkus rokok Westminster keluaran Inggris. Kegemaran itu bukan tanpa alasan. Sukarno kecil ternyata mengagumi Mary Pickford, Tom Mix, Eddie Polo, Fatty Arbuckle, Beverly Bayne, dan Francis X. Gambar-gambar idolanya itu ditempel di dinding kamar. Sukarno menjaga kumpulan gambar itu dengan nyawanya, karena itu adalah harta yang dimilikinya untuk pertama kali (Adams 1986: 39). Kebiasaan mengumpulkan gambar rupanya berlanjut sampai dewasa. Sukarno gemar mengumpulkan lukisan-lukisan yang indah. Selain gemar mengumpulkan gambar-gambar idolanya, Sukarno juga selalu mengikuti sang ayah menonton pertunjukan wayang kulit purwa. Ia senantiasa duduk di dekat kotak wayang atau di belakang dhalang saat pagelaran berlangsung. Kelak, Sukarno dikenal sebagai pemimpin yang memiliki kecintaan dan penghayatan tinggi terhadap seni.

Sukarno memulai pendidikan formal di Sekolah Angka Loro (Sekolah dasar kelas dua untuk anak-anak Bumiputra dengan lama pendidikan tiga tahun). Ketika itu, ayahnya sedang bertugas di Sidoarjo. Dalam hal pendidikan Sukarno dikenal sebagai anak yang pintar, meskipun tidak tergolong sebagai siswa yang rajin. Meskipun demikian, ia adalah anak yang selalu bertanya tentang apa saja yang terlintas di pikiran dan kurang dimengerti. Pertanyaan tersebut ia tujukan baik kepada guru maupun orang tuanya. Beruntung, ayahnya adalah seorang guru sehingga pertanyaan-pertanyaan Sukarno kecil dapat terjawab dengan baik.

Selain di bangku sekolah, Sukarno juga mendapatkan sentuhan pendidikan dari sang ayah. Sekalipun telah belajar selama berjam-jam di sekolah, saat di rumah Sukarno masih harus belajar membaca dan menulis (Fahrudin 2020: 51). Hidup di bawah bayang-bayang Pemerintah Kolonial Belanda mengharuskan Sukarno melewati berbagai penyetaraan jika ingin mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang baik. Saat berusia 12 tahun, Sukarno disekolahkan di sekolah Kelas Satu. Upaya itu dilakukan sebagai bentuk penyetaraan pendidikan, sehingga Sukarno dapat mendaftar di Hoogere Burger School (HBS). Sejak 1907, Sekolah Kelas Satu menerapkan masa pendidikan lima tahun yang mengajarkan Bahasa Belanda.

Berkat kepandaiannya, Sukarno dipindahkan ke Europeese Lagere School (ELS). Ia menjadi murid yang menonjol dan giat belajar, terutama dalam ilmu bahasa, menggambar, dan berhitung. Selain itu, Sukarno juga mengambil kursus Bahasa Perancis di Brynette de La Roche Brune. Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Sukarno dikirim ke HBS di Surabaya. Sukarno tinggal di rumah sahabat ayahnya, yaitu Tjokroaminoto yang tidak lain adalah pemimpin Sarekat Islam (SI). Tjokroaminoto tinggal bersama istri dan lima anaknya. Mereka tinggal di rumah depan, sementara Sukarno mendiami salah satu kamar di belakang yang disewakan (Adams 1986). Di Surabaya, Sukarno berkenalan dengan banyak pemimpin politik, antara lain Tjokroaminoto sendiri, Agus Salim, Sneevliet, Semaun, Musso, Alimin, dan Ki Hadjar Dewantara (Ricklefs 2005: 375).

Selain bertemu dengan banyak tokoh politik, Sukarno juga mulai membaca buku-buku tentang sejarah Eropa. Bukan hanya memahami perkembangan ideologi orang-orang Eropa, membaca juga menjadikan Sukarno mengenal orang-orang besar dari segala bangsa. Sukarno juga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar dari Tjokroaminoto, pemimpin partai terbesar pada masa itu yang dijuluki “Radja yang Dinobatkan” oleh orang-orang Belanda (Adams 1986). Diskriminasi yang didapat selama bersekolah di HBS, berbagai hal yang didengar dari para pemimpin politik, serta kebiasaan membaca dan menyelami berbagai peristiwa di dunia telah menggerakkan sikap politik anti penjajahan dalam dirinya, hingga ia menyebut Surabaya sebagai “Dapur Nasionalisme”. Pada 1918, Sukarno menjadi anggota gerakan Jong Java dan mulai menulis di surat kabar SI dan Oetoesan Hindia. Ia juga mulai menunjukkan kemampuan retorik yang mengesankan dalam rapat-rapat SI. Sukarno berhasil lulus dari HBS pada 1921 dan melanjutkan ke Sekolah Tinggi Teknik di Bandung. Sebelumnya, ia telah mempersunting Utari, putri Tjokroaminoto. Oleh karena usia Utari yang masih sangat muda, mereka terikat dalam sebuah ikatan perkawinan yang pernikahannya ditunda atau disebut kawin gantung (Ricklefs 2005: 376).

Setelah menamatkan sekolah di Surabaya, Sukarno hijrah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di Technishe Hoogeschool (sekarang ITB). Bagi Sukarno, Bandung adalah “Gerbang ke Dunia Putih”. Pada Agustus 1921, Sukarno pernah kembali ke Surabaya ketika Tjokroaminoto ditangkap karena dituduh telah memberikan sumpah palsu. Sukarno meninggalkan kuliah dan kembali untuk bekerja sebagai pegawai perusahaan kereta api di Surabaya. Tujuannya adalah untuk menjadi tulang punggung keluarga Tjokroaminoto. Ketika Tjokroaminoto dibebaskan, Sukarno kembali ke Bandung.

Berbagai pengaruh yang didapatkan di Bandung pada akhirnya melemahkan hubungan Sukarno dengan Tjokroaminoto, baik sebagai guru dan murid mapun pribadi. Hal itu karena pada 1922 Sukarno bercerai dengan Oetari dan kemudian menikah dengan Inggit Garnasih. Bandung juga telah menjadi pusat berbagai ide yang mempengaruhi pandangan Sukarno. Namun demikian, hal yang terpenting adalah bahwa di Bandung Sukarno bertemu dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkususmo yang membuatnya sangat terkesan. Ia juga dekat dengan Ki Hadjar Dewantara. Ketiga tokoh itu, dengan pemikiran yang tidak hanya berfokus pada kerangka Islam, namun juga nasionalisme dan marxisme, telah memberi pengaruh besar dalam pemikiran Sukarno.

Kegemaran membaca, pengalaman politiknya dan perkenalan dengan tokoh-tokoh besar telah memberi Sukarno kemampuan teoretis serta praktis tentang bahaya disintegrasi. Oleh sebab itu, pemikiran-pemikiran Sukarno selalu diarahkan pada perjuangan dalam rangka persatuan. Dari Tjokroaminoto Sukarno belajar teknik-teknik konsiliasi. Sementara itu, dari Ki Hadjar Dewantara ia belajar memadukan arus pemikiran Barat dan tradisional. Meskipun Sukarno tidak menerima teori Marxis secara total, namun Marxisme Alimin dan Semaun telah memberinya persepsi tentang imperialisme sebagai sistem kekuasaan serta perlunya pengakuan atas perjuangan melawan imperialisme. Sukarno menangkap sesuatu tentang romantisme dan revolusi yang tidak dapat diprediksi dari Tan Malaka. Dari Douwes Dekker ia menarik konsep keutamaan revolusi nasionalis dan mengikat rakyat Hindia menjadi satu kesatuan (Legge 2012: 43).

Konsepsi-konsepsi yang telah ia serap baik dari guru maupun dari sesama tokoh perjuangan serta pengalaman empirik selama bertemu dengan rakyat dari berbagai kalangan telah menjadi peletak dasar pemikiran Sukarno, yaitu “Marhaenisme”. Konsepnya tentang “Marhaenisme” merupakan sebuah ikhtiar untuk menyesuaikan Marxis proletariat dengan keadaan sosial masyarakat agraris. Hal itu sebagaimana ia ungkapkan bahwa konsep “proletariat” sama sekali tidak relevan dengan Indonesia. Daripada proletar, Sukarno lebih memilih menyebut rakyat Indonesia sebagai “orang kecil” yang meskipun sangat miskin, namun sebenarnya masih memiliki hak kepemilikan, baik berupa cangkul, bajak, kerbau, maupun barang-barang yang dijual di kios-kios. Dengan demikian, doktrin sosial harus menempatkan mereka sebagai tokoh sentral yang sama sekali berbeda dari kaum proletar karena pada kenyataannya para petani meskipun sangat miskin tetapi tidak menjual tenaganya. Mereka berusaha untuk diri mereka sendiri. Sukarno menggunakan istilah “Marhaen” untuk melambangkan “orang kecil” dan merupakan penilaian yang adil tentang sifat masyarakat Indonesia. Istilah “Marhaen” sendiri muncul ketika Sukarno bertemu dengan seorang petani di dekat Bandung  Jawa Barat (Legge 2012: 102).

Pada 1925, Sukarno mendirikan kelompok studi bernama Algemeene Studie Club (ASC). Pendirian ASC terinspirasi dari Studi Club yang didirikan oleh dr. Sutomo di Surabaya. Di tengah-tengah dilema antara menjadi pegawai pada dinas pemerintah atau bergerak di bidang politik, Sukarno menerbitkan artikel-artikel yang berisi imbauan agar Islam, marxisme, dan nasionalisme semestinya bersatu untuk kemerdekaan. Tulisan tersebut dimuat dalam surat kabar Indonesia Moeda yang diterbitkan oleh ASC. Sukarno menulis artikel bertajuk “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme yang terbit dalam tiga nomor berturut-turut. Ia menyerukan kerjasama yang erat di antara tiga golongan tersebut (Prabowo, t.t.: 28). Dengan berdasar pada pemikiran bahwa tidak ada perbedaan yang berarti dari ideologi-ideologi tersebut, terlebih karena kekuatan-kekuatan seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) dan SI yang sedikit melemah, Sukarno telah menetapkan pilihan karier politik. Pilihan itu sekaligus menandai zaman baru bagi nasionalisme Indonesia, karena ia ikut membidani pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI).

Sejak awal proklamasi kemerdekaan Indonesia Sukarno lebih akrab dipanggil Bung Karno, sesuai dengan jiwa dan semangat zaman di mana sebutan “bung” lebih menunjukkan kesetaraan dan keegaliteran untuk mendekonstruksi feudalisme. Sebagai nasionalis, Bung Karno selalu aktif dalam gerakan penyemai nilai-nilai nasionalisme dan persatuan dalam keberagaman di kalangan bangsa Indonesia, baik ketika masih dalam kekuasaan asing maupun setelah Indonesia merdeka dan memiliki peranan penting dalam perumusan dasar negara Pancasila. Oleh karena itu, dari aspek sosial politik Bung Karno merupakan tokoh fenomenal dalam panggung sejarah dengan kiprah yang spektakuler untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bahkan untuk dunia, khususnya Asia Afrika. John Legge, profesor dari Monash University Australia, menyebut Sukarno sebagai tokoh paling menonjol dari para pelaku lainnya dalam perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan (Wild & Carry 1986: 109-115).

Oleh karena pergerakan politik yang dilakukan sangat radikal, maka dalam kurun waktu 1930-1942 Sukarno beberapa kali keluar masuk penjara, bahkan pengasingan seperti di Flores dan Bengkulu. Selama Sukarno dipenjara sampai 1931, PNI telah membubarkan diri karena pemerintah kolonial Belanda menetapkan PNI sebagai partai terlarang. Tidak lama kemudian, berdiri dua partai baru, yaitu Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Mr. Sartono dan PNI Baru pimpinan Mohammad Hatta-Sutan Sjahrir. Pada 1932, setelah dibebaskan dari penjara, Sukarno bergabung dengan Partindo dan mengusahakan fusi antara Partindo dan PNI Baru. Sebelumnya, Sukarno telah menerbitkan koran baru bernama Pikiran Ra’jat. Namun, pada 28 Maret 1933, Sukarno harus menerima surat pengasingan dari Pemerintah Kolonial Belanda atas kegiatan yang dianggap  pembangkangan. Sukarno diasingkan ke Ende di Nusa Tenggara Timur. Pada Februari 1938, Sukarno dipindahkan ke Bengkulu (Prabowo, t.t.: 31). Di tempat pengasingan inilah Sukarno bertemu dengan Fatmawati. Mereka saling jatuh cinta dan menikah pada 1943, setelah Sukarno menceraikan Inggit Garnasih.

Dalam sebuah pengadilan di Bandung sebelum diasingkan, Sukarno membacakan pembelaannya yang berjudul “Indonesia Menggugat” (Soekarno 1951). Dalam pidato tersebut Sukarno menyatakan bahwa kelompok elite intelektual bangsa Indonesia telah menyadari jika di kemudian hari Indonesia akan turut mendapatkan pengaruh dari benturan yang terjadi di antara negara-negara adikuasa di Pasifik Barat (Goto 1998: 293). Pidato Sukarno terbukti ketika Jepang berhasil menduduki Indonesia pada 1942 dan pada tahun itu juga Sukarno dibebaskan dari hukuman pembuangan. Pada awal masa pendudukan Jepang, Sukarno bersama dengan Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan K.H.M. Mansur mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) (historia.id, 2018). Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan Empat Serangkai, dan pada akhir 1943 PUTERA dibubarkan.

Pada sidang pertama BPUPKI 1 Juni 1945, Sukarno mengusulkan gagasan dan konsep tentang dasar negara yang disebut Pancasila yang disetujui oleh forum rapat BPUPKI. Dalam rapat tersebut juga disepakati Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi Indonesia. Pada 9-14 Agustus 1945, Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat diundang oleh Marsekal Terauchi ke Dalat, Saigon, Vietnam. Usai pertemuan tersebut, Sukarno menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak perlu menunggu “jagung berbuah”.

Sebagai salah seorang pendiri bangsa dan presiden pertama Indonesia, Sukarno secara konsisten melestarikan nilai-nilai nasionalisme dalam pembangunan karakter bangsa. Masalah nasionalisme tidak berhenti dan tidak selesai setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Pada 1948 di Yogyakarta, Sukarno menegaskan bahwa dalam kemerdekaan Indonesia, nasionalisme adalah perekat yang menyatukan rakyat dalam mencapai cita-cita kemerdekaan, yaitu: tidak memihak, makmur, dan masyarakat terhormat berdasar ideologi Pancasila (Sukarno 1965). Hal itu wajar karena apa yang disebut sebagai negara, bangsa, dan rakyat Indonesia sebenarnya merupakan hasil dari proses sejarah yang panjang yang melibatkan berbagai elemen sosial di Nusantara (Frank 1998: 97-98).

Sejak diberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, Sukarno tidak lagi berperan sebagai Kepala Pemerintahan, melainkan hanya sebagai Kepala Negara. Jadi secara konstitusional, wewenang Sukarno sebagai presiden telah dibatasi. Namun demikian, sampai dengan Pemilu 1955, pemerintahan Indonesia masih mencari dasar yang kokoh bagi demokrasi parlementer karena persoalan politik, ekonomi, dan ancaman disintegrasi. Pada 1956, Sukarno sebagai Kepala Negara melakukan kunjungan ke beberapa negara antara lain untuk mencari dukungan atas penyelesaian persoalan Irian Barat. Namun, setelah kembali ke Indonesia, Sukarno justru menghadapi ancaman disintegrasi akibat gerakan separatisme, perpecahan politik, ketidakmampuan Badan Konstituante (hasil Pemilu 1955) dalam menyusun konstitusi, serta perdebatan seputar kebudayaan nasional yang tidak kunjung menemukan titik temu. Berdasar pada persoalan-persoalan tersebut, Sukarno menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin (Giebels 2015: 338). Hal itu didasarkan kondisi objektif bahwa dengan sistem demokrasi liberal, bangsa Indonesia berada dalam situasi konflik yang sangat keras, yang mengancam integrasi nasional.

Pada 21 Februari 1957 Sukarno mengumumkan konsepsinya mengenai Demokrasi Terpimpin dan disaksikan oleh sekitar 900 tamu. Ia membagikan refleksi sementara mengenai Demokrasi Terpimpin di Istana Negara Jakarta yang juga disaksikan oleh ribuan orang di Lapangan Merdeka. Pidato dilaksanakan pada pukul delapan malam dengan harapan disaksikan oleh para elite bangsa. Sukarno konsisten menempuh jalan yang mengarah pada penerapan “Demokrasi Terpimpin” dengan melibatkan partai politik dari semua aliran, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Pelibatan PKI itulah yang kemudian menimbulkan keberatan dari partai politik berideologi Islam seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Sukarno juga harus menghadapi reaksi keras negara-negara Barat. Meskipun demikian, dengan maksud untuk mengonsolidasikan seluruh kekuatan, pada 17 Agustus 1957 Sukarno menyinggung tentang konsepsi Demokrasi Terpimpin dan menyebut 1957 sebagai “tahun keputusan” (Giebels 2015: 378).

Pada 19 Juni 1959 Sukarno kembali ke Indonesia dari kunjungannya ke luar negeri. Kedatangan Sukarno di Bandara Kemayoran disambut oleh para anggota kabinet dengan pengawalan ketat. Pada saat itu, Sukarno menyampaikan bahwa beberapa hari ke depan ia akan mengumumkan pernyataan penting. Pada 2-3 Juli, Sukarno melanjutkan tugas kepresidenannya dan menyatakan akan memulihkan konstitusi 1945. Pada 5 Juli 1959, Sukarno membacakan Dekrit Presiden yang kemudian dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Beberapa poin penting dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 antara lain pembubaran Dewan Konstituante dan mengembalikan konstitusi Indonesia pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pada 6 Juli 1959, Perdana Menteri Djuanda mengajukan pengunduran diri yang juga menandai penerapan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana anamat UUD 1945 (Giebels 2015: 412-413).

Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin yang sekaligus juga mengembalikan fungsinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan telah menjadi momentum bagi Sukarno untuk fokus mengembangkan pembangunan karakter bangsa. Bagi Sukarno, nasionalisme juga harus berlandaskan rasa saling menghormati dan anti-imperialisme, sehingga terbangun peradaban baru yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kerjasama. Dalam konteks ini, Sukarno berperan aktif dalam mensinergikan kekuatan nasionalisme bangsa-bangsa di Asia dan Afrika dengan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang dihadiri oleh perwakilan dari 29 negara Asia dan Afrika. Konferensi ini telah berhasil meningkatkan saling pengertian dan kesadaran di antara para pemimpin negara-negara Asia dan Afrika. KAA bahkan menjadi momen yang tepat untuk menyelenggarakan acara-acara terkait yang lebih operasional seperti Konferensi Jurnalis Asia Afrika, Konferensi Pemuda Asia Afrika, Konferensi Perempuan Asia Afrika, dan lain-lain.

Sukarno telah secara konsisten mempertahankan paham nasionalisme dan anti imperialisme dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Contoh konsistensi Sukarno adalah ketika ia menanggapi polemik kebudayaan yang terjadi selama masa Demokrasi Liberal. Berbagai polemik yang terjadi seputar kebudayaan selama hampir satu dasawarsa karena perdebatan menyangkut etnisitas, otentisitas, dan ancaman kebudayaan Barat, menurut Sukarno adalah akibat dari penerapan aturan asing yang tidak cocok untuk Indonesia. Oleh sebab itu, sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kebijakan budaya tentang “identitas nasional” didominasi oleh gagasan Sukarno berlandaskan pada nasionalisme (Jones 2015: 110).

Pada peringatan Hari Kemerdekaan 1959, Sukarno menyampaikan pidato berisi program umum pemerintah yang disebut dengan Manifesto Politik (Manipol) oleh Dewan Pertimbangan Agung (Jones 2015: 97).  Manifesto Politik merupakan dokumen bersejarah yang menjelaskan program pokok dan program umum Revolusi secara menyeluruh (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, 1961: 77). Manifesto Politik Republik Indonesia ini kemudian ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara yang bersisi; (1) Undang-undang Dasar 1945; (2) Sosialisme Indonesia; (3) Demokrasi Terpimpin; (4) Ekonomi Terpimpin (5) Kepribadian Indonesia, untuk selanjutnya disebut USDEK (Soyomukti 2010: 153).

Masa Demokrasi Terpimpin menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk membentuk kepribadian bangsa dan menolak kolonialisme dalam bentuk apapun (Minggu Pagi 1963: II). Sukarno memulainya dengan kebijakan nasional antikolonialisme dan antiimperialisme. Sikap antikolonialisme Sukarno sebenarnya telah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, maka kebijakan tersebut sekaligus membuktikan bahwa konsistensi Sukarno terhadap antikolonialisme dan nonkooperatif tidak diragukan. Salah satu cerminan dari sikap tegas Sukarno adalah penolakannya terhadap arsitektur bernuansa kolonial. Pada bangunan yang ia rancang sendiri, memang tidak ditemukan desain tiang-tiang Yunani bergaya Ionia, Doria, dan Korintina. Ia juga menolak gaya-gaya arsitektur Amsterdam style (Ardhiati 2005: 111-112).

Pada peringatan Hari Kemerdekaan tahun 1963, Sukarno menyampaikan pidato berjudul "Suara Gema Revolusi Indonesia" yang menekankan pentingnya pembangunan karakter bangsa untuk mencapai cita-cita kemerdekaan: masyarakat yang makmur, tidak memihak, dan sejahtera dalam bingkai persatuan dan kebersamaan. Gagasan tentang pembangunan karakter bangsa yang disampaikan Sukarno merupakan gagasan besar karena Indonesia sebagai bangsa yang heterogen membutuhkan nilai-nilai etika dan moral yang holistik untuk mencerminkan keunggulan karakter bangsa. Hal ini sangat penting karena menyangkut landasan esensial kehidupan yang terhormat dan bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu Sukarno mengusung semboyan politik yang dikenal dengan Trisakti Revolusi Indonesia, yaitu (1) kedaulatan dalam politik, (2) kemandirian dalam ekonomi, dan (3) kepribadian bangsa dalam budaya.

Dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis, Sukarno menciptakan berbagai program, seperti “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri) yang berimplikasi pada peningkatan produk bangsa sendiri dan pembatasan produk impor. Program “Benteng” untuk menghidupi dan melindungi industri anak bangsa dari tekanan kekuatan asing, serta nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Kemandirian tersebut  tidak hanya terbatas dalam bidang ekonomi, tetapi juga politik. Oleh karena itu pada era Sukarno nasionalisme dijadikan dasar untuk membangun dan memperkokoh integrasi politik nasional sebagaimana tercermin dalam menumpas gerakan-gerakan separatis dan perjuangan yang gigih untuk mengembalikan Irian Barat dalam NKRI.

Sukarno adalah juga seorang pemimpin yang memiliki pemikiran global. Pemikiran-pemikiran Sukarno dimanifestasikan terutama melalui pidato dalam forum-forum internasional pada awal 1960-an. Dalam konteks pandangan tentang dunia, Sukarno tetap konsisten atau sama dengan ketika memulai gerakan politiknya pada 1920-an hingga 1930-an, yaitu anti-imperialisme. Anti-imperialisme Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin masih tetap sama dengan istilah yang berbeda, yaitu neo-kolonialisme, kolonialisme, dan impeliarialisme atau disingkat Nekolim. Nekolim adalah versi 1960-an dari anti-imperialisme yang telah dirancang pada 1930-an di mana pemerintah kolonial Belanda memerintah secara langsung. Adapun Nekolim pada 1960-an berfokus pada imperialisme gaya baru yang berbentuk dominasi ekonomi di bawah pengaruh Barat. Versi lain dari pandangan yang sama mengenai kolonialisme adalah konsep pertarungan antara kekuatan baru yang muncul dan kekuatan lama yang mapan. Oleh Sukarno, kekuatan tersebut disebut New Emerging Forces (NEFO) dan Old Established Forces (OLDEFO). Esensi konsep NEFO dan OLDEFO disematkan dalam pendahuluan pidato Sukarno berjudul To Build the World a New di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 1960. Sukarno dapat memahami implikasi jangka pendek dari perpecahan Peking-Moskow serta akibat jangka panjangnya pada situasi dunia. Di hadapan PBB Sukarno berargumentasi bahwa konflik di dunia sebenarnya bukan Perang Dingin. Adapun perhatian bangsa-bangsa semestinya adalah menyadari adanya imperialisme bentuk baru di satu sisi, dan perjuangan memperoleh keadilan, kesetaraan, serta kebebasan di sisi yang lain (Legge 2012: 329-330). Kepada bangsa-bangsa yang lebih tua, Sukarno menunjukkan bahwa “imperialisme belum mati”. NEFO dan OLDEFO terus digaungkan oleh Sukarno yang menunjukkan kecurigaan terhadap praktik-praktik imperialisme sehingga negara-negara yang baru meraih kemerdekaan menyadari keberadaan imperialisme gaya baru. Hal itu diungkap oleh Sukarno ketika berpidato dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok 1-6 September 1961 di Beograd, Yugoslavia.

Sukarno memiliki pandangan yang visioner terhadap perdamaian dunia yang bebas dari semua bentuk penjajahan. Dalam hal ini berarti negara-negara Asia dan Africa memiliki kedudukan yang sama dengan negara-negara Barat yang dianggap lebih maju. Guna membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang kuat sehingga dapat diperhitungkan di dunia, Sukarno membangun fasilitas yang megah untuk penyelenggaraan Asian Games 1964 di mana Indonesia menjadi tuan rumah. Perhelatan Asian Games yang dipusatkan di Senayan Jakarta ingin menunjukkan kepada dunia  bahwa Indonesia adalah negara yang kuat (Legge 2012: 329-330).

Awal 1960-an barangkali adalah titik balik seluruh konsepsi Sukarno yang sebenarnya sudah terbentuk sejak awal masa-masa pergerakan. Namun, pada 1965, Sukarno harus menghadapi permasalahan yang sangat kompleks mulai dari politik hingga ekonomi. Pada awal 1965, Sukarno mengumumkan keputusan yang sangat kontroversial ketika menyatakan bahwa Indonesia menarik diri dari PBB. Keputusan itu diambil berkaitan dengan perebutan Irian Barat serta konfrontasi terhadap Malaysia. Krisis memuncak pada 1965 yang berakibat pada tertundanya reformasi ekonomi akibat inflasi serta pinjaman besar untuk keperluan militer. Pada masa-masa itu pula desas-desus tentang kesehatan Sukarno yang mulai menurun akibat penyakit ginjal terus menyebar. Namun, ia selalu menekankan bahwa kesehatannya dalam kondisi baik, bahkan kepada para diplomat asing (Dake 2005: 300).

Di tengah kondisi kesehatannya yang terus menurun dan ancaman pengadilan atas tuduhan keterlibatan dalam G30S, Sukarno terus berjuang untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam ruang terbatas, Sukarno tidak mengutuk PKI yang dituduh menjadi dalang terbunuhnya tujuh jenderal. Ia tidak menyangkal konsensus komunisme yang telah dicari sejak masa ketika ia memulai pergerakan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan.

Sukarno wafat pada 21 Juni 1970 di RSPAD Gatot Subroto karena gagal ginjal dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur di samping makam ibundanya.

Penulis: Yety Rochwulaningsih
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A


Referensi

“Neo-Kolonialisme.” Minggu Pagi, 27 Januari 1963, hlm. II.

Adams, C. (2011) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. (alih bahasa Syamsu Hadi). Yogyakarta dan Jakarta: Media Pressindo dan Yayasan Bung Karno.

Ardhiati, Y. (2005) Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Arstistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana, dan Teks Pidato 1926-1965. Depok: Komunitas Bambu.

Dake, Antonie C.A. (2005) Berkas-Berkas Sukarno 1965-1967 Kronologi Suatu Keruntuhan. Jakarta: Aksara Karunia.

Fahrudin, Ali (2020) Nasionalisme Soekarno dan Konsep Kebangsaan Mufassir Jawa. Jakarta: Litbangdiklat Press.

Frank, Andre Gunder (1998). Reorient: Global Economy in the Asian Age. Berkeley-Los Angeles London: University of California Press.

Giebel, L. J. (2015) Sukarno: A Biography. Amsterdam: Fosfor.

Goto, K. (1998) Jepansoekarnog dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakara: Yayasan Obor Indonesia.

Jones, T (2015) Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 hingga Reformasi, terjemahan Edisius Riyadi Terre. Jakarta: KITLV.

Legge J. D. (2012) Sukarno: A Political Biography . Singapore: Editions Didier Millet.

Palmier, Leslie (1957) Sukarno, the Nasionalist. Pasific Affairs, 20(2): 101-119.

Prabowo, Prananda (t.t.) Komik Seri Bung Karno Bapak Bangsa 1901-1945. (t.p.)

Salam, Solichin (1982) Bung Karno Putra Fajar. Jakarta: Gunung Agung.

Soyomukti, N. (2010) Sukarno Visi Kebudayaan dan Revolusi Indonesia. Yogyakarta: Ar-Russ Media.

Surat Pendiri Bangsa: Surat Sukarno (10-22 November 2018). Diakses dari https://historia.id/surat-pendiri-bangsa/koleksi/surat-sukarno pada 19 Oktober 2021.

Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Jakarta: PT. Grafika, 1961.

Van Niel, Robert (1970) The Emergence of The Modern Indonesian Elite. Van Hoeve Publishers Ltd.

Wild, Colin & Carry Peter (Penyunting) (1986) Gelora Api Revolusi. Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.