Karakteristik Usaha Sapi Perah Jawa Barat

Karakteristik Usaha Sapi Perah Jawa Barat

Foto: usman


Penerapan sistem recording harus menyeluruh, menyatu antara teknis dan genetik, yang didukung dengan grand design peningkatan mutu genetik sapi perah yang jelas dan dilaksanakan konsisten dan berkelanjutan
 
 
 
Usaha sapi perah di Jawa Barat masih menghadapi berbagai kendala dalam pengembangannya. Skala usaha pemilikan sapi perah yang layak masih rendah serta belum mempertimbangkan semua manfaat agribisnis yang meliputi hasil produksi susu segar dan kenaikan nilai aset dalam bentuk peningkatan produksi susu dan kelahiran pedet per tahun.
 
 
Menurut pakar sapi perah dari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Didin S. Tasripin, sebagian besar usaha peternakan skala kecil belum memperhatikan dukungan replacement stock sebagai pengganti sapi perah yang sudah tua secara berkesinambungan dengan mutu genetik yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai gambaran, S/C (service per conception) di Provinsi Jawa Barat 2,8 sedangkan standar nasional 2,6. Tingginya S/C di Jawa Barat ini dipengaruhi aspek manajemen reproduksi, pakan, penyakit, keterampilan inseminator, genetik ternak, dan kualitas straw. 
 
 
Ia melanjutkan, kondisi teknis umur kelahiran pertama (first calving) dari sapi perah yang umumnya dipelihara peternak di Jawa barat yaitu bangsa sapi Friesien Holstein (FH) masih tinggi di atas 29 bulan, jarak kelahiran (calving interval) di atas 18 bulan, mortalitas di atas 15 %, tingginya sapi-sapi perah yang terkena mastitis (klinis dan subklinis) di atas 70 %, penanganan reproduksi yang belum maksimal (S/C>2), dan masa kosong di atas 60 hari. “Manajemen reproduksi lebih terarah dan berkesinambungan diperlukan agar permasalahan reproduksi cepat dapat diatasi sehingga pada akhirnya populasi dan produksi susu nasional bisa lebih meningkat,” saran Didin kepada TROBOS Livestock. 
 
 
Didin menyampaikan, strategi lain yang harus dilakukan yaitu pemilihan dan penjaringan pedet sapi perah dan pengembangan sapi elit di pusat pembibitan. Perlu pendampingan dan sistem insentif bagi peternak (asuransi dan harga yang lebih) bagi bibit yang baik. Juga sertifikasi bibit sapi laktasi, untuk kepastian mengenai genetik bibit sapi yang diperoleh. “Penerapan sistem recording (pencatatan) harus menyeluruh, menyatu antara teknis dan genetik, yang didukung dengan grand design peningkatan mutu genetik sapi perah yang jelas dan dilaksanakan konsisten dan berkelanjutan,” urainya.
 
 
Pakar sapi perah dari Departemen Ilmu produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Afton Atabany turut berpendapat, Jawa Barat merupakan daerah beriklim tropis sehingga akan mempengaruhi performa sapi FH. Produksi susu sapi perah sebanyak 15 liter karena suhu lingkungan dan kelembapan berada di atas zona nyaman, pakan hijauan terutama rumput berserat lebih tinggi dan protein lebih rendah, serta pakan konsentrat belum maksimal dan mahal. 
 
 
Sedangkan Calving Interval lebih lama karena dipengaruhi oleh masa kosong. Masa kosong lebih lama akibat (1) umur kawin pertama setelah beranak lebih lama karena tak ada catatan kelahiran; (2) perkawinan dengan IB (Inseminasi Buatan) terkendala suhu lingkungan terhadap kualitas straw semen beku saat akan dilakukan IB, proses thawing straw beku kurang baik, terlambat melapor kalau sapinya berahi, terlambat IB; (3) pengamatan berahi yang terlambat, serta (4) S/C lebih dari 2 atau butuh lebih 2 kali IB untuk satu kebuntingan. Adapun sapi FH yang dipelihara para peternak di Jawa barat memiliki produksi susu sekitar 15 liter per ekor per hari atau 4.500 liter per laktasi. Calving Interval sekitar 14-15 bulan, masa laktasi 300 hari atau 10 bulan, umur kawin pertama 16-18 bulan, umur beranak pertama 28-30 bulan, masa kosong 5-6 bulan, kawin pertama setelah beranak 3-5 bulan, berat lahir 35-40 kg, serta berat kawin pertama 280-310 kg. “Umur kawin pertama dipengaruhi oleh berat badan yang dicapai sapi tersebut, pencapaian berat badan dipengaruhi oleh pakan hijauan dan pakan konsentrat. Umur kawin pertama dan jumlah kawin untuk jadi bunting akan mempengaruhi umur beranak pertama,” terangnya.
 
 
 
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock Edisi 237/Juni 2019
 

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain