You are currently viewing Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Seni Bangunan Islam (1)

Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Seni Bangunan Islam (1)

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

Berakhirnya masa kerajaan Klasik bukan berarti secara otomatis diganti masa Islam. Secara politis memang pergantian semacam ini dapat terjadi, misalnya berakhirnya kerajaan Majapahit digantikan oleh munculnya kerajaan Demak sebagai kerajaan bercorak Islam pertama di Jaawa yang berpusat di Jawa Tengah. Tonggak ini menandai dimulainya era Islam secara politis, di Jawa tengah khususnya. Akan tetapi, secara kultural sulit mencari penanda identitas yang tiba-tiba muncul.

Hal tersebut di atas terjadi mengingat bahwa isi dan proses munculnya budaya Islam secara umum sama dengan kebudayaan lain. Isi budaya secara umum adalah sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya. Adapun proses transfer dan penciptaannya melalui proses belajar. Melalui konsep ini dapat difahami bahwa di dalam budaya klasik yang melekat.hal ini terjadi karena antara lain proses penyebaran Islam, khususnya di Jawa Tengah, berlangsung secara akulturasi.

Kehadiran Islam di Indonesia mendorong lahirnya ciptaan-ciptaan baru di bidang seni bangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bangunan-bangunan jenis baru tersebut terutama berupa bangunan peribadatan, dan bangunan yang berkaitan erat denagn ritual keagamaan Islam. Hal ini disebabkan karena agama Islam mempunyai peraturan dan tata cara peribadatan yang berbeda dengan agama Hindu dan Buddha. Bangunan jaenis baru tersebut adalah masjid, dan makam. Selain itu, masih ada lagi hasil seni bangunan, tetapi kurang erat kaitannya dengan ritual keagamaan Islam. Hasil seni bangunan tersebut adalah kota, kraton, dan taman.

Dalam ajaran Islam, shalat, sebagai konsep ritual yang paling mendasar, diutamakan dilaksanakan dengan cara jamaah atau bersama-sama. hal ini diatur khususnya untuk shalat Jumat yang harus dilaksanakan secara berjama’ah oleh minimal 40 orang. Konsep berjamaah berarti ada imam yakni, pemimpin, dan makmum yakni yang dipimpin. Hal inilah yang mendorong diciptakannya bangunan masjid dengan bentangan ruang interior yang luas, suatu hal yang berbeda dengan konsep ritual peribadatan Hindu-Buddha yang tidak membutuhkan ruang interior luas.

Dengan demikian, penggunaan kayu sebagai bahan bangunan untuk masjid dapat dipahami karena secara konstruktif ruang interior luas sulit diperoleh pada bangunan batu. Sehubungan dengan itu, dari sisi fungsional praktis bentuk atap yang paling mendukung untuk masjid adalah atap tumpan, yaitu atap yang bertingkat-tingkat. Memang jenis atp ini merupakan bagian dari arsitektur tradisional yang sudah dikenal sebelum kedatangan Islam di Nusantara. Akan tetapi, dengan diterapkannya atap tumpang pada masjid kuna, aspek simbolisnya menjadi berbeda, yaitu memperlihatkan sifat profetik masjid, melambangkan hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhan dalam beribadah.