Satu lagi nih cerpen yang belum menjadi pemenang, hehehe. Semoga bermanfaat.

Mawar HitamMawar-Hitam

“Abah, nanti malam pas perayaan tahun baru Caca boleh main sama temen-temen Caca, ya?” seruku pada Abah.

“Boleh, tapi jam sembilan harus sampai rumah,” jawab Abah santai seraya menyantap nasi goreng bikinan Bunda.

“Bah, yang namanya tahun baru itu jam dua belas tengah malam. Masa iya, Caca harus pulang jam sembilan? Pokoknya Caca pulang setelah tengah malam,” jawabku dengan nada ketus.

“Nduk, kamu ini anak perawan, gak semestinya kamu bertingkah seperti  kupu-kupu malam. Kamu gak boleh pulang lebih dari jam sembilan. TITIK!” jawab Abah tegas.

“Tapi Bah….”

“Gak ada tapi-tapian, kalau kamu masih mau dianggap putri abah, kamu harus pulang jam sembilan,” belum sempat aku melanjutkan, abah sudah menyelaku.

“Abah kolot, abah gak ngerti anak muda, abah nyebelin, abah kuno. Caca udah bukan anak-anak lagi, Bah. Caca malu sama temen-temen punya orang tua kampungan. Caca benci abah!” aku membanting sendok di atas meja.

“Uhuk, uhuk, uhuk. Caca, Abah dan Bunda gak pernah mengajarkan bersikap gak sopan dengan orang tua!” Bunda tersedak dan kemudian membentakku.

“Caca gak peduli,” jawabku menyambar tas.

Duaaar. Aku membanting pintu sebagai tanda kemenanganku.

“Coba saja kalau kamu pulang lebih dari jam sembilan, seumur hidupmu kamu gak akan melihat abah lagi!” samar-samar aku dengar abah mengancamku.

Aku menggeber motor bebek tua meninggalkan rumah sebelum abah dan bunda menahanku pergi. Suara motor bebek tua yang sudah berisik bertambah berisik ketika aku menggiringnya keluar dari pekarangan rumah, menyumpal telingaku akan sumpah serapah abah dan bunda.

“Kamu gak punya baju yang lebih besar lagi? Bentuk badanmu kelihatan semua, juga celana kecil yang memperlihatkan pahamu itu gak pantes kamu pakai. Kamu sudah baligh, sudah saatnya kamu berjilbab dan menutup aurat. Kamu harus gini, kamu harus gitu, kamu gak boleh begini, kamu gak boleh begitu dan bla bla bla bla,” segudang wejangan abah dengan senjata ‘kamu ini anak perawan’ membuatku muak. Sudah saatnya aku berontak. Aku bukan gadis kecil yang selalu sendiko dhawuh terhadap perintah Abah lagi. Aku bisa memilih mana yang baik untuk hidupku. Aku ingin bebas lepas melakukan apa saja untuk mengarungi masa muda seperti teman-temanku yang lain. Aku ingin mengepakkan sayapku ke manapun aku mau. Aku ingin melakukan banyak hal menyenangkan khas anak muda.

Meski ada sebagian sisi hatiku yang terasa perih, namun aku merasa bebas dan terlepas dari kungkungan sangkar yang abah bangun. Bayangan gemerlap pesta kembang api yang mewarnai langit muda 2013, alunan musik dan terompet membuatku merasa melayang ke dunia indah yang selama ini belum pernah aku sambangi.

***

Mentari pagi malu-malu menampakan diri meski burung prenjak dan burung emprit ramai berkicau menyambutnya. Embun pagi mulai menguap oleh kehangatannya. Daun-daun pohon mawar bergoyang ringan seirama dengan hembusan angin yang tenang. Hari libur adalah hari mawar putih bagi keluarga kami.

“Bah, kenapa Abah suka sekali pohon mawar putih?” Lia bertanya tanpa beralih dari keasyikannya bermain tanah.

“Mawar putih adalah bunga favorit abah. Putih menandakan kesucian, mawar adalah simbol keindahan. Nduk, kalian berdua adalah harta paling berharga yang abah miliki. Bahkan abah rela hidup miskin, asal kalian bahagia. Kalian berdua adalah alasan abah hidup bahagia. Orang Jawa mengibaratkan, memiliki dua anak perempuan kembang sepasang. Abah selalu berharap, kalian adalah sepasang bunga mawar putih yang meskipun indah ia tetap menjaga kesuciannya,” Abah menghentikan sejenak kesibukannya merapikan pohon mawar putih. Sekilas aku melihat ada mutiara yang terbit di dua sudut mata Abah.

“Abah ini lucu, emang selama ini kita hidup kaya?” jawabku enteng seraya menyiram bunga-bunga di depan rumah yang didominasi bunga mawar putih.

Abah terkekeh, “Betul juga kamu, Ca. Tapi kaya atau miskin gak menjamin kebahagiaan, Nduk. Yang penting bersyukur pasti bahagia,” Abah memamerkan satu gigi serinya yang ompong.

Kala itu aku masih kelas delapan SMP. Kami adalah keluarga sederhana yang hidup bahagia. Abah yang selalu bekerja keras meski penghasilannya pas-pasan, bunda yang tak pernah ku dengar mengeluh sekalipun, aku dan Lia yang penurut dan cukup berprestasi di sekolah. Entahlah, semenjak aku diterima di universitas favorit di kotaku, perlahan aku bosan dengan keluargaku. Aku sering dongkol dengan sikap kampungan Bunda dan Lia, lebih-lebih Abah.

“Hei, Ca, melamun bikin ayam tetangga mati lho,” seru Cinta membuyarkan lamunanku.

“Eh, siapa yang melamun?” jawabku sambil memperbaiki posisi duduk di kursi empuk mobil Cinta.

“Tenang aja, Ca. Gak akan ada yang berani nyuri BMW lo di pinggir jalan. Kalau ada yang nyuri, gue bakalan ganti BMW lo sama yang lebih mahal deh,” hibur Dewi.

“BMW?” tanya Nancy.

“Iya, BMW, bebek merah warnanya,” jawab Dewi santai.

Mobil mewah berwarna metalik ini sontak dipenuhi oleh tawa yang membuat pipiku memerah.

By the way, kenapa sih Ca motor tua kaya gitu masih dipiara? Kenapa gak diloakin aja? Lumayan buat beli BB,” tanya Cinta datar.

“Mungkin menurut kalian motor tuaku tak lebih berharga dari sekedar barang rongsokan, namun untuk kami motor kami adalah harta paling mahal,” aku hanya berani berkata dalam hati. Beberapa saat tak ada suara, semua menantikanku angkat suara. Namun sayang, aku tak berminat menanggapi pertanyaan Cinta, si anak pejabat perpajakan.

“Ah, lo Cin. Ngrusak suasana aja, kan kita hang out buat happy-happy malam ini,” Dewi memecah gunung es dan kembali memulai kehangatan persahabatan kami.

“Iya, pokoknya kita happy-happy mumpung masih muda,” seru Nancy disambut sorak sorai teman-temanku yang lain.

“Ca, gue udah bawain lo baju lho,” tawar Dewi.

Are you sure? Thanks Wik,” spontan aku meghambur kepelukan Dewi yang mengenakan hot pens dan baju pesta tanpa lengan.

“Santai aja, Ca, kita kan teman,” jawab Dewi dengan senyum sedikit aneh menurutku. Aah, Dewi dan teman-temanku yang lain memang teman paling baik, gak mungkin mereka bermaksud jahat.

***

Langit penghujung 2012 turut menyambut taburan kembang api yang menghampirinya sebentar lagi. Tak ada awan mendung yang mengganggu kemerlip gemintang. Ah, apa salahnya menikmati gemerlap malam yang indah.

Car free night di jalan utama kota merupakan pusat keramaian perayaan malam tahun baru. Rasanya semua masyarakat yang berjiwa muda tumpah ruah di sini.

Dari sekian event yang digelar, tentulah konser yang diadakan tepat di bagian jantung Car Free Night menjadi paling gemerlap. Alunan musik reggae bak magnet yang menarik anak-anak muda. Tak terkecuali Cinta, Nancy dan Dewi. Aku?

Aku memang tak terbiasa berjoget pada sebuah konser dengan baju mini seperti yang dipinjamkan Dewi ini. Awalnya aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya tersenyum dan tertawa melihat ulah temanku yang berjoget-joget.

“Ca, ayo gabung sini!” teriak Dewi.

“Gak, gue disini aja,” jawabku. Meski aku ingin merasakan bagaimana rasanya bergabung dengan mereka, namun jauh di lubuk hatiku ada sesuatu yang menahanku.

Caca, buat apa kamu ke sini kalau kamu gak ikut joget asyik bareng mereka? Hahahaha, kamu memang cemen,” Sisi gelap hatiku membujuk.

“Ayolah, Ca. Kita happy-happy malam ini. Ayo ikut joget di sana,” Nancy mendekatiku dan menarik tanganku.

“Eh, gak usah. Gue gak bisa joget,” jawabku sembari menarik tanganku kembali.

“Ayo, Ca. Gak papa, santai aja. Pokoknya kita bersenang-senang,” Nancy mendorongku dari belakang.

“Aaah, sudahlah Ca, kamu gak usah munafik. Sebenarnya kamu juga pengen seperti mereka kan? Udah ikuti aja temen-temenmu. Bukankah malam ini adalah malam yang spesial?,” akhirnya aku mengikuti kata hatiku.

***

“10, 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1 teeeet,” suara ratusan anak muda serempak menghitung mundur menyambut 2013 diiringi semarak pesta warna-warni kembang api.

“Cras, dar, der, dor, cras,” langit terlihat begitu menawan. Ini adalah pengalaman pertama kalinya dalam hidupku menyambut tahun baru. Beberapa pasangan muda melompat-lompat kegirangan bak anak SD yang mendapatkan hadiah cokelat karena mendapat nilai matematika 10. Bahkan beberapa dari mereka tanpa rikuh beradu bibir di tengah keramaian. Suasana ini memang terasa aneh bagiku.

“OK, sahabat muda, kita sambut hari baru dengan semangat baru. Yeah mari kita berjoget bersama kami,” teriak vokalis band reggae yang cukup terkenal di kota kami.

Kali ini aku tak lagi canggung berjoget di bawah panggung. Ya, rasanya memang luar biasa menyenangkan. Tak ada lagi beban di hati. Aku serasa terbang dan melayang menikmati alunan lagu yang tak terlalu cepat ini.

“Hai, nama lu siapa?” seorang pemuda berjoget dan mendekatiku.

“Caca,” aku malu-malu.

“Rendi,” jawabnya singkat.

Rendi berjoget di dekatku. Dia adalah teman berjoget yang lumayan asyik. Kami bercakap-cakap sembari terus berjoget.

“Lo anak Duta Kusuma ya?” tanya Rendi.

“Kok tau?” tanyaku keheranan.

“Gue temen Dewi, kuliah di Universitas Duta Kusuma,” jawabnya.

“Oh ya? Jurusan apa?”

“Hubungan Internasional.”

“Waaah, keren. Aku anak komunikasi. Bakalan nyambung nih kuliah kita,” aku tersenyum manis.

“Hey ini saatnya kita happy-happy, gadis manis. Kalau mau nanya-nanya soal kuliah next time may be,” ia mencolek daguku. Aku mencium bau alkohol dari mulut Kak Rendi.

Aku risih dicolek seperti itu. Tapi kalau aku marah-marah apa reaksiku tidak berlebihan? Hatiku mulai merasa tidak enak. Aku langsung mundur dari euforia joget masal.

“Hei, lo kenapa? Capek?” tanya Kak Rendi.

“Eh, gak, mungkin gue cuma sedikit haus,” jawabku jujur.

“Oooh, lo tunggu di sini sebentar ya.”

Aduh Ca, kenapa kamu terlalu kaku sama cowok? Tak berapa lama kemudian Kak Rendi kembali dengan membawa dua botol air mineral dan beberapa potong roti bakar.

“Lo pasti lapar juga, kan?” Kak Rendi menyodorkan sepotong roti bakar dan air mineral.

“Hehehehe, terima kasih. Kakak memang pengertian,” jawabku malu-malu.

“Ca, gue pengen ngomong sama lo,” Kak Rendi berbisik ditelingaku.

“Eh, ngomong aja kak,” jawabku sambil mengunyah roti coklat hangat.

“Tapi disini terlalu ramai, gak enak. Gimana kalau kita cari tempat yang nyaman buat kita ngobrol?” Kak Rendi langsung menarik tanganku meski belum mendapat persetujuanku.

Aku sempat menangkap Dewi berkedip memberikan isyarat. Aah, paling juga Kak Rendi mau nembak aku. Tapi mengapa terlalu cepat? Baru juga beberapa jam.

Aku seperti kerbau yang dicocok hidungnya, menurut kemana Kak Rendi melangkah. Kami melewati deretan toko-toko batik yang tutup, semakin jauh dari hingar bingar. Meninggalkan kerlap-kerlip kemeriahan lampu khas pesta.

“Kak, mau ke mana sih?” tanyaku setengah berlari mengikuti irama langkah Kak Rendi.

“Pokoknya ke tempat yang nyaman buat kita ngobrol, sebentar lagi sampai kok,” jawab Kak Rendi.

Tak berapa lama kemudian kami sampai emperan Toko Klanthing. Di emperan ini hanya  diterangi lampu 5 watt ditemani cahaya rembulan.

“Ayo duduk sini,” ajak Kak Rendi.

“Di sini?,” tanyaku ragu.

“Iya di sini, di mana lagi?.”

Ragu-ragu aku duduk di samping Kak Rendi.

“Malam yang indah bukan? Lihat rembulan yang ditemani gemintang di sana,” tunjuk Kak Rendi.

Refleks aku mendongak menuruti tangan Kak Rendi. Entah bagaimana kronologinya, semuanya berjalan dengan cepat. Tiba-tiba wajah Kak Rendi sudah sangat dekat dengan wajahku. Ia mulai meraba dadaku.

“APA YANG LO LAKUKAN?” aku bahkan tak sempat berfikir apa yang sebenarnya terjadi.

Hanya satu yang ada di kepalaku saat itu, aku harus lari sejauh mungkin dari makhluk menjijikan yang ada di depanku. Tanpa ba bi bu, aku mengambil langkah seribu.

“Hei, lo cewek murahan gak usah sok suci deh, gue udah bayar mahal temen-temen lo,” Kak Rendi mengejarku dan mengeluarkan sumpah serapah.

Seumur hidup baru kali ini jantungku berdebar-debar hendak meloncat keluar. Ini bukan hanya masalah nilai 30 dalam Fisika maupun Matematika. Ini adalah masalah kehormatan diri.

“TOLONG, TOLONG, TOLONG!” hanya  berteriak cara paling rasional untuk menyelamatkan harga diriku saat ini selain lari. Aku berlari melewati gang-gang sempit deretan toko yang senyap.

Sesosok makhluk putih lebar di sebuah gang sempit menarikku dan membungkam mulutku. Entah karena keadaan lelaki jahanam itu yang setengah mabuk atau karena memang terlalu banyak gang sempit di sini, aku berhasil keluar dari lubang buaya. Lelaki jahanam itu melewati gang tempat kami bersembunyi dengan masih mengeluarkan sumpah serapah.

“Mau lari kemana lo, gadis manis? Gue akan bayar lo lebih mahal deh,” lelaki itu masih meracau.

Beberapa saat kemudian sosok makhluk putih lebar melepaskan bungkamanku.

“Te-te-rimakasih,” kataku terbata-bata. Bahkan lidahku kelu tak kuasa mengungkapkan segala ungkapan terima kasih yang bergumul di kepalaku.

“Lain kali, wanita indah seperti Anda harus lebih berhati-hati dalam bergaul,” senyum wanita cantik berjilbab putih laksana embun dini hari.

***

Khadijah mengantarkanku pulang keesokan harinya. Khadijah adalah wanita paling cantik yang pernah aku temui seumur hidupku. Ia bukanlah wanita yang cantik dengan bedak, lipstik dan sederet make up lainnya. Ia adalah wanita cantik sejati. Ia menyelamatkanku saat ia akan mengambil air wudhu untuk sholat malam. Khadijah tinggal di toko batik kecil milik buliknya. Khadijah memang sesosok malaikat yang dikirimkan Allah untuk menyadarkanku. Dia dengan sabar dan penuh perhatian mendengarkan ceritaku dari A sampai Z. Dia juga memberikanku nasihat tanpa terasa menggurui.

Aku berjanji pagi ini aku akan mencium tangan Abah dan meminta maaf atas semua kedurhakaanku selama ini. Atas usul Khadijah sebelum pulang kami membeli sebucket mawar putih kesukaan ayah di ujung pasar sebagai tanda permintaan maaf.

“Ca, ini ke mana?.”

“Gang didepan belok kiri,” jawabku singkat.

“Gang yang ada bendera merah itu?,” tanyanya.

“Hah bendera merah? Siapa yang meninggal? Eh, anu iya, Khad,” jawabku.

Hatiku mulai terasa tak enak. Kekhawatiran besar menyelinap ke dalam relung hatiku. Ah gak mungkin, mungkin Mbah Mitro tetangga samping rumah kami yang sepuh dan sakit-sakitan yang meninggal.

Namun semuanya memang bukan sekedar kekhawatiran hatiku. Bendera merah bertuliskan lelayu menggelayut di tiang depan rumahku.

“Kenapa, Ca? Siapa yang meninggal?,” tanya Khadijah setelah melihat ekspresi wajahku yang seketika berubah mendung.

Aku melempar bucket mawar dan berlari, tak sabar mengetahui siapa yang gugur dalam tangkai keluarga kami.

Samar-samar aku dengar bisik tetangga, “Eh, itu dia anak gak tau diri yang menyebabkan kematian Pak Broto.”

Aku merasa sangat kotor. Beberapa saat kemudian aku melihat Lia di depan rumah. “Dik, apa yang terjadi? Siapa yang meninggal?” tanyaku memeluk Lia.

Lia hanya mematung dan tak membalas pelukanku. Tak ada jawaban. Lia bungkam seribu bahasa. Namun matanya memandangku tajam dengan tatapan penuh kebencian bercampur lara. Tatapan yang lebih menyakitkan dari sekedar sumpah serapah luapan kemarahan.

“Abahmu tertabrak mobil semalam ketika mencarimu,” Bunda keluar dan membenarkan prasangka. Tubuhku terasa sangat lemas seolah-olah tak ada tulang yang menguatkanku. Kakiku tak kuat menahan berat tubuhku. Pandanganku begitu gelap. Bahkan aku berharap jantungku berhenti berdetak.

***

“Mawar putih adalah bunga favorit Abah. Putih menandakan kesucian, mawar adalah simbol keindahan. Nduk, kalian berdua adalah harta paling berharga yang Abah miliki. Bahkan Abah rela hidup miskin, asal kalian bahagia. Kalian berdua adalah alasan Abah hidup bahagia. Kalau orang Jawa mengibaratkan, memiliki dua anak perempuan kembang sepasang. Abah selalu berharap, kalian adalah sepasang bunga mawar putih yang meskipun indah ia tetap menjaga kesuciannya,” Abah menghentikan sejenak kesibukannya merapikan pohon mawar putih. Sekilas aku melihat ada mutiara yang terbit di dua sudut mata Abah.

“Mawarmu yang satu ini bukan lagi mawar putih, Bah. Mawarmu menjelma menjadi mawar hitam oleh keegoisan. Mawarmu tega menancapkan duri hingga menyebabkan engkau pergi. Pergi untuk selama-lamanya.”