Ekspresionline.com–Selepas magrib, Gedung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) telah ramai dikunjungi massa. Mereka berbondong-bondong mengantre tiket, menunggu giliran masuk. Di lain sisi, penjagaan ketat sedang dikerahkan, mulai dari resimen mahasiswa, satpam TBY, hingga penjaga parkir.
Memasuki gedung pertunjukan, permainan lighting serta glitch proyektor menyambut kedatangan penonton yang mengisi bangku-bangku di sepanjang Concert Hall. Hingga tiba giliran MC masuk dan tirai panggung perlahan dibuka, tampak material artistik yang terpajang megah berjajar di atas pangung. Tower sinyal khas apokalips dengan kepompong berukuran besar terpasang di bilah kiri panggung, mimbar dan pohon berwujud manusia di bagian utama panggung, serta material besar berwarna jingga berada di bilah kanan pangung pertunjukan.
Lalu di atas mimbar itu adegan dimulai. Muncullah seserang orator sebagai pembuka cerita dan seorang manusia yang terperangkap di dalam kepompong besar. Kemudian panggung tersebut beralih ke empat orang pengelana yang sedang mencari daerah baru. Dan cerita pun bergerak dari perjalanan empat orang pengelana, hingga sebuah benih yang terperangkap di dalam kepompong. Masing-masing dari mereka mempresentasikan tujuh macam maqom sebagai premis utama dari pertunjukan tersebut.
Pagelaran Teater Metaevolusi oleh Teater ESKA UIN Sunan Kalijaga. Foto oleh panitia Teater ESKA
Malam itu (24/09/2022), Teater ESKA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjanjikan sebuah pentas produksi teater XXV dengan tajuk “Metaevolusi”. Produksi teater kali ini dihelat pada pukul 18:30 WIB, dengan biaya tiket OTS sebesar Rp. 35.000,-. Sebelum dihelat di Yogyakarta, Metaevolusi telah terlebih dahulu mempresentasikan pertunjukannya di dua kota yakni Bandar Lampung dan Tanggamus.
Sinopsis dari Metaevolusi sendiri adalah sebuah rangkaian pengembaraan spritual seorang manusia dalam menuju kesadaran akan Tuhan. Pengembaraan tersebut nantinya akan melewati berbagai macam rupa, simbol, dan makna. Dalam hal ini, simbol dan makna terbagi menjadi tujuh macam maqom, diantaranya Maqom Ke-Adam-an, Ke-Nuh-an, Ke-Ibrahim-an, Ke-Musa, Ke-Dawud-an, Ke-Isa-an, Ke-Muhammad-an.
Selain menyoal ke-insan-kamil-an secara an sich, pertunjukan tersebut juga berupaya mengkontekstualkan masalah dan situasi yang terjadi dewasa ini. Persoalan seperti perubahan iklim dan lingkungan, sosial dan budaya, politik dan ekonomi, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi turut dihadirkan dalam pertunjukan ini.
Pagelaran Teater Metaevolusi oleh Teater ESKA UIN Sunan Kalijaga. Foto oleh panitia Teater ESKA
Penawaran Makna
Sebagaimana yang disingung oleh Kaji Habeb selaku sutradara sekaligus penulis naskah, “Semua yang terjadi di atas panggung adalah tanda”. Saya pun turut menangkap motivasi tersebut, bahwa pertunjukan surealis Teater ESKA kali ini berupaya menyematkan setiap detail dan presentasi pertunjukannya sebagai tanda.
Meskipun Kaji Habeb sendiri tidak secara tuntas menjelaskan apa saja maksud dan tujuannya memilih estetika demikian, justru di situlah peran saya sebagai penonton untuk merajut dan menawarkan makna terhadap presentasi Kaji Habeb. Penawaran makna yang dibangun melalui pengalaman menonton secara tuntas.
Sejauh penangkapan saya, Metaevolusi adalah upaya pembangkangan terhadap metode sejarah konvensional yang menganggap ruang dan waktu berjalan secara linear. Tradisi tersebut lekat dengan kondisi modernisme dan teater realisme hari ini, di mana teater modern cenderung terbebani dengan linearitas dan kondisi realitas di sekitarnya. Alhasil presentasinya tak lebih hanya sebuah duplikasi empiris, namun gagal mengkontemplasikannya sebagai praksis.
Dugaan pembangkangan tersebut didukung dengan adanya pemillihan material tower sebagai ritus digitalisme modern yang masih kerap kita jumpai hari ini. Namun, diujungnya terbelit sebilah kepompong dengan benih manusia di dalamnya. Kemudian sebuah mimbar dan pohon berbentuk manusia yang mempresentasikan etno naturalisme-tribal, di mana material semacam ini jelas asing bagi masyarakat modern. Akibatnya, ketika ketiga material tersebut berjumpa dalam satu pangung, hanya akan menghancurkan berjalannya ruang dan waktu.
Pagelaran Teater Metaevolusi oleh Teater ESKA UIN Sunan Kalijaga. Foto oleh panitia Teater ESKA
Mulanya saya menduga Kaji Habeb memilih pasca apocalips sebagai ruang dan waktunya, di mana peradaban baru akan kembali hidup setelah mengalami kehancuran total akibat kapitalisme dan ulah manusia lainnya. Namun dugaan tersebut lekas patah, ketika beberapa maqom mulai dipresentasikan, dan manusia yang berhasil melepaskan dirinya dari perangkap kepompong justru memilih untuk kembali terperangkap.
Selain pemilihan material, performa aktor juga dapat mendukung dugaan tersebut. Ketika menelan secara utuh pertunjukan Metaevolusi dan mengendapkannya sebagai makna, saya menangkap setiap aktor di hadapan saya telah memerankan lebih dari satu peran. Hal tersebut memicu sebuah situasi, ruang, dan waktu yang beralih secara dinamis, bahkan tanpa mesti ditutup dengan lighting. Ia berjalan secara dinamis, tanpa diberi tanda maupun disadari oleh penonton seklipun.
Logika skizofrenik Kaji Habeb mendorong cerita menjadi lebih dinamis, sehingga ia tampak lebih leluasa dan tidak terbebani dengan hukum sebab-akibat waktu. Jelas bahwa logika semacam ini tidak dapat diterima oleh teater modern yang masih terjebak dengan realitas empiris disekitarnya.
Sehingga ketika teater modern berupaya menduplikasi kenyataan empiris disekitarnya, maka mengartikulasikan Metaevolusi dinilai sebagai upaya subversif. Upaya pembangkangan terhadap prinsip-prinsip realisme teater yang kadung menjadi arus utama seni pertunjukan.
Pasca pentas
Apa yang terjadi ketika pertunjukan Metaevolusi berakhir? Pertanyaan tersebut kiranya menjadi pengantar untuk menggambarkan bagaimana tradisi mengakhiri pertunjukan di Yogyakarta. Tak lupa reaksi macam apa yang dihasilkan oleh mereka yang menyaksikan pertunjukan tersebut secara utuh.
Sebagaimana yang kerap dilakukan oleh teater kampus di Yogyakarta ketika hendak mengakhiri pertunjukannya, di mana semua kru, sutradara, serta penonton akan membentuk lingkaran dan berdiskusi mengenai pengalaman serta kritiknya terhadap presentasi pertunjukan yang telah mereka saksikan. Momen melingkar semacam ini sering disebut sebagai sarasehan, sebagai upaya apresiatif antara penonton maupun penggarap.
Berangkat dari sarasehan tersebut, saya menilai apa yang ditulis dan dibawa oleh Kaji Habeb di atas panggung pertunjukan memiliki muatan resiko yang tinggi. Beruntungnya naskah tersebut dapat disajikan dengan baik oleh Teater ESKA. Resiko yang dimaksud lebih merujuk pada antusias penonton terhadap tradisi menonton teater secara utuh, tanpa meninggalkan bangku atau memilih perhatian lain dengan notif simulakranya di gawai.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, penonton dibuat bertahan dengan sajian estetika yang tidak pernah berhenti dihadirkan. Meskipun beberapa nampak kebingungan, tetapi keputusan mereka untuk tetap bertahan di bangku penonton adalah keberhasilan Teater Eska dalam menyajikan pertunjukan.
Pagelaran Teater Metaevolusi oleh Teater ESKA UIN Sunan Kalijaga. Foto oleh panitia Teater ESKA
Sebagaimana yang disampaikan oleh Rita, “Aku sebetulnya enggak begitu paham sama maqom-maqomnya, karena banyak banget mazhab didalamnya. Tapi aku memilih bertahan, karena pentasnya dari awal sampai akhir gak pernah bikin aku bosan”. Pungkasnya selama sarasehan berlangsung.
Meskipun demikian, didapati beberapa probem teknis yang menjadi kritik atas pertunjukan tersebut. Problem teknis yang mengacu pada performa aktor selama berada di atas panggung. Dimana beberapa menilai kedinamisan cerita yang dibawa oleh Kaji Habeb tidak sebanding dengan kemampuan aktor dalam menyampaikannya secara dinamis. Beberapa aktor masih membawa emosi, mimik, serta motivasi akting yang stagnan, maka wajar jika penonton gagal menangkap adanya pergantian peran serta situasi selama berlangsungnya pertujukan.
Suden
Editor: Ayu Cellia Firnanda