• Nusantara
  • Refleksi Reformasi 1998, dari Maraknya Politik Identitas hingga Menguatnya Penguasa Otoriter

Refleksi Reformasi 1998, dari Maraknya Politik Identitas hingga Menguatnya Penguasa Otoriter

Peringatan reformasi 1998 kini bertepatan dengan menjelang Pemilu 2024. Kuncinya perlu penguatan masyarakat sipil.

Aksi Reformasi Dikorupsi 2019 di Bandung. Aksi ini berujung dibubarkan paksa aparat dan berakhir rusuh. Massa menyuarakan penolakan terhadap RKUHP dan pelemahan KPK melalui revisi UU KPK. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana15 Mei 2023


BandungBergerak.idReformasi telah berlangsung 25 tahun atau seperempat abad. Sejak itu negeri ini melewati sejumlah fase. Dimulai dari dibentuknya tatanan-tantanan reformasi hingga melemahnya semangat reformasi. Dalam fase-fase ini, politik identitas marak. Di level kekuasaan, politik mengarah pada pembentukan rezim otoriter.

Dilihat dari fase-fase tersebut, tampak sejarah cenderung berulang dari tumbangnya rezim otoriter Suharto ke refomasi, lalu kembali lagi mengarah pada otoriter. Maka refleksi reformasi kali ini menjadi momen konsolidasi masyarakat sipil yang harus diperkuat.

Di saat yang sama, Indonesia saat ini menghadapi Pemilu 2024 yang diselenggarakan secara serentak dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan DPRD. Berkaca dari pemilu-pemilu sebelumnya, isu politik identitas kerap menjadi dagangan politik menjelang pesta demokras. Politik identitas sendiri bertentangan dengan amanat reformasi 1998 yang menolak otoritarianisme dan menjunjung kesetaraan.

Politik identitas menjadi salah satu catatan dalam diskusi interaktif bertajuk Refleksi 25 Tahun Reformasi 98 yang digelar Persatuan Nasional Aktivis 98 (Pena 98) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pasundan, Kota Bandung, Kamis (11/5/2023).

“Jadi konkretnya kita menolak politik identitas karena bisa menjadi racun bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata aktivis 98 Rafael Situmorang, di sela diskusi

Rafael mengakui kesetaraan di ruang-ruang publik memang telah berjalan baik. Hanya saja, ia menilai isu politik identitas harus dihindari agar tidak merusak persatuan yang telah lama diperjuangkan.

Rafael juga mendorong kalangan mahasiswa sebagai referensi masyarakat untuk berperan dalam memberikan edukasi. Terlebih, mahasiswa merupakan pelaku yang menentukan sejarah bangsa, termasuk dalam kontestasi pemilu.

“Mahasiswa mesti menularkan nilai-nilai kesetaraan, demokrasi, dan menolak politik identitas. Mahasiswa harus ikut terlibat karena perjuangan ini belum selesai,” tegas Rafael.

Wakil Dekan I FISIP Unpas yang juga Pengamat Politik Kunkunrat mengatakan, menguatnya politik identitas akan mengeluarkan Indonesia dari rel demokrasi. Ia berpendapat, politik identitas adalah sebuah keyakinan yang menyalahi founding fathers. Pasalnya, Indonesia dibentuk bukan dengan politik identitas, melainkan berdasarkan kesepakatan.

“Indonesia dibentuk atas dasar pluralitas dan persatuan. Ini untuk mematikan memori melalui spirit 98 dan menjadi momentum untuk pembelajaran atau political education kepada masyarakat akademik,” tandas Kunkunrat.

Baca Juga: Catatan 24 Tahun Reformasi
Bandung Menjelang Reformasi 1998

Konsolidasi Masyarakat Sipil

Melemahnya semangat reformasi 1998 sudah disuarakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) beberapa tahun lalu. Salah satu unsur penting untuk mempertahankan semangat reformasi adalah konsolidasi yang kuat dari masyarakat sipil.

Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Mohammad Choirul Anam memaparkan fase-fase yang berkaitan dengan reformasi 1998. Fase pertama reformasi yaitu fase di mana ada upaya pelaksanaan yang cukup serius untuk menjalankan amanat reformasi. Fase ini dimotori masyarakat sipil.

“Di fase pertama, spirit reformasi itu ada. Fase pertama ini lumayan, menurut saya positif. Walaupun tidak bisa maksimal, namun sebagai suatu gerakan dari masyarakat, mahasiswa, serta aktivis telah berkomitmen untuk mendorong itu semua. Sebagai suatu institusi, pada fase ini kita beranjak untuk menjadi negara yang memiliki harapan sangat besar terhadap proses demokrasi,” kata Anam, dikutip dari laman resmi Komnas HAM, Senin (15/5/2023). 

Anam berbicara saat menjadi narasumber pada diskusi publik bertema “Catatan Kelam 23 Tahun Reformasi: Turbulensi Politik Indonesia Dibalik Distorsi Produk Hukum & Penegakan HAM” yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya, Kamis, 20 Mei 2021.

Fase kedua reformasi, Anam kembali menerangkan bahwa konsolidasi kekuasaan mulai dibangun, namun masyarakat sudah mulai melupakan energi positif reformasi. Semakin lama, negara sebagai satu institusi yang dilahirkan dalam era reformasi tidak sesuai dengan harapan substansial reformasi.

Hasil-hasil reformasi dan kerja-kerja institusi di fase awal menjadi tidak maksimal. Di fase kedua ini, muncul kebijakan-kebijakan yang sarat akan diskriminasi, berbeda jauh dengan semangat amandemen konstitusi yang ada di fase awal.

“Pada fase kedua ini, muncul tantangan baru, yaitu mengkonsolidasikan masyarakat. Kelompok-kelompok seperti aktivis HAM, buruh dan yang lain sedikit ditinggalkan oleh masyarakat. Hal ini karena mereka mulai berpandangan kembali seperti rezim Orde Baru bahwa mereka merugikan pembangunan, reformasi kebablasan dan sebagainya. Stigma itu dicerna oleh publik luas, sehingga partisipasi publik menjadi tidak sekuat di fase pertama. Semakin lama tingkat kekerasan semakin besar,” ujar Anam.

Di fase kedua ini juga menurut Anam ada kritik di tubuh masyarakat itu sendiri. Kebencian, intoleransi, ekstremisme dan pengembangan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) semakin besar. Akhirnya, publik juga disibukkan dengan bagaimana mengelola masyarakat agar kembali tertib pada agenda reformasi dan saling menghormati HAM. Di fase kedua ini, esensi agenda-agenda perubahan pada akhirnya tidak melahirkan produk-produk yang substansial terhadap reformasi.

Selanjutnya fase ketiga era reformasi. Menurut Anam, pada fase ketiga ini konsolidasi masyarakat masih stagnan seperti pada fase kedua. Praktik-praktik atau perilaku kekerasan pun masih berlangsung, bahkan pada beberapa momentum hal itu terjadi dengan sangat signifikan. Struktur kebijakan secara substansi yang pada fase awal itu baik, menjadi tergantikan.

“Pertanyaannya, pada fase ini apakah akan menjadi fase berakhirnya era reformasi atau bahkan fase dimulainya era yang lain. Ada yang menyebut ini era oligarki, otoritarianisme ataupun yang lainnya. Oleh karena itu, mari kita cek bersama-sama. Pertanyaan itu bisa kita cegah sebenarnya dengan cara seperti fase pertama, konsolidasi masyarakat sipil yang harus kuat,” kata Anam.

Anam kemudian mengajak mahasiswa dan publik luas untuk kembali menguatkan konsolidasi masyarakat. “Jadi, teman-teman mahasiswa yang harus terlibat aktif. Mahasiswa, buruh, akademisi dan kita semua harus memikirkan bagaimana tata kelola negara ini dengan baik. Kalau tidak ada partisipasi dan kontrol yang kuat oleh masyarakat, maka kita akan mengalami berakhirnya masa reformasi atau masuknya era otoriter. Ini bahaya dan indikasinya ada,” kata Anam.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//