Mirza Ghulam Ahmad

Pendiri dan pemimpin gerakan Ahmadiyah yang berpusat mula-mula di Qadian, Gurdaspur (India), adalah Mirza Ghulam Ahmad (Qadian, India, 1255 H/1839 M – 24 Rabiulakhir 1326/ 26 Mei 1908).

Pemikirannya dalam bidang agama menjadi ajaran sekte Ahmadiyah. Para pengikutnya dari kelompok Qadiani menganggapnya sebagai seorang nabi, sedangkan kelompok Lahore menganggapnya sebagai mujadid (pembaru).

Gelar “Mirza” menunjukkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad termasuk keluarga bangsawan keturunan Dinasti Mughal. Nenek moyangnya mempunyai hubungan keluarga dengan Zahiruddin Muhammad Babur, pendiri Dinasti Mughal (1526–1530). Ayahnya adalah hakim pemerintah kolonial Inggris di India.

Semasa kecilnya Ahmad mendapat pendidikan agama secara tradisional dari keluarganya. Ia juga belajar bahasa Arab dan Persia. Ia senang melakukan meditasi sejak berusia muda. Dalam keadaan seperti itu ia mengaku sering mendapat petunjuk langsung dari Allah SWT, seperti mendapat makrifat dalam dunia sufi, tetapi ia sendiri tidak pernah dikenal sebagai sufi atau murid dari seorang guru sufi.

Ketika berusia 40 tahun (1880), ia menulis buku Barahin Ahmadiyyah (Argumentasi Ahmadiyah) yang berisi, antara lain, pengakuan dirinya sebagai seorang al-Mahdi.

Pada masa mudanya Ahmad pernah tinggal di Sialkot (India), mengikuti ayahnya yang sedang menyelesaikan perkara tanah. Di sinilah ia berkenalan dengan orang Kristen, mempelajari kitab sucinya, Injil, dan menyaksikan langsung betap gencarnya misi kristenisasi. Di tempat ini pula ia membaca komentar Sir Sayid Ahmad Khan, antara lain mengenai tafsir Al-Qur’an.

Ahmad kemudian mengkritik tafsir Al-Qur’an tersebut karena ia memandang tafsir itu menggunakan pendekatan naturalistik (hukum alam, misalnya malaikat ditafsirkan dengan fungsi hukum alam). Menurutnya, tulisan Ahmad Khan terlalu apologetik dan membanggakan kejayaan masa lampau padahal yang harus dihadapi adalah keadaan objektif masa kini.

Ketika ayahnya wafat pada 1876, Ahmad kembali ke Qa-dian, mengurus tanah milik keluarganya dan meneruskan kebiasaan lamanya, meditasi. Pada tahun 1877, di Punjab (India) ia menyaksikan kebangkitan Arya Samaj dan Brahma Samaj, yaitu gerakan kesadaran umat Hindu.

Peristiwa yang disaksikannya di Sialkot dan Punjab menimbulkan semangat Ahmad untuk membangkitkan suatu gerakan dalam Islam.

Pada tanggal 4 Maret 1889, Ahmad mengumumkan bahwa dirinya menerima wahyu langsung dari Allah SWT yang menunjuk dirinya sebagai al-Mahdi dan memberi petunjuk agar manusia melakukan baiat kepadanya.

Baiat pertama dilakukan oleh dua puluh orang pengikutnya di Ludiana, dekat Qadian, India. Salah seorang di antara mereka itu adalah Maulwi (gelar kehormatan: paduka/yang mulia) Nuruddin, yang kelak menjadi khalifah pertama sepeninggal Ahmad.

Pada tahun 1891, Ahmad membuat pengakuan yang sangat menghebohkan. Ia mengaku sebagai al-Masih al-Mau‘ud (al-Masih yang Dijanjikan). Dengan pengakuan dirinya sebagai al-Mahdi dan al-Masih al-Mau‘ud, Ahmad seakan-akan hendak menjembatani ajaran Kristen dan Islam.

Sebagai orang Islam, Ahmad mengakui kera­sulan Muhammad SAW. Sementara itu, ia berpendapat bahwa Yesus Kristus (dalam agama Islam disebut Isa al-Masih) tidak meninggal di tiang salib karena ia segera ditolong dan dirawat oleh pengikutnya.

Yesus kemudian meng­adakan perjalanan ke Timur dan hidup sebagaimana layaknya manusia biasa hingga akhirnya menetap dan wafat di Kashmir, India. Kuburannya sekarang terdapat di Khan Yar, Srinagar, India. Para pengikut Ahmad membuat teori dengan pembuktian ilmiah untuk memperkuat pendapatnya tersebut.

Pemikiran Ahmad ditentang oleh ulama, terutama ulama Suni, seperti Abdul Haqq al-Ghaznawi (seorang maulwi Amritsar), Muhammad Husain (tokoh Ahlulhadis dari Batala), dan Mullah Muhammad Bakhs (ulama Lahore).

Perdebatan di antara mereka tidak hanya dalam persoalan agama, tetapi meluas ke masalah politik. Ahmad, sebagaimana Ahmad Khan, berpendapat bahwa jika umat Islam India ingin maju, harus bersatu dengan Inggris. Adapun ulama lain berpendapat bahwa Inggris adalah penjajah, kafir, dan harus diusir dari India.

Buku yang pernah ditulis Ahmad kemudian menjadi pegangan sekte Ahmadiyah. Karyanya tersebut adalah Barahin Ahmadiyyah, Fath Islam (Penaklukan Islam), Masih Hindustan Man (Seorang Hindustan yang Suci), Kasyful Gita (Tersingkapnya Penutup), Mawahib ar-Rahman (Pemberian Tuhan), Haqiqat al-Wahyi (Hakikat Wahyu), dan al-Wasiyyah (Wasiat). Demikian pula dengan artikelnya dalam harian al-Hakam.

Sepeninggal Ahmad, kepemimpinan kelompok ini dipegang oleh Maulwi Nuruddin sebagai khalifah pertama. Ketika ia meninggal pada tahun 1914, kepemimpinan dipegang oleh Mirza Basiruddin Mahmud Ahmad, putra Ahmad, sebagai khalifah kedua yang berkedudukan di Qadian.

Kelompok inilah yang menganggap Ahmad sebagai nabi. Adapun sekelompok pengikutnya yang dipimpin Kwaja Kamaluddin dan Maulwi Muhammad Ali hanya menganggapnya sebagai mujadid (pembaru). Karena itu mereka memisahkan diri dan memusatkan kegiatannya di Lahore.

Konferensi Organisasi-Organisasi Islam se-Dunia pada tanggal 6–10 April 1974, di bawah anjuran Rabithah al-‘Alam al-Islami, merekomendasikan antara lain:

(1) setiap lembaga Islam harus melokalisasikan kegiatan kelompok Qadiani dalam tempat ibadah, sekolah, panti, dan semua tempat kegiatan mereka yang destruktif;

(2) menyatakan sekte Ahmadiyah kafir dan keluar dari Islam;

(3) memutuskan segala hubungan bisnis dan melaksanakan pemboikotan ekonomi, sosial, dan budaya terhadap mereka;

(4) mendesak pemerintah Islam untuk melarang setiap kegiatan pengikut Mirza Ghulam Ahmad dan menganggap mereka sebagai minoritas non-Islam serta melarang mereka memangku jabatan yang penting dalam negara;

(5) menyiarkan salinan semua penerbitan yang dijadikan sekte ini sebagai tempat penyelewengan ayat Al-Qur’an; dan

(6) semua golongan yang menyelewengkan Islam diperlakukan sama seperti Qadiani.

Pada tanggal 29 Mei 1974 pengikut Mirza Ghulam Ahmad di bawah pimpinan Mirza Basiruddin Mahmud Ahmad yang berjumlah 3.000 orang menyerbu kereta api dari Peshawar ke Karachi di stasiun Rabwah dan membantai penumpangnya, antara lain 170 mahasiswa Fakultas Kedokteran Nisytar, di Multan.

Sebagian besar mahasiswa itu adalah pendukung Islam Jam‘iyyah ath-Talabah. Peristiwa penyerbuan dan pembantaian ini menggemparkan umat Islam di seluruh dunia.

Daftar Pustaka

Ahmad, Mirza Basiruddin Mahmud. Ahmadiyah or The True Islam. New Delhi: Award Publishing House, 1980.
–––––––. Apakah Ahmadiyah itu?. Jakarta: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1987.
–––––––. Invitation to Ahmadiya. London: Routledge & Kegan Paul, 1980.
Batuan, Syafi R. Nabi Isa dari Palestina ke Kashmir. Jakarta: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1989.
Gibb, Hamilton A.R. Modern Trends in Islam. New York: Octagon Books, 1978.
Hariadi, Ahmad. Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah Qadiani. Makkah Mukarramah: Rabitah Alam al-Islamiyah, 1988.
Hasan, Thufail Muhammad Suhaib. Ahmadiyah Minoritas Non-Muslim, terj. Poernomo. Jakarta: Islah al-Ummah, 1986.
Lapan, Spencer. The Ahmadiyyah Movement Past and Present. Amritsar: Guru Nanak Dev University, 1976.
Mudjib, M. The Indian Muslim. London: George Alen, 1967.
Thaha, Fauzy Sa‘ied. Ahmadiyah dalam Persoalan. Bandung: al-Ma‘arif, 1981.

Atjeng Achmad Kusaeri